Pengetahuan
dan Kuasa
Ada yang menjadi sebuah pernyataan yang menarik untuk
dibicarakan lebih jauh yakni apakah pengetahuan itu bebas nilai atau memiliki
pengaruh subjektif ? apabila pengetahuan itu menjadi bebas nilai maka
pertanyaannya apakah ada jaminan apabila seorang ilmuan bebas dari
pandangan-pandangan subjektivnya ? ataukah yang dimaksud sebagai bebas nilai
ialah netral dari kepentingan tetapi ketika netral maka itupun pada dasarnya
memiliki kepentingan yakni mampu berada pada lingkungan yang beragam, baik
secara afiliasi agama, ekonomi dan politik. Perlunya kita mencermati lebih jauh
menyangkut masalah ini, sebab menjadi sebuah kesadaran kritis dunia pendidikan
selama ini banyak disponsori oleh pemerintah, sehingga menjadi sebuah
pertanyaan apakah pemerintah betu-betul hadir untuk pengetahuan atau demi
menjaga kepentingan politiknya ?.
Pertanyaan mendasarnya apakah pengetahuan dan kuasa
memiliki relasi ? berbicara masalah ini tentu memiliki banyak sudut pandang,
tetapi perlu menjadi sebuah catatan bahwa sebuah pengetahuan apabila ingin
dikembangkan kadang kala harus mempertimbangkan aspek kekuasaan, dibanyak
tempat telah membuktikan bahwa dengan pengetahuan yang berbeda pandangan dengan
penguasa menyebabkan seorang ilmuan harus mengakhiri hidupnya dengan secangkir
racun, ini menjadi semacam petanda bahwa dengan pengetahuan yang pada dasarnya
mendidik manusia tetapi yang menjadi masalah pengetahuan baru lebih menarik
simpatik kalangan tertentu dibandingkan pandangan lama. Singkatnya manusia memang
butuh pengetahuan tetapi perlu disadari semua itu membutuhkan biaya yang tidak
sedikit sedangkan kekuasaan membutuhkan manusia berketerampilan yang semua itu
berawal dari pendidikan.
Melihat pengetahuan yang secara idealisme memang harus
bebas nilai tetapi apakah kekuasaan dapat berjalan tanpa pengetahuan, uraian
ini hendak mengatakan bahwa pengetahuan butuh institusional untuk melembagakan
dan menjadikan pendidikan sebagai aspek utamanya. Namun, menjadi menarik
apabila diperbincankan mengenai hubungan kedunya, sebab pengetahuan butuh
sokongan dana sedangkan politik/kuasa membutuhkan manusia yang tercerahkan
untuk mengelola negara, tetapi yang perlu disoroti bersama bahwa pendidikan
adalah pembebas dari berbagai keterkungkungan yang masih membelenggu seperti
itu idealnya pendidikan yang menempatkan intelektualitas untuk menopang
kekuasaan, tetapi dunia realitas terkadang berbicara lain kemudian
pertanyaannya mampukah pengetahuan menjadi pembebas dan meruntuhkan dominasi
sektarian yang tidak menempatkan intelektualitas sebagai pengelola kekuasaan.
Dalam kasus bangsa Indonesia kala masih berada pada
pemerintahan kolonial Belanda, menunjukan suatu realita kekuasaan yang
menjadikan pengetahuan yang dipenuhi hasrat kuasa. Sebagaimana tercatat dalam
tinta perjalanan sejarah bangsa menunjukan bagaimana kaum pribumi disekolahkan
untuk di tempatkan pada instansi pemerintah kolonial dan kaum pribumi merasa
terangkat derajatnya tetapi aspek lainnya penjajah mencoba memecah belah bangsa
dengan menjadikan kaum pribumi yang telah menempuh dunia pendidikan akhirnya
menjadi perpanjangan tangan kaum kolonial dan ini memberikan efek rasa saling
curiga antara satu sama lain. Artinya dengan pengetahuan kaum penjajah secara
perlahan namun pasti menciptakan ketegangan diantara kaum pribumi. Strategi
semacam ini sebetulnya sangatlah efektiv untuk menghemat kekuatan dalam
membendung potensi pemberontakan ditengah masyarakat. Dengan memberikan akses
pendidikan kepada kaum pribumi secara simbolistik pemerintah kolonial hendak
berkata bahwa sekarang antara kaum penjajah dan pribumi memiliki kesetaraan
dalam dunia pendidikan, sehingga memberikan kebanggaan kepada kaum pribumi
bahwa dirinya telah sejajah dengan kaum penjajah.
Pendidikan dalam konteks pemerintah kolonial adalah
proyek untuk mengontrol kaum pribumi dan berusaha menunjukan wajah manis kepada
kaum pribumi yang pada akhirnya kaum terdidik ala pemerintah kolonial menjadi
agen-agen penjajah untuk memecah belah antar pribumi. Mungkin dalam konteks
sekarang pendidikan masih terjajah dengan memberikan mahasiswa beasiswa yang
mempersyaratkan untuk tidak ikut aksi demonstrasi apakah ini bentuk penjajahan
baru di dunia pendidikan ? apabila praktik-praktik semacam ini masih terjadi
dalam dunia pendidikan itu maknanya kita masih terjajah sebab kesetaraan
hanyalah simbolistik bukan substansi yang hadir. Banyak program-program
penguasa untuk memberikan hak yang sama dalam dunia pendidikan seperti
pendidikan gratis tetapi anak jalanan tetap saja banyak yang tidak mendapatkan
hak untuk menikmati dunia pendidikan. Artinya pendidikan adalah untuk menina
bobokkan daya kritis sehingga kebebasan ditekan melalui obat penenang yang
berbentuk beasiswa yang bagai morfin untuk mencandu sehingga terjadi
keterlenaan dan membuat garis pemisah antara kaum terdidik dengan masyarakat
umum. Membuat output pendidikan menjadi bangsawan baru ditengah masyarakat
kemudian menghegemoni kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar