MEA
(Masyarakat Ekonomi Asean) akankah ?
Konsep MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) merupakan sebuah
konsep yang dirmusukan oleh para pemimpin Asean untuk membina hubungan secara
bilateral antar negara Asean, melihat kondisi negara-negara Asean yang memiliki
potensi baik secara geografis maupun potensi sumber daya manusia sehingga
menjadi target market bagi negara-negara produsen untuk memasarkan produknya.
Menariknya bahwa MEA menjadi sebuah titik sentral untuk memformulasikan
potensi-potensi yang ada segaligus memunculkan kawasan Asean sebagai wajah baru
yang turut memainkan percaturan ekonomi global.
MEA selayaknya menjadi poros ekonomi baru ditengah
persaingan kawasan yang terjadi di berbagai negara, semisal duo Korea yang
saling bersitegang atas nama ideologi, Jepang dan China atau Taiwan dengan
China, lebih jauh lagi misalnya Timur Tengah yang malah asyik berperang antar
sesama negara Arab. Menyimak lebih jauh lagi persaingan yang terjadi di kawasan
anak benua India, yang menimbulkan sebuah ketegangan di kawasan sehingga secara
ekonomi antar negara kawasan yang bersitegang menimbulkan efek ketidak
harmonisan yang dilandasi atas sikap saling tidak percaya, sehingga menimbulkan
pola interaksi ekonomi cenderung mencari ke kawasan yang jauh lebih kondusif
secara keamanan. Sebab kerja sama ekonomi mempersyaratkan terjaminya rasa aman
dalam dunia usaha yang banyak ditopang oleh stabilitas politik. Atas dasar
itulah kemudian kawasan Asean menjadi target atau poros ekonomi baru yang akan
muncul dari Asia.
Asean secara geopolitik cenderung bisa dikatakan stabil
sebab latar belakang negar-negara Asean yang begitu beragam, tetapi menimbulkan
satu kecenderungan positif yang bisa membuat trend dunia ekonomi bisa mendapat
tempat. Artinya bahwa trend ekonomi yang positif yang mulai menunjukan
geliatnya pada dasarnya peluang terbesar yang dimiliki oleh kawasan Asean,
mengingat di kawasan-kawasan Asia lainya terjadi berbagai konflik yang bisa
dikatakan menimbulkan pengaruh besar pada dunia ekonomi. Secara ekonomi
semenanjung Korea mengalami kemajuan tetapi catatan bahwa kedua negara Korea
tersebut saling bersitegang sehingga berdampak negatif terhadap tumbuhnya
peluang-peluang infestasi.
Peluang besar ini perlu dijagah trendnya dengan
stabilitas keamanan Asean sebagai indikator utamanya, sehingga MEA adalah upaya
bersama negara-negara Asean untuk memperkuat ketahanan ekonomi segaligus
menjaga kekompakan antar negara Asean. Untuk menjadikan Asean sebagai sebuah
kawasan poros ekonomi baru yang tumbuh diatas solidaritas bukan dengan rasa
curigah. Apabila MEA ini berhasil digalakan secara bersama maka bukan tidak
mungkin Asean menjadi reprentasi kawasan yang multikultural tetapi mampu hidup
berdampingan dan saling mendukung dalam hal kemajuan ekonomi secara
bersama-sama. Asean harus mampu bermimpi kedepan untuk tampil sebagai kawasan
yang mampu tumbuh saling bersinergi, sebab dengan perputaran roda ekonomi yang
melibatkan negara Asean secara bersama maka hal tersebut saling menguatkan
antar negara Asean.
Perlunya pemahaman lebih jauh tentang MEA untuk ikut
serta secara aktif seluruh negara-negara Asean dengan memasarkan produk
negara-negara masing-masing, sehingga produk tiap negara mampu untuk dilihat
sejauh mana kualitasnya dipasar dan mambu secara kreatif mengolah kebutuhan-kebutuhan
pasar. Kemudian MEA menjadi semacam regulator segaligus simulator dalam
memasarkan produk tiap negara, dengan tetap memperlihatkan kualitas sebagai
bagian pokok dalam mewujudkan produk yang mampu berdaya saing tinggi. MEA
sebagai regulator dapat diartikan sebagai upaya bersama negara-negara Asean
untuk memasarkan produknya ketiap-tiap negara lainnya dalam skala Asean, hal
ini dapat diwujudkan dengan saling memasarkan produk negara anggota Asean
sehingga keuntungan-keuntungan ekonomi masih tetap berkutat pada wilayah
kawasan Asean. Apabila konsep ini berhasil diterapkan secara nyata maka setelah
itu produk-produk yang sudah mampu menembus pasar skala Asean, sehingga langkah
selanjutnya produk itu perlu disebarkan secara global dengan kekuatan bersama sebagai
satu kesatuan antar negara Asean.
Regulasi marketing semacam ini perlu dikembangkan untuk
saling memberdayakan satu sama lain, sebagai contoh misalnya dengan penerapan
semacam ini maka Indonesia sebagai negara agraris perlu menghasilkan produk
dari komuditi-komoditi pertanian yang kemudian diolah, maka dalam pengelolaan
misalnya Indonesia memerlukan tenaga kerja sehingga negara-negara yang memiliki
tingkat pengangguran yang tinggi perlu mendatangkan tenaga kerja dari negara
lain skala Asean untuk membantu dan begitu sebaliknya. Dengan regulasi tersebut
mengikut sertakan partisipasi aktif semua negara anggota yang pada dasarnya
sistem ekonomi semacam ini bersifat terbuka dan memberikan peluang kepada semua
negara anggota untuk aktif. Selanjutnya MEA sebagai simulator dapat dipahami
dengan menjadikan negara-negara lain sebagai ajang simulasi produk atau sebagai
tahap uji coba produk sebelum dipasarkan secara mendunia.
Konsekuensi dari MEA ini mempersyaratkan pada keterbukaan
dan kemudahan antar sesama anggota kawasan, sebab regulasi marketing yang
dikehendaki adalah keterbukaan untuk menerima produk dari negara sekawasan yang
secara mudah untuk masuk menembus pasar masing-masing anggota. Sehingga
kebijakan impor harus mampu membuka ruang bagi keterbukaan dan kemudahan dalam
proses bea cukai barang-barang yang hendak masuk dari negara anggota,
prinsipnya bahwa asas persamaan standar yang menjadi inti regulasi untuk
mewujudkan MEA dengan menjadikan kebersamaan sebagai pilar utama demi
pemberdayaan antar sesama negara anggota. Yang kemudian mewujudkan keselarasan
dan menolak adanya negara superior dan ninferior untuk mewujudkan tata kawasan
yang harmonis.
Di balik tujuan yang ambisius itu menimbulkan beberapa
kemungkinan yang bisa saja terjadi mengingat komplesitasnya latar belakang
negara-negara Asean. Pertama dengan adanya asas persamaan standar maka negara
anggota yang berada pada level negara produsen akan memperjuangkan persamaan
standar yang jelas menguntungkan produk negaranya, sehingga bisa saja hal ini
menimbulkan masalah. Kedua isu-isu teritorial atau batas suatu negara menjadi sebuah polemik
tersendiri yang apabila tak mampu dikelola secara kreatif bisa menimbulkan
pergesekan, isu-isu semacam ini sering sekali mengintai negara
Indonesia-Malaysia yang pada dasarnya akan berakibat fatal terhadap ekonomi.
Ketiga isu-isu SARA (Suku, Agama dan Ras) menjadi faktor yang bisa turut
mempengaruhi kondisi-kondisi suatu negara, apalagi dengan latar yang beragama
menjadi sangat menarik untuk menelusurinya dengan pertimbangan Asean kaya akan
isu-isu SARA. Yang mungkin isu awalnya hanya melibatkan keluarga tetapi lama
kelamaan memasuki afiliasi kepentingan yang berujung pada konflik. Artinya
potensi gejolak itu pada dasarnya cukup besar untuk menimbulkan ketegangan dan
merugikan secara ekonomi yang kalau kondisi semacam ini terjadi maka MEA menjadi sebuah pigura yang buram
pada masa depan kawasan harmonis.
Untuk menjembatani munculnya ide-ide kebersamaan dan rasa
kepedulian terhadap masa depan kawasan maka penggalian Asean dimasa lalu dirasa
perlu untuk membaca polarisasi hubungan itu. Pada taraf tertentu misalnya
kesadaran kawasan perlu dijagah untuk membangun kembali regulasi yang harmonis,
segaligus mencoba menakar akar-akar kebersaman melalui ide besar yang berhasil
mengkonstruksikan bahwa Asean poros ekonomi baru yang berwajah partisipatoris,
yang senantiasa tumbuh diatas tumpukan kebudayaan yang menatap masa depan
kawasan yang egalitarian. Singkatnya Asean bagai market yang menjanjikan yang
selayaknya mampu tumbuh dan diterjemahkan sebagai perangkat kerja dengan MEA
sebagai branding tentang sebuah mimpi Asean poros ekonomi baru yang berdaulat
secara partisipatoris negara-negara anggota.
MEA bisa saja menjadi sebuah propaganda politik ditengah
maraknya serbuan-serbuan produk asing yang menegasikan peran-peran lokal
(negara-negara Asean), apabila Asean gagal memformulasikan diri menjadi sebuah
identitas bersama yang dapat menjadi pemicu lahirnya konflik maupun ketegangan
dikawasan. Makanya pernyataan secara ambisius yang mengatakan MEA sebaga
alternatif baru bagi market internal skala Asean untuk memberikan sebuah contoh
bagi kawasan lain untuk berkaca pada produk Asean yang tentu dengan
standarisasi yang berkualitas dunia untuk menunjuk inilah Asean. Tetapi, regulasi
politik nasional dapat saja berdampak pada isu-isu MEA yang mungkin saja
cenderung politik dibandingkan hasil yang lebih berkualitas. Artinya MEA
menjadi suara-suara politisi di tiap-tiap negara namun bentuk keseriusan itu
masih terus menarik untuk diuji sejauh mana penerapannya.