Senin, 30 November 2015

Pengetahuan dan Kuasa

Pengetahuan dan Kuasa
            Ada yang menjadi sebuah pernyataan yang menarik untuk dibicarakan lebih jauh yakni apakah pengetahuan itu bebas nilai atau memiliki pengaruh subjektif ? apabila pengetahuan itu menjadi bebas nilai maka pertanyaannya apakah ada jaminan apabila seorang ilmuan bebas dari pandangan-pandangan subjektivnya ? ataukah yang dimaksud sebagai bebas nilai ialah netral dari kepentingan tetapi ketika netral maka itupun pada dasarnya memiliki kepentingan yakni mampu berada pada lingkungan yang beragam, baik secara afiliasi agama, ekonomi dan politik. Perlunya kita mencermati lebih jauh menyangkut masalah ini, sebab menjadi sebuah kesadaran kritis dunia pendidikan selama ini banyak disponsori oleh pemerintah, sehingga menjadi sebuah pertanyaan apakah pemerintah betu-betul hadir untuk pengetahuan atau demi menjaga kepentingan politiknya ?.
            Pertanyaan mendasarnya apakah pengetahuan dan kuasa memiliki relasi ? berbicara masalah ini tentu memiliki banyak sudut pandang, tetapi perlu menjadi sebuah catatan bahwa sebuah pengetahuan apabila ingin dikembangkan kadang kala harus mempertimbangkan aspek kekuasaan, dibanyak tempat telah membuktikan bahwa dengan pengetahuan yang berbeda pandangan dengan penguasa menyebabkan seorang ilmuan harus mengakhiri hidupnya dengan secangkir racun, ini menjadi semacam petanda bahwa dengan pengetahuan yang pada dasarnya mendidik manusia tetapi yang menjadi masalah pengetahuan baru lebih menarik simpatik kalangan tertentu dibandingkan pandangan lama. Singkatnya manusia memang butuh pengetahuan tetapi perlu disadari semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit sedangkan kekuasaan membutuhkan manusia berketerampilan yang semua itu berawal dari pendidikan.
            Melihat pengetahuan yang secara idealisme memang harus bebas nilai tetapi apakah kekuasaan dapat berjalan tanpa pengetahuan, uraian ini hendak mengatakan bahwa pengetahuan butuh institusional untuk melembagakan dan menjadikan pendidikan sebagai aspek utamanya. Namun, menjadi menarik apabila diperbincankan mengenai hubungan kedunya, sebab pengetahuan butuh sokongan dana sedangkan politik/kuasa membutuhkan manusia yang tercerahkan untuk mengelola negara, tetapi yang perlu disoroti bersama bahwa pendidikan adalah pembebas dari berbagai keterkungkungan yang masih membelenggu seperti itu idealnya pendidikan yang menempatkan intelektualitas untuk menopang kekuasaan, tetapi dunia realitas terkadang berbicara lain kemudian pertanyaannya mampukah pengetahuan menjadi pembebas dan meruntuhkan dominasi sektarian yang tidak menempatkan intelektualitas sebagai pengelola kekuasaan.
            Dalam kasus bangsa Indonesia kala masih berada pada pemerintahan kolonial Belanda, menunjukan suatu realita kekuasaan yang menjadikan pengetahuan yang dipenuhi hasrat kuasa. Sebagaimana tercatat dalam tinta perjalanan sejarah bangsa menunjukan bagaimana kaum pribumi disekolahkan untuk di tempatkan pada instansi pemerintah kolonial dan kaum pribumi merasa terangkat derajatnya tetapi aspek lainnya penjajah mencoba memecah belah bangsa dengan menjadikan kaum pribumi yang telah menempuh dunia pendidikan akhirnya menjadi perpanjangan tangan kaum kolonial dan ini memberikan efek rasa saling curiga antara satu sama lain. Artinya dengan pengetahuan kaum penjajah secara perlahan namun pasti menciptakan ketegangan diantara kaum pribumi. Strategi semacam ini sebetulnya sangatlah efektiv untuk menghemat kekuatan dalam membendung potensi pemberontakan ditengah masyarakat. Dengan memberikan akses pendidikan kepada kaum pribumi secara simbolistik pemerintah kolonial hendak berkata bahwa sekarang antara kaum penjajah dan pribumi memiliki kesetaraan dalam dunia pendidikan, sehingga memberikan kebanggaan kepada kaum pribumi bahwa dirinya telah sejajah dengan kaum penjajah.

            Pendidikan dalam konteks pemerintah kolonial adalah proyek untuk mengontrol kaum pribumi dan berusaha menunjukan wajah manis kepada kaum pribumi yang pada akhirnya kaum terdidik ala pemerintah kolonial menjadi agen-agen penjajah untuk memecah belah antar pribumi. Mungkin dalam konteks sekarang pendidikan masih terjajah dengan memberikan mahasiswa beasiswa yang mempersyaratkan untuk tidak ikut aksi demonstrasi apakah ini bentuk penjajahan baru di dunia pendidikan ? apabila praktik-praktik semacam ini masih terjadi dalam dunia pendidikan itu maknanya kita masih terjajah sebab kesetaraan hanyalah simbolistik bukan substansi yang hadir. Banyak program-program penguasa untuk memberikan hak yang sama dalam dunia pendidikan seperti pendidikan gratis tetapi anak jalanan tetap saja banyak yang tidak mendapatkan hak untuk menikmati dunia pendidikan. Artinya pendidikan adalah untuk menina bobokkan daya kritis sehingga kebebasan ditekan melalui obat penenang yang berbentuk beasiswa yang bagai morfin untuk mencandu sehingga terjadi keterlenaan dan membuat garis pemisah antara kaum terdidik dengan masyarakat umum. Membuat output pendidikan menjadi bangsawan baru ditengah masyarakat kemudian menghegemoni kelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar