Senin, 07 Desember 2015

MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) akankah?

MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) akankah ?
            Konsep MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) merupakan sebuah konsep yang dirmusukan oleh para pemimpin Asean untuk membina hubungan secara bilateral antar negara Asean, melihat kondisi negara-negara Asean yang memiliki potensi baik secara geografis maupun potensi sumber daya manusia sehingga menjadi target market bagi negara-negara produsen untuk memasarkan produknya. Menariknya bahwa MEA menjadi sebuah titik sentral untuk memformulasikan potensi-potensi yang ada segaligus memunculkan kawasan Asean sebagai wajah baru yang turut memainkan percaturan ekonomi global.
            MEA selayaknya menjadi poros ekonomi baru ditengah persaingan kawasan yang terjadi di berbagai negara, semisal duo Korea yang saling bersitegang atas nama ideologi, Jepang dan China atau Taiwan dengan China, lebih jauh lagi misalnya Timur Tengah yang malah asyik berperang antar sesama negara Arab. Menyimak lebih jauh lagi persaingan yang terjadi di kawasan anak benua India, yang menimbulkan sebuah ketegangan di kawasan sehingga secara ekonomi antar negara kawasan yang bersitegang menimbulkan efek ketidak harmonisan yang dilandasi atas sikap saling tidak percaya, sehingga menimbulkan pola interaksi ekonomi cenderung mencari ke kawasan yang jauh lebih kondusif secara keamanan. Sebab kerja sama ekonomi mempersyaratkan terjaminya rasa aman dalam dunia usaha yang banyak ditopang oleh stabilitas politik. Atas dasar itulah kemudian kawasan Asean menjadi target atau poros ekonomi baru yang akan muncul dari Asia.
            Asean secara geopolitik cenderung bisa dikatakan stabil sebab latar belakang negar-negara Asean yang begitu beragam, tetapi menimbulkan satu kecenderungan positif yang bisa membuat trend dunia ekonomi bisa mendapat tempat. Artinya bahwa trend ekonomi yang positif yang mulai menunjukan geliatnya pada dasarnya peluang terbesar yang dimiliki oleh kawasan Asean, mengingat di kawasan-kawasan Asia lainya terjadi berbagai konflik yang bisa dikatakan menimbulkan pengaruh besar pada dunia ekonomi. Secara ekonomi semenanjung Korea mengalami kemajuan tetapi catatan bahwa kedua negara Korea tersebut saling bersitegang sehingga berdampak negatif terhadap tumbuhnya peluang-peluang infestasi.
            Peluang besar ini perlu dijagah trendnya dengan stabilitas keamanan Asean sebagai indikator utamanya, sehingga MEA adalah upaya bersama negara-negara Asean untuk memperkuat ketahanan ekonomi segaligus menjaga kekompakan antar negara Asean. Untuk menjadikan Asean sebagai sebuah kawasan poros ekonomi baru yang tumbuh diatas solidaritas bukan dengan rasa curigah. Apabila MEA ini berhasil digalakan secara bersama maka bukan tidak mungkin Asean menjadi reprentasi kawasan yang multikultural tetapi mampu hidup berdampingan dan saling mendukung dalam hal kemajuan ekonomi secara bersama-sama. Asean harus mampu bermimpi kedepan untuk tampil sebagai kawasan yang mampu tumbuh saling bersinergi, sebab dengan perputaran roda ekonomi yang melibatkan negara Asean secara bersama maka hal tersebut saling menguatkan antar negara Asean.
            Perlunya pemahaman lebih jauh tentang MEA untuk ikut serta secara aktif seluruh negara-negara Asean dengan memasarkan produk negara-negara masing-masing, sehingga produk tiap negara mampu untuk dilihat sejauh mana kualitasnya dipasar dan mambu secara kreatif mengolah kebutuhan-kebutuhan pasar. Kemudian MEA menjadi semacam regulator segaligus simulator dalam memasarkan produk tiap negara, dengan tetap memperlihatkan kualitas sebagai bagian pokok dalam mewujudkan produk yang mampu berdaya saing tinggi. MEA sebagai regulator dapat diartikan sebagai upaya bersama negara-negara Asean untuk memasarkan produknya ketiap-tiap negara lainnya dalam skala Asean, hal ini dapat diwujudkan dengan saling memasarkan produk negara anggota Asean sehingga keuntungan-keuntungan ekonomi masih tetap berkutat pada wilayah kawasan Asean. Apabila konsep ini berhasil diterapkan secara nyata maka setelah itu produk-produk yang sudah mampu menembus pasar skala Asean, sehingga langkah selanjutnya produk itu perlu disebarkan secara global dengan kekuatan bersama sebagai satu kesatuan antar negara Asean.
            Regulasi marketing semacam ini perlu dikembangkan untuk saling memberdayakan satu sama lain, sebagai contoh misalnya dengan penerapan semacam ini maka Indonesia sebagai negara agraris perlu menghasilkan produk dari komuditi-komoditi pertanian yang kemudian diolah, maka dalam pengelolaan misalnya Indonesia memerlukan tenaga kerja sehingga negara-negara yang memiliki tingkat pengangguran yang tinggi perlu mendatangkan tenaga kerja dari negara lain skala Asean untuk membantu dan begitu sebaliknya. Dengan regulasi tersebut mengikut sertakan partisipasi aktif semua negara anggota yang pada dasarnya sistem ekonomi semacam ini bersifat terbuka dan memberikan peluang kepada semua negara anggota untuk aktif. Selanjutnya MEA sebagai simulator dapat dipahami dengan menjadikan negara-negara lain sebagai ajang simulasi produk atau sebagai tahap uji coba produk sebelum dipasarkan secara mendunia.
            Konsekuensi dari MEA ini mempersyaratkan pada keterbukaan dan kemudahan antar sesama anggota kawasan, sebab regulasi marketing yang dikehendaki adalah keterbukaan untuk menerima produk dari negara sekawasan yang secara mudah untuk masuk menembus pasar masing-masing anggota. Sehingga kebijakan impor harus mampu membuka ruang bagi keterbukaan dan kemudahan dalam proses bea cukai barang-barang yang hendak masuk dari negara anggota, prinsipnya bahwa asas persamaan standar yang menjadi inti regulasi untuk mewujudkan MEA dengan menjadikan kebersamaan sebagai pilar utama demi pemberdayaan antar sesama negara anggota. Yang kemudian mewujudkan keselarasan dan menolak adanya negara superior dan ninferior untuk mewujudkan tata kawasan yang harmonis.
            Di balik tujuan yang ambisius itu menimbulkan beberapa kemungkinan yang bisa saja terjadi mengingat komplesitasnya latar belakang negara-negara Asean. Pertama dengan adanya asas persamaan standar maka negara anggota yang berada pada level negara produsen akan memperjuangkan persamaan standar yang jelas menguntungkan produk negaranya, sehingga bisa saja hal ini menimbulkan masalah. Kedua isu-isu teritorial atau  batas suatu negara menjadi sebuah polemik tersendiri yang apabila tak mampu dikelola secara kreatif bisa menimbulkan pergesekan, isu-isu semacam ini sering sekali mengintai negara Indonesia-Malaysia yang pada dasarnya akan berakibat fatal terhadap ekonomi. Ketiga isu-isu SARA (Suku, Agama dan Ras) menjadi faktor yang bisa turut mempengaruhi kondisi-kondisi suatu negara, apalagi dengan latar yang beragama menjadi sangat menarik untuk menelusurinya dengan pertimbangan Asean kaya akan isu-isu SARA. Yang mungkin isu awalnya hanya melibatkan keluarga tetapi lama kelamaan memasuki afiliasi kepentingan yang berujung pada konflik. Artinya potensi gejolak itu pada dasarnya cukup besar untuk menimbulkan ketegangan dan merugikan secara ekonomi yang kalau kondisi semacam ini terjadi  maka MEA menjadi sebuah pigura yang buram pada masa depan kawasan harmonis.
            Untuk menjembatani munculnya ide-ide kebersamaan dan rasa kepedulian terhadap masa depan kawasan maka penggalian Asean dimasa lalu dirasa perlu untuk membaca polarisasi hubungan itu. Pada taraf tertentu misalnya kesadaran kawasan perlu dijagah untuk membangun kembali regulasi yang harmonis, segaligus mencoba menakar akar-akar kebersaman melalui ide besar yang berhasil mengkonstruksikan bahwa Asean poros ekonomi baru yang berwajah partisipatoris, yang senantiasa tumbuh diatas tumpukan kebudayaan yang menatap masa depan kawasan yang egalitarian. Singkatnya Asean bagai market yang menjanjikan yang selayaknya mampu tumbuh dan diterjemahkan sebagai perangkat kerja dengan MEA sebagai branding tentang sebuah mimpi Asean poros ekonomi baru yang berdaulat secara partisipatoris negara-negara anggota.

            MEA bisa saja menjadi sebuah propaganda politik ditengah maraknya serbuan-serbuan produk asing yang menegasikan peran-peran lokal (negara-negara Asean), apabila Asean gagal memformulasikan diri menjadi sebuah identitas bersama yang dapat menjadi pemicu lahirnya konflik maupun ketegangan dikawasan. Makanya pernyataan secara ambisius yang mengatakan MEA sebaga alternatif baru bagi market internal skala Asean untuk memberikan sebuah contoh bagi kawasan lain untuk berkaca pada produk Asean yang tentu dengan standarisasi yang berkualitas dunia untuk menunjuk inilah Asean. Tetapi, regulasi politik nasional dapat saja berdampak pada isu-isu MEA yang mungkin saja cenderung politik dibandingkan hasil yang lebih berkualitas. Artinya MEA menjadi suara-suara politisi di tiap-tiap negara namun bentuk keseriusan itu masih terus menarik untuk diuji sejauh mana penerapannya.

Selasa, 01 Desember 2015

Integrasi keilmuan sebuah diskursus epistemologi di uin alauddin makassar

Proposal Skripsi
Judul              :Integrasi Keilmuan Sebuah diskursus epistemologi di UIN Alauddin                             Makassar
Nama penulis : A. Hendra Dimansa
Jurusan          : Aqidah Filsafat Prodi Filsafat Agama

          
  Pergeseran rancang bangun epistemologi dalam pemikiran membawa pengaruh besar di dalam dunia pemikiran islam. Akar sejarah munculnya pemilahan-pemilahan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya berasal dari latar belakang munculnya renaisance di barat, hal ini ditandai dengan pertentangan antara pihak agamawan dengan pihak ilmuan yang menganggap bahwa antara agama dan ilmu pengetahuan saling bertentangan. Puncak dari kekisruhan antara kaum agamawan dengan kaum ilmuan melahirkan pandangan sekulerisme yang memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum. Akhirnya antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum saling berjalan sendiri-sendiri tanpa saling menyapa antara satu sama lain. Untuk menjembatani pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum maka perlu upaya penyatuan antara keilmuan sekuler dengan keilmuan islam mulai digencarkan kembali, meskipun wacana integrasi keilmuan bukanlah sesuatu hal yang baru.
            Fenomena integrasi keilmuan menjadi sebuah wacana yang hangat diperbincangkan kala proses transformasi IAIN menjadi UIN yang merupakan upaya untuk mencoba menjembatani pemisahan antara ilmu agama dengan ilmu umum atau terkadang disebut ilmu sekuler, pada dasarnya transformasi IAIN menjadi UIN dapat diartikan sebagai upaya kampus-kampus islam yang berlebel agama untuk membuka diri terhadap ilmu pengetahuan yang selama ini dianggap saling terpisah. Secara sederhana integrasi keilmuan ini merupakan  format wacana         menuju UIN yang dicita-citakan dan segaligus upaya membuka hubungan antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan, untuk menunjukan sebuah kekhususan dari universitas-universitas islam.
            Ada banyak tokoh-tokoh yang mencoba menjawab mengenai persoalan-persoalan integrasi keilmuan dalam proses transformasi IAIN menjadi UIN dalam skala nasional misalnya nama M. Amin Abdullah yang cukup populer menyuarakan gagasan integrasi keilmuan dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Mulyadi Kartanegara dan banyak lagi tokoh-tokoh lain yang berasal dari UIN yang mencoba menawarkan gagasan untuk membangun integrasi keilmuan.
            Wacana integrasi keilmuan sebagaimana yang juga terjadi di UIN Alauddin Makassar sebagai bias dari transformasi IAIN menjadi UIN melahirkan berbagai upaya-upaya untuk menjembatani pemisahan ilmu agama dengan ilmu umum, sehingga pada masa rektor Prof. Dr. Azhar Arsyad, M.A UIN Alauddin Makassar mencoba memberikan solusi integrasi dengan menghadirkan dosen agama pada fakultas umum sehingga pola semacam ini sebetulnya tidaklah efektiv pertama sebab dengan menghadirkan dosen agama pada fakultas umum tidaklah menyelesaikan masalah integrasi keilmuan dengan menyederhanakan persoalan hanya pada tahap mencarikan sinkronisasi antara ayat-ayat yang berkaitan dengan fakultas umum yang terkait. Sehingga menjadi sebuah masalah sebab apakah semua persoalan-persoalan ilmu umum memiliki landasan ayat dalam Al-Quran ? ini menjadi sebuah soal tersendiri apabila wacana integrasi keilmuan hanya dimaknai sebagai upaya fakultas umum untuk mencarikan ayat legitimasi bahwa antara ilmu umum dengan ilmu agama memiliki keterkaitan.
            Integrasi keilmuan hendaknya meramu berbagai aspek untuk melahirkan hubungan yang tidak lagi membuat jurang pemisah antara ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum, sebagaimana yang terjadi selama ini dilapangan bahwa integrasi keilmuan yang terjadi dengan memberikan lebel ayat pada skipris mapun karya-karya tulis lainnya itu bisa menimbulkan sebuah polemik baru apakah ayat hanya menjadi pembenar dari objek kajian tertentu ? sehingga pernyataan selanjutnya apakah ayat menjadi indikator objektiv dalam setiap penelitian?. Pernyaan-pernyataan seperti ini tentu menjadi sebuah indikator bahwa belum adanya kejelasan lebih jauh mengenai model integrasi yang diterapkan di UIN Alauddin Makassar, tentu memberikan dampak tersendiri sebab wacana integrasi selama ini yang beredar hanya menempatkan ayat tanpa mendalami lebih jauh urgensi dari ayat tersebut.
            Ada sebuah contoh yang terjadi di UIN Alauddin Makassar yang mencoba menerapkan integrasi keilmuan dengan model pasang ayat, menurut pengakuan seorang mahasiswa yang mengambil konsen ilmu politik dan ketika mengajukan judul skripsi di jurusan ilmu politik maka dosen pembimbingnya mengarahkan untuk mencarikan ayat yang memiliki kaitan dengan skripsi yang berfokus pada masalah pemekaran wilayah dan sejauh mana mampu mempengaruhi kesejahtraan warga, kasus ini setidaknya menjadi sebuah catatan tersendiri apakah dengan memasang ayat pada skripsi mampu berkorelasi positif pada tingkat objektivitas suatu skripsi ?.  Apabila model integrasi semacam ini diterapkan pada dasarnya memiliki konsekuensi yang harus diterima secara terbuka yakni ketika legitimasi ayat yang menjadi landasan atau penguat suatu penelitian namun hasil dari penelitian itu misalnya berbeda dengan landasan ayat, apabila terjadi kasus semacam itu apakah penelitian tersebut dapat diterima atau malah penelitian itu ditolak sebab bertentangan hasil akhirnya dengan ayat.
            Diskursus integrasi keilmuan di UIN Alauddin Makassar masih belum memiliki pijakan yang pasti dalam artian integrasi itu belum bisa difungsikan dalam menjawab tantangan-tantangan yang terjadi. Yang patut pula dicermati misalnya apabila integrasi itu diartikan dengan memberikan legitimasi ayat tetapi bagaimana hubungan timbal baliknya sebab kalau di fakultas umum diharapkan memberikan nuansa ayat, kemudian pada fakultas agama apakah perlu juga memberikan nuansa pengetahuan umum ? singkatnya apabila integrasi masih berkutat pada ayat mana yang cocok maka padasarnya itu bukanlah integrasi. Sebab apabila integrasi hanya dimaknai pada tataran itu maka pada dasarnya tanpa wacana integrasi pun manusia sering pula berinteraksi pada sumber-sumber ayat dan pada kesadaran tertentu pula misalnya ayat memberikan inspirasi dalam penelitiannya atau skripsi, tetapi penelitian atau skripsinya tidak menempelkan ayat tetapi substansi dari kelahiran skripsi itu terilhami dari ayat, apakah contoh semacam ini dinafikan sebagai suatu peristiwa yang berada diluar wacana integrasi ?. Sehingga apabila kasus semacam ini terjadi menimbulkan dua problem yakni pertama apakah yang dimaksud integrasi dengan memasang atau substansi dari ayat itu yang menjadi landasan nilai etika tingkah lakunya.
            Untuk membangun integrasi keilmuan di UIN Alauddin maka sangat perlu dilakukan langkah utama dengan memaknai atau membangun landasan epitemologi dalam ranah integrasi keilmuan, sebab persoalan yang muncul kemudian banyak kasus yang masih salah kapra dalam integrasi keilmuan, perbedaan pandangan mengenai apakah perlu pasang ayat atau tidak ? ini menjadi petanda bahwa bangunan epistemologi integrasi keilmuan di UIN Alauddin Makassar masih pada tahap proses perkembangan.

B. Fokus dan Dekripsi Fokus Penelitian
            Fokus penelitian ini terletak pada diskursus epistemologis untuk membangun kerangka integrasi keilmuan, sebab dengan membangun landasan epistemologi yang jelas maka basis integrasi akan menemukan bentuk bukan sekedar pasang ayat. Langkah ini dirasa sangat perlu menginagt wacana integrasi keilmuan menjadi suatu wacana yang masih hangat diperbincangkan skala UIN Alauddin Makassar, untuk saling menyapa antara fakultas agama dengan fakultas umum.
            Basis epistemologi dapat dibangun dari beberapa opsi yang tentu sejak dulu dalam dunia pemikiran islam menjadi suatu landasan yang tentu menarik untuk dielaborasi lebih jauh dengan paradigma modern. Tiga landasan epistemologi islami masa lalu yakni bayani, burhani dan irfani yang oleh para ilmuan muslim menjadi kerangka dasar dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Epistemologi ini bisa menjadi salah satu opsi untuk membangun kerangka integrasi keilmuan dan tentu mengkoparasikan dengan berbagai metode untuk memperkaya khazanah epistemologi integrasi keilmuan di UIN Alauddin Makassar.
            Menyadari begitu pentingnya landasan epistemologi yang jelas dalam menjawab tantangan integrasi yang selama ini berjalan seolah perkara integrasi hanya selesai dengan pasang ayat, mengingat antara disiplin ilmu agama dan ilmu umum memiliki kekhasan masing-masing dalam hal bangun epistemologinya, maka mengkoparasikan dan mempertemukan basis epistemologi menjadi suatu langkah yang sangat diperlukan guna terwujudnya bangun epistemologi yang memadai. Sebab perkara integrasi di kampus UIN lainnya tampak sudah ada basis epistemologi yang menjadi jalan tengah untuk menghubungkan antara ilmu umum dan ilmu agama dengan berbagai istilah seperti interkoneksitas dan tentu UIN Alauddin Makassar perlu mengejar ketertinggalan tersebut melihat begitu pentingnya landasan epistemologi dalam bangun integrasi keilmuan.


C. Rumusan Masalah
            Berdasar latar belakang masalah yang telah dipaparkan diatas maka ada beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana perkembangan wacana integrasi keilmuan di UIN Alauddin Makassar ?
2.      Bagaimana konsep epistemologi integrasi keilmuan di UIN Alauddin Makassar ?
3.      Bagaimanan relevansi dan implementasi epistemologi dalam menjawab tantangan integrasi keilmuan di UIN Alauddin Makassar ?
D. Tujuan Penelitian
            Dengan rumusan masalah yang telah dipaparkan diatas, maka penelitian ini diharapkan dapat mencapai tujuan yakni sebagai berikut:
1.      Memahami wacana integrasi keilmuan dan konsep epistemologi  di UIN Alauddin Makassar.
2.      Memahami epistemologi secara praktik fungsional, relevansi dan implementasinya di UIN Alauddin Makassar.
E. Manfaat Penelitian
            Penelitian integrasi keilmuan di UIN Alauddin Makassar ini diharapkan membawa manfaat sebagai berikut:
1.      Manfaat akademis

Diharapkan dengan hasil penelitian integrasi keilmuan di UIN Alauddin Makassar memberikan kontribusi kepada civitas akademika, sebab integrasi keilmuan menjadi isu yang begitu hangat diperbincangkan segaligus tulisan ini merupakan suatu sumbangsi secara akademik untuk mendorong lahirnya penelitian-penelitian serupa guna memperkaya khazanah intelektual di UIN Alauddin Makassar. Mengingat begitu pentingnya pengembangan integrasi keilmuan di UIN Alauddin Makassar, segaligus secara ambisius penulis berharap penelitian ini dapat menjadi inspirasi lahirnya diskursus epistemologi yang khas UIN Alauddin Makassar.
2.      Manfaat praktis

Memperoleh pengetahuan tentang integrasi keilmuan di UIN Alauddin Makassar, melihat sejauh mana perkembangan wacana integrasi keilmuan dan model integrasi keilmuan di UIN Alauddin Makassar, segaligus secara praktik mampu memberikan pandangan atau perspektif dalam melihat sejauh mana relevansi dan implementasi integrasi keilmuan dalam menjawab berbagai tantangan antara basis epistemologi ilmu agama dan ilmu umum. Dengan demikian memberikan pemahaman lebih jauh tentang integrasi keilmuan.


F. Tinjauan Pustaka




            Sebelum melakukan penelitian ini terlebih dahulu penulus melakukan tinjauan pustaka untuk menopang penelitian lebih lanjut, hal ini tidak terlepas dari objek formal dan objek materil penelitian ini. Sejauh pengamatan penulis ada beberapa rujukan yang sangat signifikan untuk menjadi rujukan dan pengembangan penelitian ini sebagai berikut: 1.Paradigma sains integratif Al farabi yang di tulis oleh Dr. Humaidi
2.konsep ilmu menurut Al Ghazali yang di tulis oleh Bahri M. Ghazali
3.Pengantar filsafat islam yang di tulis oleh M. Dedi Supriadi
4.Paradigma Islam yang di tulis oleh Kuntowijoyo
5.Relasi agama dan teori sosial kontemporer yang di tulis oleh Bryan S.Turner
            Dengan pertimbangan bahwa tersedianya sumber rujukan pustaka yang cukup memadai menjadi pertimbangan tersendiri oleh penulis untuk melanjutkan penelitian tersebut, mengingat begitu pentingnya integrasi keilmuan untuk mendapatkan tempat dalam pengembangan lebih jauh lagi mengenai diskursus epistemologi sebagai kerangka dasar integrasi keilmuan.


G. Metode Penelitian

Dalam metode penelitian ini maka penulis menempuh beberapa langkah sebagai berikut:
1. Pengumpulan Data
            Dalam pengumpulan data ini ada dua teknik yang digunakan oleh penelitian diantaranya sebagai berikut:
A.    Dokumentasi teknik ini ditujukan pada penguraian dan penjelasan apa yang telah menjadi sumber-sumber yang telah terdokumentasi. Oleh sebab itu maka teknik ini sangat penting sebagai bahan data disamping untuk menunjang kelengkapan bahan dalam penelitian.
B.     Wawancara atau teknik interview dengan melakukan proses tanya jawab untuk memperoleh informasi-informasi terkait dengan penelitian yang sedang berlangsung. Hal, ini menjadi suatu teknik penting sebab akan memberikan gambaran secara langsung dengan orang-orang yang memang sangat terkait dengan penelitian dan orang yang diwawancarai memiliki kualifikasi keilmuan terkait dengan penelitian.
2. Analisis data
            Pada tahap selanjutnya dengan melakukan analis data dari beberapa data yang terkumpul yang selanjutnya dilakukan proses analisis, ada beberapa teknik sebagai berikut:
A.    Deskriptif dengan memberikan gambaran dan tafsiran tentang data-data yang telah terkumpul.
B.     Interpretasi teknik ini dimaksudkan untuk memahami lebih jauh data-data yang telah terkumpul, untuk memahami sejauh mana korelasi antara berbagai data yang telah terkumpul.
C.     Analisis setelah melakukan deskriptif terhadap istilah-istilah yang ada maka diperlukan analisis lebih dalam untuk memahami konseptual yang terdapat dalam data-data segaligus sebagai upaya pendalaman mengenai hubungan yang saling terkait yang terdapat pada data tersebut.




Senin, 30 November 2015

Pengetahuan dan Kuasa

Pengetahuan dan Kuasa
            Ada yang menjadi sebuah pernyataan yang menarik untuk dibicarakan lebih jauh yakni apakah pengetahuan itu bebas nilai atau memiliki pengaruh subjektif ? apabila pengetahuan itu menjadi bebas nilai maka pertanyaannya apakah ada jaminan apabila seorang ilmuan bebas dari pandangan-pandangan subjektivnya ? ataukah yang dimaksud sebagai bebas nilai ialah netral dari kepentingan tetapi ketika netral maka itupun pada dasarnya memiliki kepentingan yakni mampu berada pada lingkungan yang beragam, baik secara afiliasi agama, ekonomi dan politik. Perlunya kita mencermati lebih jauh menyangkut masalah ini, sebab menjadi sebuah kesadaran kritis dunia pendidikan selama ini banyak disponsori oleh pemerintah, sehingga menjadi sebuah pertanyaan apakah pemerintah betu-betul hadir untuk pengetahuan atau demi menjaga kepentingan politiknya ?.
            Pertanyaan mendasarnya apakah pengetahuan dan kuasa memiliki relasi ? berbicara masalah ini tentu memiliki banyak sudut pandang, tetapi perlu menjadi sebuah catatan bahwa sebuah pengetahuan apabila ingin dikembangkan kadang kala harus mempertimbangkan aspek kekuasaan, dibanyak tempat telah membuktikan bahwa dengan pengetahuan yang berbeda pandangan dengan penguasa menyebabkan seorang ilmuan harus mengakhiri hidupnya dengan secangkir racun, ini menjadi semacam petanda bahwa dengan pengetahuan yang pada dasarnya mendidik manusia tetapi yang menjadi masalah pengetahuan baru lebih menarik simpatik kalangan tertentu dibandingkan pandangan lama. Singkatnya manusia memang butuh pengetahuan tetapi perlu disadari semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit sedangkan kekuasaan membutuhkan manusia berketerampilan yang semua itu berawal dari pendidikan.
            Melihat pengetahuan yang secara idealisme memang harus bebas nilai tetapi apakah kekuasaan dapat berjalan tanpa pengetahuan, uraian ini hendak mengatakan bahwa pengetahuan butuh institusional untuk melembagakan dan menjadikan pendidikan sebagai aspek utamanya. Namun, menjadi menarik apabila diperbincankan mengenai hubungan kedunya, sebab pengetahuan butuh sokongan dana sedangkan politik/kuasa membutuhkan manusia yang tercerahkan untuk mengelola negara, tetapi yang perlu disoroti bersama bahwa pendidikan adalah pembebas dari berbagai keterkungkungan yang masih membelenggu seperti itu idealnya pendidikan yang menempatkan intelektualitas untuk menopang kekuasaan, tetapi dunia realitas terkadang berbicara lain kemudian pertanyaannya mampukah pengetahuan menjadi pembebas dan meruntuhkan dominasi sektarian yang tidak menempatkan intelektualitas sebagai pengelola kekuasaan.
            Dalam kasus bangsa Indonesia kala masih berada pada pemerintahan kolonial Belanda, menunjukan suatu realita kekuasaan yang menjadikan pengetahuan yang dipenuhi hasrat kuasa. Sebagaimana tercatat dalam tinta perjalanan sejarah bangsa menunjukan bagaimana kaum pribumi disekolahkan untuk di tempatkan pada instansi pemerintah kolonial dan kaum pribumi merasa terangkat derajatnya tetapi aspek lainnya penjajah mencoba memecah belah bangsa dengan menjadikan kaum pribumi yang telah menempuh dunia pendidikan akhirnya menjadi perpanjangan tangan kaum kolonial dan ini memberikan efek rasa saling curiga antara satu sama lain. Artinya dengan pengetahuan kaum penjajah secara perlahan namun pasti menciptakan ketegangan diantara kaum pribumi. Strategi semacam ini sebetulnya sangatlah efektiv untuk menghemat kekuatan dalam membendung potensi pemberontakan ditengah masyarakat. Dengan memberikan akses pendidikan kepada kaum pribumi secara simbolistik pemerintah kolonial hendak berkata bahwa sekarang antara kaum penjajah dan pribumi memiliki kesetaraan dalam dunia pendidikan, sehingga memberikan kebanggaan kepada kaum pribumi bahwa dirinya telah sejajah dengan kaum penjajah.

            Pendidikan dalam konteks pemerintah kolonial adalah proyek untuk mengontrol kaum pribumi dan berusaha menunjukan wajah manis kepada kaum pribumi yang pada akhirnya kaum terdidik ala pemerintah kolonial menjadi agen-agen penjajah untuk memecah belah antar pribumi. Mungkin dalam konteks sekarang pendidikan masih terjajah dengan memberikan mahasiswa beasiswa yang mempersyaratkan untuk tidak ikut aksi demonstrasi apakah ini bentuk penjajahan baru di dunia pendidikan ? apabila praktik-praktik semacam ini masih terjadi dalam dunia pendidikan itu maknanya kita masih terjajah sebab kesetaraan hanyalah simbolistik bukan substansi yang hadir. Banyak program-program penguasa untuk memberikan hak yang sama dalam dunia pendidikan seperti pendidikan gratis tetapi anak jalanan tetap saja banyak yang tidak mendapatkan hak untuk menikmati dunia pendidikan. Artinya pendidikan adalah untuk menina bobokkan daya kritis sehingga kebebasan ditekan melalui obat penenang yang berbentuk beasiswa yang bagai morfin untuk mencandu sehingga terjadi keterlenaan dan membuat garis pemisah antara kaum terdidik dengan masyarakat umum. Membuat output pendidikan menjadi bangsawan baru ditengah masyarakat kemudian menghegemoni kelas.

Arkeologi Manusia Kampus Citra "Bassi Toa"

Arkeologi Manusia Kampus Citra “Bassi Toa”
            Kampus adalah tempat penyemaian calon-calon intelektual muda yang akan memberikan pencerahan ditengah krisis multidimensi dalam kehidupan baik sebagai warga negara maupun sebagai ummat beragama seolah telah kehilangan substansi yang ingin dituju sebagai seorang warga negara apalagi sebagai ummat beragama. Kehilangan disorientasi dalam kehidupan sosial ini menjadi suatu problem tersendiri yang tengah dihadapi bangsa dan kaum beragama, kehadiran kampus amatlah diharapkan sebagai sebuah sumber pencerahan diera kontemporer ini tetapi ada banyak kasus yang seolah mematahkan harapan besar itu.
            Manusia kampus yang secara asal usul berasal dari kalangan pemuda baik yang terlahir dalam kehidupan sebagai kelas bawah, menengah dan sedang, mari kita mencoba menyimak lebih jauh tentang kampus-kampus yang menjadi tumpuan harapan untuk melahirkan kaum-kaum yang tercerahkan. Dalam pandangan Michel Foucault bahwa ada yang dimaksud relasi antara pengetahuan dan kuasa, seolah membenarkan pandangan Michel Foucault bahwa dunia kampus hari ini telah banyak menodai idealisme dunia pendidikan sebagaimana praktik-praktik yang telah menjadi rahasia umum bahwa kampus favorit hanya untuk mereka yang bermodal, bahkan ada jatah-jatah pejabat kala momentum pemerimaan mahasiswa baru. Ini menjadi sebuah penanda terjadinya sebuah pergeseran paradigma bahwa pendidikan untuk semua kalangan menjadi sebuah komoditi kelas yang hanya bisa dinikmati kalangan kelas tertentu.
            Pemandangan yang menarik dalam dunia pendidikan bahwa antara kampus elit dan kampus pinggiran telah menimbulkan ketimpangan dalam dunia intelektual, seharusnya yang menjadi pertimbangan pokok dalam penerimaan mahasiswa baru itu terletak pada intelektual bukan pertimbangan atau dilandasi hubungan, entah karena hubungan material maupun hubungan emosional dengan kondisi ini masihkah kita punya harapan pada kampus ? sebagai tempat penyemaian calon-calon intelektual. Artinya mekanisme dalam dunia pendidikan hari ini memiliki masalah yang tampaknya masih memiliki akar kesejarahan dari budaya orde baru. Apabila praktek-praktek semacam itu masih memiliki tempat di dunia kampus maka ini menjadi sejarah kelam dalam dunia kampus, sebab kampus yang menyuarakan perubahan namun kampus menjadi status quo dan perlu menjadi catatan bahwa hasrat muda para mahasiswa tampaknya menghendaki perubahan tetapi zona kenyamanan yang menjadi wilayah basis dosen/birokrasi kampus.
            Ada yang menarik bahwa kampus elit menjadi domain para pemilik modal, pemilik jaringan dan singkatnya modus elit menjadi hakikat di dalamnya. Kampus menjadi penyuplai lahirnya tenaga-tenaga profesional ditengah masyarakat, tetapi yang mesti dipertanyakan bahwa apakah kampus elit berhasil melakukan transformasi dalam melahirkan outpun kepada masyarakat ?. Pertanyaan selanjutnya bahwa apakah hakikat kampus itu bermerek atau outpunya yang bermerek ? kebanyakan kampus elit hanya menghasilkan output dengan gengsi tetapi terkadang kering substansi keilmuan, orientasi kebanyakan mahasiswa adalah belajar dengan menghasilkan predikat cum laude, lalu mengambil beasiswa keluar negeri dan menikmati pendidikan ala barat, tetapi pertanyaannya apakah sumbangsi output semacam ini kepada masyarakat ?. Kampus dan mahasiswa senantiasa disebut sebagai miniatur negara tetapi yang menjadi pertanyaan masih layakkah kampus dianggap sebagai miniatur negara yang tingkah laku mahasiswanya sering kali mereprentasikan kehidupan rimba yang tak mengenal aturan, mungkinkah reprentasi semacam itu yang terjadi di kampus sehingga terjadi misorientasi.
            Hal, ini amatlah berbeda dengan pandangan Aguste Comte yang menyatakan bahwa tahapan dalam kehidupan masyarakat dimulai dari tahap teologi, mistik dan positivistik. Apabila bertolak dari pandangan ini maka dunia kampus selayaknya telah berada pada tataran positivistik dalam artian kampus haruslah berbau ilmiah, sehingga hasrat dan daya intelektual bisa mengalami kemajuan serta masyarakat bisa lebih modern pada tataran pemikiran. Mahasiswa sudah harus berpikir untuk menjadi agen pelopor dikemudian hari ketika berada pada masyarakat, terkadang masalah utama ketika berada pada masyarakat adalah pandangan-pandangan yang mengungkung sehingga transformasi perubahan kadang kala berbenturan dengan harapan masyarakat. Sehingga masalah utamanya bagaimana mahasiswa mampu merubah paradigma berpikir masyarakat yang masih berkutak pada wilayah teologi dan mistik, sehingga pandangan seperti teologi dan mistik apabila dipahami secara ekstrim oleh masyarakat maka ini dapat menjadi penghambat kemajuan.
            Berdasarkan pada realita yang terjadi bahwa mahasiswa dan kampus telah berubah menjadi individulistik yang egois, sehingga terkadang ada jarak antara manusia kampus dengan masyarakat luas dan kampus elit dengan kampus pinggiran. Bukan cuman itu antara mahasiswa ipk tinggi dengan ipk rendah, dikalangan birokrasi pula terjadi kelas antara pemegang jabatan dan bawahan. Singkatnya telah terjadi perangkat-perangkat kelas dalam tubuh kampus yang tidak produktif, persaingan yang tidak humanistik membuat adanya problem besar yang terjadi dikalangan kampus. Kegagalan terbesar kampus adalah ketika hanya mencetak mahasiswa bermerek ijazah tapi tidak memiliki soft skill dari lulusan yang dihasilkannya. Mahasiswa selama ini senantiasa berteriak dijalan-jalan untuk meneriakkan aspirasi tetapi senantiasa pula kita mendapati bahwa masyarakat pula yang menjadi korban dari demonstrasi dijalan, sehingga skill mahasiswa yang begitu mencolok adalah retorika dan kebanyakan mereka bermimpi menjadi politisi, apakah masyarakat hanya butuh politisi ? tentu segala lini dibutuhkan untuk memberikan pencerahan tetapi nyatanya idealisme mahasisawa kadang kala memudar sehingga ruh dari pergerakan mahasiswa sebagai agen of changeng/agen perubahan menjadi sebuah mitos yang senantiasa diproduksi ulang untuk menunjukan superioritas mahasiswa dibandingkan yang lainnya.
            Kampus yang kemudian mengalami kegagalan transformasi dalam memberikan perubahan kepada mahasiswa, indikasi ini dapat dilihat seperti mahasiswa masih cenderung primitif dalam menyelesaikan masalah dan budaya kekerasan masih menjadi bagian dari sikap mahasiswa, sehingga perubahan yang senantiasa diharapkan lahir dari mahasiswa menjadi kian hari makin luntur sebab perubahan yang lahir dari tangan mahasiswa cenderung anarkisme. Budaya yang juga amat memiriskan adalah adanya praktik-praktik uang yang beredar dikalangan kampus untuk memberikan ijazah dengan modus transaksi jual beli ijazah.
            Membaca arkeologi manusia kampus terlebih dahulu perlu dipahami bahwa arkeologi secara sederhananya dapat diartikan sebagai peninggalan masa lalu, kaitanya dengan arkeologi manusia kampus citra “bassi toa” dapat dimaknai sebagai kampus yang masih memiliki pandangan yang primitif, menolak KKN tetapi pada satu sisi mempraktekannya dan mengharapkan egaliter tetapi fakta berbicara lain. Ini menandakan manusia kampus masih berada pada landasan lama (baca bassi toa), yang gagal melakukan reformasi secara internal ataukah status quo memang memiliki citra bassi toa yang diperankan oleh birokrasi atau dosen. Praktik perkuliahan misalnya yang masih menempatkan dosen secara superior dapat menjadi penghambat terjadinya proses kreatif yang dimiliki oleh mahasiswa yang kemudian mengalami inferior.
            Keberhasilan kampus tidak terletak pada berapa mahasiswa yang berhasil selesai dalam satu tahun, tetapi keberhasilan itu dinilai sejauh mana lulusan itu mampu menunjukan keberhasilan dalam pengabdian pada masyarakat dengan bekal ilmunya, bukan malah mahasiswa atau outputnya mampu memecahkan masalah dengan pendekatan keilmuannya. Budaya pendidikan amat menentukan dalam menjawab semua tantangan tersebut dan apabila kampus hanya melahirkan pemilik ijazah bukan pemilik ilmu berarti kampus telah kehilangan ruh pencerahan. Mahasiswa sukses bukan sekedar bawa ijazah tetapi mampukah simbol-simbol nilai pada ijazah itu memberikan perubahan bukan retorika.

            Selama mahasiswa masih berkutat pada wilayah itu, tanpa mau melakukan pelampauan maka selamanya mahasiswa dan kampus hanya bentuk laku seremonial yang tidak produktif. Kampus harus memberikan cetakan segar bukan cetakan lama yang bercitra bassi toa sehingga tidak mengalami perkembangan, dalam artian status quo tersebut menempati posisi utama bukan laku pendobrak perubahan sebagaimana tercita-citakan selama ini. Kampus yang terbayang sebagai pusat kajian berubah menjadi pusat keganjilan, sebab mahasiswa mendaku sebagai mahluk rasional tetapi tindakan menunjukan laku primitif dan mahasiswa anti kemapanan tetapi memapankan senioritas, ini menunjukan adanya arkeologi bassi tua yang membuat dunia kampus semakin menunjukan kelapukan dan ilusi dari agen of changeng yang selama ini berhasil dimitoskan pada batok kepala mahasiswa yang selama ini berteriak rasionalitas.

Jumat, 27 November 2015

Makkunrai

Makkunrai
“O....puakku marajae, engkaka mannawa-nawa ri laleng atikku maserro maloppo pangelorekku mitai tanah Sanjaiku madejeng”.
“Sudahlah.....kawan kau jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang memberatkan batinmu. Yakinlah Puang Laja suatu hari nanti masyarakat akan mengerti perjuanganmu nasaba nawa-nawa macinnonge engkai sibawa puang malebbie”.
“Terima kasih La Fasuloi, esok mentari pasti bersinar harapan akan tumpah ruah pada bilik hati masyarakat untuk memilih pemimpin di desa ini. Kita tak bisa berharap banyak besok sebab masyarakat masih berpikiran tradisional soal memilih pemimpin, bagi mereka maddara takkue masih dianggap layak memimpin mereka. Bukankah ini demokrasi ?, mengapa mereka belum mengerti kalau siapa pun berhak menjadi pemimpin mereka”.
                Bulan makin larut dalam singgahsananya awan-awan mengelilinginya memperebutkan sinarnya untuk mempertontonkan pada bumi kalau warnanya tak kalah dengan keelokan air samudra, malam itu begitu banyak cerita yang masuk dalam gendam telinga sebab sorak-sorak riang dan ketawa yang membahak-bahak saling bersahutan. Suasana malam itu begitu ramai sebab besok akan ada pesta demokrasi pemilihan kepala desa di kampung itu, dibalik suasana ramai itu ada banyak kemungkinan yang akan terjadi sebab malam itu kampung telah berubah menjadi arena pertarungan bukan hanya sebagai simbol melainkan menunjukkan superior untuk menjadi penguasa kampung. Siri na pesse telah terkurung dalam sangkar tafsiran kelompok hingga di dada para calon maupun pendukung merasa malu bila calon mereka dihina atau disudutkan, siri telah berubah ranah menjadi klaim parsial dari para calon maupun pendukung.
“Idi maneng ekkae monro di lorong puang Kaddase, pada angkalinai ada-adakku ri olo to matoae napuadai makadae narekko engka mufi turunanna arunge ri olo iyanatu fada di asseddi”.
“Tonge itu puang Fajiloi, engka diaseng turunang”.
“Hah.....faceniki dolo puang Fajiloi dan puang Faletei, ia itu anu dioloe memeng maccarita turungang naikia makokoe dena taue nabicara turunga nasaba iga-iga macca na difuji di rayae iyanatu menre mancaji kapala desa”.
“Dek, nacoco itu puang Laja, engka diaseng diolofa na diolo nai mapparenta”.
“Tabe, puang Fajiloi narekko itu ditang anu dioloe farellui fada di fikkiri nasaba makkokoe sikolafa tania anu riolo baga elo mui tasedding malai famarenta turunanna arunge narekko degaga sikolana nennia engka sikolana naikia matempoi na matanre langgai”.
                Sigaru-garuni ati nenni pappisineddinna calonge nasaba wettue bergerak semakin cepat hingga tak lama lagi sang bitarae engkani macora mompo pole ri lau, elo mapparingerang narekko engkani fole mattappa iyanatu tanranna engkani mompo ininnawa maeloe ri fafole nasaba kode namagatti ininnawae ri jama nabettaki bitarae telleng ri orai.

“Tabe, ndi tafakeni waju mampaddekkee fakkita mamuare engkai nala ati micinnonge, namubalettoi limanna mamuare engka pada tabbale atinna taue fada mitaki naengkai fada mappoji lao ri aleta, fakeni anu mafaccitta mammuare anu mafaccinge engkai sitolo ininnawae siotorang pappoji lao ri anu makkitae”.

Mahasiswa Harus Mengakhiri Demo atau Demo yang akan Mengakhiri Mahasiswa

Mahasiswa Harus Mengakhiri Demo atau Demo yang akan Mengahiri Mahasiswa
            Aksi demo yang di lancarkan mahasiswa sebagai buntut dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang oleh banyak kalangan di nilai terlalu memberatkan bagi masyarakat kecil, sehingga mahasiswa harus turun ke jalan menyuarakan aspirasi rakyat lalu pertanyaannya apa guna anggota DPR dipilih kalau tak bisa menyuarakan aspirasi rakyat atau segaligus kritikan balik kepada mahasiswa apakah yang dilakukannya itu tidak mengambil wewenang anggota DPR ?, lalu masih pantaskah mahasiswa berteriak tegakkan keadilan kalau dia sendiri telah melanggar nilai keadilan dengan menyerobot kewenangan anggota DPR yang sah sebagai pemegang mandat perwakilan rakyat untuk menjalankan tugas menyampaikan aspirasi.
            Melihat dari realita demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan telah mencapai puncak klimaks dengan adanya berbagai macam peristiwa anarkisme yang ikut menyertai aksi demonstrasi, yang telah dibangga-banggakan oleh mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi rakyat yang sangat mulia tetapi kemuliaannya tercoreng dengan prilaku mahasiswa yang brutal dan anarkisme, lalu masih pantaskah aksi mahasiswa disebut sebagai bentuk aspirasi rakyat, kalau rakyat sendiri menderita dengan adanya aksi demo yang membuat tukang becak gagal, tukang ojeng, sopir pt-pt, dan tukang bentor gagal beroprasi karena adanya aksi mahasiswa, sehingga teriakan mahasiswa sebagai pembawa aspirasi rakyat kecil perlu dipertanyakan ulang. Kalau orang-orang yang dibawakan aspirasinya sendiri menderita dan bahkan dengan aksi itu mereka harus berkurang penghasilannya maka dimana lagi makna teriakan itu ?. sebab harga BBM sudah pasti naik walaupun mahasiswa harus menutup jalan hingga lumpu total tak akan mempengaruhi keputusan pemerintah menaikkan harga BBM.
            Apakah substansi demo itu harus anarkis atau kalau tidak anarkis bukan demo namanya ?, pertanyaan ini seolah menggelitik sama seperti ujian nasional dengan kunci jawaban sehingga telah menjadi adat istiadat apabila ujian nasional maka pasti ada kunci jawaban sehingga kalau tidak ada kunci jawaban maka bukan ujian nasional namanya, dengan keadaan seperti ini sebetulnya substansi demo telah melenceng jauh dari nilai-nilai demo yang etis bukankah akan jauh lebih elok apabila orang yang menyampaikan aspirasi itu dengan kata-kata santun tanpa ada yang harus melukai satu sama lain. Secara psikologi apabila kita menyampaikan sesuatu atau pesan kepada seseorang dengan suara lembut ataupun dengan etika maka pasti pesan itu disambut dengan tangan terbuka, tetapi coba anda menyampaikan pesan kepada seseorang dengan teriak-teriak apalagi dengan brutal dan anarkis sudah pasti orang yang mendengarkan anda menyampaikan pesan melakukan tindakan diluar batas kewajaran sebab anda sendiri yang meminta hal tersebut. Mungkin wajar pemerintah sebagai penerimah pesan dari rakyat melalui mahasiswa merasa tersinggung sehingga mengerahkan petugas untuk menghalau tindakan-tindakan yang anarkis yang dilakukan oleh mahasiswa, apalagi kalau mahasiswa sendiri menggunakan busur dan mengenai pihak keamanan yang sebetulnya mengatur keamanan serta ketertiban supaya mahasiswa menyampaikan aspirasi menjadi teratur tanpa gangguan dari mobil ataupun motor yang lalu lalang.
            Substansi demo sebagai bentuk untuk menyampaikan aspirasi rakyat pada dasarnya sangatlah bijak apalagi yang menyampaikan itu adalah mahasiswa yang menjadi corong perubahan segaligus harapan bangsa kedepannya, tetapi yang menjadi ironi bagi kita semua adalah sudikah bangsa ini meletakkan harapannya kedepan di pundak para mahasiswa kalau tindakannya hari ini tak mencerminkan nilai-nilai moral, mahasiswa tidak lagi menjadi harapan pembawa perubahan tetapi telah menjadi pembawa masalah sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Harapan kita kedepan mahasiswa harus menghentikan demo yang brutal apalagi yang berujung pada tindakan anarkisme, sebab yang terluka bukan siapa-siapa tetapi yang terluka adalah kita sendiri. Masihkah kita tega melihat pihak keamanan terluka karena demo, kritikan-kritikan terhadap demo mahasiswa sangat kita perlukan untuk membangun kedewasaan para mahasiswa melihat setiap masalah, sebab mahasiswa didik untuk memberikan solusi bukan malah menjadi pembawa polusi dengan membakar-bakar ban di jalan raya. Sekarang sudah saatnya mahasiswa menghentikan demo yang brutal sebab itu tidaklah mencerminkan mahasiswa agen of changeng, jangan sampai mahasiswa yang akan dirubah oleh keadaan sehingga mahasiswa hanya mengikuti keadaan bukan merubah keadaan. Ini segaligus menjadi kritikan terhadap slogan-slogan yang sangat dibesar-besarkan oleh mahasiswa sebagai agen of changeng, tetapi dia sendiri tak mencerminkan pembawa perubahan tetapi hanya menjadi penikmat status quo, kenapa bisa seperti itu ? kalau mahasiswa setuju dengan slogan agen of changeng maka sudah saatnya dia merubah gaya demonya yang brutal menjadi beretika.

            Demo-demo yang disuguhkan mahasiswa akhir-akhir ini memang telah mengilhami demo-demo tandingan yang serupa, segaligus meniru aksi mahasiswa yang brutal sekelompok warga juga turut terpancing dan emosi melihat tingkah mahasiswa yang seperti singa padang pasir yang menerkam siapa saja yang menghalangi jalannya tanpa memikirkan para pengguna jalan yang lain, sehingga warga pun melakukan demo tandingan untuk melawan aksi demo mahasiswa yang brutal maka warga pun melakukan serangan yang brutal kepada mahasiswa. Hal ini dilakukan oleh warga untuk menghentikan demo mahasiswa yang telah dinilai telah berada diluar kewajaran, sehingga dengan kejadian itu saya teringat sebuah pesan dari kampung bahwa apabila ada orang yang memusuhimu dan menyerangmu maka jurus pertama yang harus kau lakukan adalah gunakanlah jurus yang sama seperti saat dia menyerangmu. Jadi, kalau mahasiswa diserang dengan demo anarkis oleh warga maka itu pada dasarnya adalah senjata mahasiswa sendiri yang dipakai untuk menyerangnya kembali dan ini akan menjadi sebuah anekdot bagi mahasiswa bahwa mahasiswa harus mengakhiri demo atau demo yang akan mengakhiri mahasiswa, sebuah hal yang harus direnungkan bersama oleh mahasiswa jangan sampai dia menepuk air di dulang tetapi akhirnya mengenai muka sendiri.

Demokrasi (Kedaulatan Rakyat Hanya Sampai Jam 12.00)

DEMOKRASI (KEDAULATAN RAKYAT HANYA SAMPAI JAM 12.00)
            Hari ini segenap aktivitas bangsa indonesia di sibukkan pada TPS setempat untuk menentukan wakil-wakil rakyat dan hari ini pula gema demokrasi di pertajam untuk mengembalikan kedaulatan rakyat sampai jam 12.00, bila lewat dari pada itu mohon maaf rakyat tidak berdaulat lagi dan apakah pemilu adalah alat untuk menina bobokkan rakyat akan kemiskinan ? serta setelah pesta demokrasi kembali usai para buruh tani, nelayan dan kaum buruh harian harus mendapati diri mereka kembali dalam keadaan upah tak layak di tambah penaikan harga sembako untuk mengembalikan modal pemenang pemilu, karena telah banyak mengeluarkan dana untuk kampanye. Lagi pula rakyat yang dinyatakan berdaulat hari ini tapi kedaulatannya hanya bertahan sampai jam 12.00 setelah itu maka kedaulatan rakyat kembali di kurung, lalu apa arti demokrasi yang kita jalani hari ini ?, hanya yang berkepentingan yang tahu dan tuhan selain dari pada itu hanya menjadi gaib.
            Bangsa ini memang tidak salah dalam memilih proses berdemokrasi tapi yang menjadi masalah adalah hasil dari demokrasi cendrung bukan reprentasi keikhlasan masyarakat untuk terwakilkan oleh yang terpilih, tapi yang ada hanya reprentasi dari kemenangan demokrasi melalui jalan kecurangan hingga, hakikat kemenangan dalam pesta demokrasi di tentukan oleh banyak kasus yang ditangani MK setelah pemilu, jadi ketika kita ingin mengucapkan selamat bagi pemenangan pemilu maka ucapan selamat yang cocok atau yang pas adalah selamat menunggu gugatan dari MK yang di perkarakan oleh lawan politik. Lalu kalau ditanya apa hasil dari demokrasi ini maka tiada jawaban yang sesuai sebab yang menang adalah menang dana dan yang kalah adalah kalah dana. Sudah beberapa tahun kita mencoba menjadi negara demokrasi tapi yang ada hanya sebuah ilusi dari khayalan kita tentang apa yang ideal di negara orang tapi di negeri ini belum tentu ideal, sebab secara kultur negara ini tidak mengenal demokrasi sebagaimana di barat tapi kultur pemerintahan di negara ini yang ada dan dipraktekkan selama ini adalah pemerintahan dengan berbasis kerajaan, oleh karena itu perlu modifikasi sesungguhnya bila kita ingin mempraktekkan demokrasi di negeri ini, sebab demokrasi merupakan barang baru ketimbang cara pemerintahan kerajaan dan inilah solusi yang perlu kita pikirkan bersama sebab bukan sistem yang menjadi masalah tapi apakah mau atau tidak kita berbuat untuk negeri ini ?, itu adalah poin utama yang mesti kita perhatikan secara bersama-sama sebab apalah arti sistem kalau hanya menjadi alat transaksi kekuasaan belaka tanpa ada nilai yang riil untuk kemajuan bangsa ini.
            Kita tentu ingin belajar bernegara yang secara yang amat bijak sebab hari ini dengan hari esok jelas adalah gambaran yang akan mewarnai hari-hari kedepan yang akan kita jalani sebagai bangsa, politik jelas amat di perlukan untuk mengelola bangsa ini dengan begitu amatlah wajar kalau kita berharap orang-orang yang mengelola bangsa ini memiliki kesadaran untuk memajukan dan mensejahtrakan bangsa ini dan kalau ini sudah menjadi bagian kesadaran kita maka kekayaan bangsa yang mana yang tidak dapat kita kelola dengan baik, bangsa ini kaya sehingga perlu kesadaran berpikir yang jelas untuk menata ke depan sebab hanya dengan jalan itu kita dapat merasakan kekayaan negeri ini. Berpolitik yang mengedepankan kepentingan bangsa amat jelas kita perlukan sebab kita yang punya minyak kenapa harga minyak tinggi ?, dimana letak kesalahannya jelas bukan kesalahan siapa-siapa tapi ada pada bangsa kita sendiri. Oleh, karena itu kedaulatan rakyat memang sangatlah jelas untuk menjadi kontron roda pemerintahan tapi mengapa rakyat tidak berdaya menghadapi wakil-wakilnya untuk memperjuangkan kepentingannya ?, sungguh negeri ini masih perlu memahami apa arti demokrasi untuk rakyat ?, apakah demokrasi hanya untuk melayani kepentingan golongan dan persaingan antar partai jelas kita masih perlu bertanya untuk hal ini, supaya mengapa bisa terjadi seperti ini di bangsa yang kaya ?, terkenal sebagai bangsa pengutang tapi mengapa kita yang kaya tidak dapat melunasi utang ?, lalu apa arti kekayaan negeri ini apabila kita tidak dapat menikmatinya. Semua orang hari ini mencoba berharap pada pemilu kali ini tapi harapan kita harus realistis sebab kita sama-sama harus menanggung beban kekecewaan yang amat berarti padahal demokrasi adalah semangat keterwakilan bukan semangat kepentingan golongan menguasai kekayaan bangsa ini, lalu pertanyaannya sampai kapan kita mempertahankan status quo seperti ini kalau jelas arah dan hasilnya amat tidak pro rakyat sehingga kita harus belajar sama-sama untuk kecewa pada demokrasi untuk kesekian kalinya lagi.