Antropologi
Manusia Batu Lotong
Membaca manusia Batu Lotong dari sudut pandang
antropologi menjadi sebuah studi kajian yang tentu sangat menarik, sebab Batu
Lotong bagai gadis mulampekke (baca
beranjak gadis atau remaja) sehingga mungkin dia belum begitu mengenal
pergaulan secara modern. Karena kesehariaannya masih berada pada lingkungan
yang masih kurang bersentuhan pada teknologi-teknologi modern. Singkatnya Batu
Lotong menjadi rebutan bukan hanya cowok maco seperti antropologi yang ingin
mendekatinya secara ilmu kemanusiaan, bahkan psikologi tak segan-segan
menyenternya dari jauh untuk membaca kejiwaannya tetapi singkatnya kedua cowok
itu antara antropologi dan psikologi yang hanya membawa cinta abstrak maka sang
gadis (baca Batu Lotong) tak tertarik sama sekali sebab dia telah dibisiki oleh
temannya bahwa ada cowok yang jauh lebih dari pada antropologi dan psikologi
yakni sang cowok (baca peralatan teknologi modern) yang memiliki mobil truk sehingga
Batu Lotong tak lagi jalan kaki yang sangat melelahkan.
Yang membuat sang cowok antropologi dan psikologi tak
habis pikir dengan sang pujaan hati (baca Batu Lotong), sebab peralatan
teknologi modern merekalah yang membuat tetapi kenapa Batu Lotong malah
tertarik kepada si teknologi ? yang pada hakikatnya lahir dari buah tangan
antropologi dan psikologi. Tetapi, yang membuat keduanya merasakan kemirisan
bahwa ternyata kini buatan mereka berdua berubah menjadi saingan, padahal
sebelumnya sang teknologi dibuat untuk melayani mereka tetapi kini malah mereka
yang harus melayani teknologi. Suatu hari antropologi dan psikologi bertemu
dengan Batu Lotong yang datang mengunjungi teknologi modern yang akhirnya
antropologi dan psikologi bertanya kepada Batu Lotong, “mengapa engkau lebih
memilih teknologi modern dibandingkan kami berdua ?”, dengan begitu santai Batu
Lotong menjawab bahwa “aku memilih teknologi modern karena dia jauh lebih
sempurna dibandingkan kalian berdua”, mendengar jawaban itu membuat keduanya
merasa tersinggung sebab bagaimanapun juga teknologi modern lahir dari buah
jerih payahnya, hingga bermaksud untuk menjabarkan kebenaran yang sesungguhnya.
“Batu Lotong perlu kau ketahui bahwa teknologi modern kamilah yang buat
seharusnya kamu memilih salah satu dari kami berdua, karena teknologi modern
sejak awal kami desain sebagai persembahan cinta kepadamu”, celotehnya dengan
begitu mendalam sampai-sampai melelehkan air mata. Dari air mata keduanyalah
maka lahir sebuah perspektif baru untuk kembali menaklukkan hati si Batu
Lotong, dari air mata antropologi lahirlah animal symbolicum dan dari air mata
psikologi lahirlah psikologi humanistik. Secara hakikat hal tersebut lahir
untuk menyadarkan si Batu Lotong bahwa salah satu diantara mereka berdualah
yang layak untuk dipilih.
Hari demi hari hubungan asmara si Batu Lotong dengan
teknologi modern begitu erat sehingga tiada hari tanpa cinta, teknologi modern
mempersembahkan berbagai macam kesenangan kepada Batu Lotong untuk lebih
meyakinkah bahwa dia memang pantas buat dipilih. Singkatnya si Batu Lotong
telah dibutakan oleh berbagai jenis peralan dan lebih jauh efek dari cinta buta
itu membuat si Batu Lotong makin manja, kalau dia dulu terkenal sebagai seorang
gadis yang rajin tetapi ketika jatuh hati pada teknologi modern maka semua
kebiasaan-kebiasaan Batu Lotong yang biasanya secara mandiri mampu dia lakukan
kini semua itu digantikan dengan kemanjaan dengan mengandalkan si teknologi
modern. Yang lebih ironi lagi tabiat si Batu Lotong yang mandiri secara
derastis berubah menjadi gadis yang mengalami ketergantungan, dia tak bisa
jauh-jauh dari sang kekasih dan hal ini menjadi buah bibir orang-orang
sekampung sebab menurut adat yang telah diwariskan oleh nenek moyang si Batu
Lotong yang bernama sosiologi yang berpasangan dengan budaya hingga lidah
keturunannya biasa menyeburnya pesan-pesan nenek matoa (orang tua) sosiologi budaya bahwa seorang anak gadis pantang
duduk berduaan maupun sering sama apabila belum menikah sebab ketika itu
dilanggar maka akan terjadi murka dari puange
(tuhan).
Pembicaraan orang-orang sekampung tentang si Batu Lotong
yang sering berdua-duaan bahkan begitu bermesraan dengan teknologi modern,
sebetulnya telah disadari oleh kedua orang tua mereka yakni i (penanda jenis kelamin laki-laki)
philo dan we (penanda jenis kelamin
prempuan bugis) shopia dan bahkan sering kali mengingatkan bahwa apabila
tindakan berdua-duaan tersebut terus dilakukan akan mengandung konsekuensi dari
puange (tuhan). Namun, tampaknya si
Batu Lotong hanya menganggap nasehat leluhur itu bagai angin lalu dan bahkan
menantang “kalau memang nasihat atau pesan-pesan leluhur itu berlaku maka tentu
sudah lama hukuman dari puange
(tuhan) terjadi tetapi nyatanya itu tidak terbukti sama sekali”, mendengar
perkataan itu kedua orang tuanya i
philo dan we shopia merasa khawatir
dengan kecongkakan putrinya tersebut.
Maka i philo
dan we shopia akhirnya secara bulat
menemui para pangulu ade’ (penghulu
adat) untuk mengutarakan kondisi yang menimpa putrinya dan segaligus memikirkan
solusi terbaik tentang masalah tersebut. Akhirnya setelah mendengar secara
bijak dan bertemu pada satu titik kesempulan maka akhirnya pangulu ade’ atau penghulu adat memutuskan, “i philo dan we shopia apa
yang menimpa putrimu si Batu Lotong pada dasarnya adalah perasaan cinta yang
mendalam pada seorang pemuda yang bernama teknologi modern itu hal yang wajar
tetapi perwujudan hubungan cinta diantara mereka berada diluar kebiasaan adat
kita. Sehingga untuk tetap menjaga tradisi kampung maka kami dari pangulu ade’ mengambil keputusan untuk
menikahkan keduanya tetapi ada satu keputusan lagi namun sebelumnya apakah i philo dan we shopia mau menerima itu ? sebab jujur keputusan yang satu ini
berat”, papar pangulu ade’ dengan
penuh tatapan serius sehingga membuat i
philo dan we shopia merasa
bertanya-tanya segaligus bercampur rasa takut, karena tidak biasanya seseorang
mendapatkan dua sanksi adat segaligus kecuali apabila itu memang termasuk
pelanggaran adat yang besar. Karena rasa was-was akhirnya keduanya memberanikan
diri untuk bersuara “sebagai bagian dari adat kami memahami bahwa setiap
pelanggaran adat wajar untuk mendapatkan sanksi, sehingga kami tentu sudah siap
dengan berbagai kondisi maupun konsekuensi dari hukum adat. Sebab keputusan pangadereng (hukum adat tentang etika)
menjadi sebuah keharusan untuk diterimah itu wajib”.
Suasana yang begitu tegang menyelimuti pertemuan itu
sebab tidak biasanya pangulu ade’
mengambil keputusan terlalu lama, “sanksi adat yang mesti diterima oleh si Batu
Lotong atas perbuatannya selain dinikahkan dengan teknologi modern maka sanksi
kedua Batu Lotong dikenakan sanksi ri
paopani tanah (dianggap sudah mati dengan diusir dari kampung), segaligus
ini menjadi pelajaran bagi yang lainnya bahwa ade’ (adat) masih ada”, jelas pangulu
ade’ dengan suara penuh wibawah. Keputusan ini tentu menjadi keputusan yang
begitu berat diterima oleh i philo
dan we shopia tetapi tradisi adalah
sebuah aturan yang menjadi pengatur dalam tata hidup bermasyarakat maka pantang
untuk ditolak, apalagi melakukan tindakan anarkis untuk menolak semua itu,
mungkin inilah tingkat humanistik paling luhur ala masyarakat kampung. Akhirnya
sesuai dengan kesepakatan maka hari pernikahan si Batu Lotong dengan teknologi
modern telah ditentukan, namun ada yang aneh terjadi dan mungkin dianggap
berada diluar kewajaran sebab hari pernikahan keduanya bertepatan dengan hari kaddaro (hari yang dianggap buruk).
Berita ini tersebar luas hingga keseluruh kampung bahkan sampai berbagai wanua (negara), yang paling syok berat
adalah si antropologi dan si psikologi sebab bagaimana pun juga Batu Lotong
merupakan cinta pertama yang membuat mereka mabuk kepayang karena cinta tetapi
nasi telah berubah menjadi bubur.
Tetapi, ada hal yang mewarnai proses pernikahan Batu
Lotong dengan teknologi modern yakni adanya pemberian sebidang tanah yang
terletak di pinggiran sungai yang juga terdapat bukit yang mencolok ke sungai,
hal tersebut diberikan oleh pangulu ade’
mengingat jasa-jasa keluarganya yang masih madara
takkue (bangsawan murni) sehingga walau dianggap telah mati tetapi tetap
diberikan sebidang tanah. Namun, konsekuensi lainnya mereka tidak diperbolehkan
mengunjungi kampung dan keluarganya begitu sebaliknya. Setelah melangsungkan
pernikahan ala to sama (orang
kebanyakan yang bukan keturunan bangsawan) tanpa simbol kebesaran keluarganya
mereka harus berpisah dengan keluarga, dari raut wajah si Batu Lotong terlihat
jelas linangan air mata yang tumpah ruah di cawan wajahnya sebab kebahagiaan
tertinggi dari seorang gadis kala sang pujaan datang meminang maka hari itu
bagaikan lebih baik dari pada seribu bulan. Tetapi, kenyataan pahit yang
diterimanya membuatnya harus terpisah dengan keluarga ang seharusnya menemani
dihari itu, bukan malah menyendiri dari keramaian.
Dari selala-sela rongga mulut i philo sang ayah si Batu Lotong keluar sebuah hembusan angin yang
ketika telinga manusia-manusia disekitanya mendengarnya maka orang-orang
berkata betapa berat kata-kata itu harus keluar dari mulut sang ayah pada
anaknya “palini alemu (sekarang
mandirilah)”, setelah mendengar kata-kata itu maka si Batu Lotong dan teknologi
harus pergi berdua sepasang suami istri yang bagai binatang yang terbuang dari
kumpulannya di hari yang sangat bahagia menjadi hari terakhir mereka bertemu
dengan kedua orang tuanya.
Perpisahan itu rupanya membuat dendam tersendiri dalam
hati si teknologi modern sebab pada dasarnya tujuan utama mencintai si Batu
Lotong selain kemolekan tubuh dan paras ayunya, menyimpan rencana lain yakni
merebut tanah adat sebab menurut alat pendeteksi di tanah adat tersebut
terdapat sumber minyak yang melimpah ruah. Karena alasan itulah rupanya si
teknologi modern rela berkorban untuk mengantar si Batu Lotong keliling kampung
dengan cara seperti itulah untuk mendeteksi potensi sumber daya yang dimiliki kampung
si Batu Lotong. Saat malam pertama tiba bukan belaian kemesraan yang didapat
oleh si Batu Lotong malah kemolekan tubuhnya dan paras ayunya direnggut oleh
alat teknologi modern yang berkekuatan mesin canggih yang melukai kemolekan
tubuhnya dengan mengeruk keperawanan sungai Batu Lotong dan merusak paras
ayunya Batu Lotong dengan membongkar batu digunung yang juga turut melibas
pohon-pohon, dengan sekejap si teknologi modern merubah perawan si Batu Lotong
menjadi seorang nenek peot yang renta segaligus penuh penyakitan.
Si teknologi modern bukan hanya melukai dan merusak
keperawanan si Batu Lotong tetapi yang lebih bias dari itu semua, hubungan
birahi keduanya melahirkan seorang anak si robot dengan geng dominan sang
teknologi modern. Si robot tak mengenal batasan adat apalagi hal-hal yang
bersifat spiritual semua sumber daya alam dieksploitasi secara brutal dan yang
paling memilukan segaligus menyayat hati sebab si robot malah mengekspansi
tanah adat, sehingga masyarakat yang ada kemudian dijadikan sebagai buruh-buruh
di pabrik-pabrik yang malah turut menikmati kemolekan daratan, air dan
gunung-gunung yang mengandung minyak yang merupakan tubuh dari ibunya sendiri
yang tak lain si Batu Lotong.
Batu Lotong merupakan simbol dari wajah kemolekan alam
yang kemudian manusia berupaya mengeksploitasi alam dengan mesin-mesin
teknologi modern, pada awalnya manusia yang menghendaki eksploitasi tetapi
lambat laun manusia yang awalnya pengendali tetapi secara derastis alat-alat
teknologi modernlah yang mengendalikan manusia, buruh sebagai simbol manusia
yang ditaklukan oleh robot-robot mesin pabrik dan bahkan waktu istirahatnya
ditentukan oleh kondisi mesin bukan pada kondisi mansia. Persaingan antara
antropologi dan psikologi untuk menaklukan si Batu Lotong tetapi keduanya gagal
bersaing dengan teknologi modern yang tak lain adalah ciptaannya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar