Jumat, 27 November 2015

Teater Mesjid dan Interpretasi Kiri

Teater Mesjid dan Interpretasi Kiri
            Ummat islam di seluruh dunia menjadikan mesjid sebagai tempat ibadah ataupun menjadi tempat melakukan aktifitas keislaman lainnya, singkatnya ummat islam dan mesjid bagai sepasang kekasih yang senantiasa saling merindukan. Tiap saat ummat islam berlari dari kejauhan apabila mendengarkan tangisan rindu yang menyayat hati dari menara mesjid, melantunkan mantra-mantra rindu yang aneh bahkan asing bagi mereka yang non-arab. Tetapi, karena mantra-mantra itu senantiasa disandungkan sebagai simbol panggilan sehingga tiap kali terdengar panggilan memilukan itu maka ummat islam senantiasa memadati mesjid, mantra-mantra panggilan itu bagaikan morfin yang membuat manusia kecanduhan hingga terkadang akal sehat mereka tak lagi berfungsi.
            Mesjid adalah simbol yang hampa sebab dia bagai seorang kekasih yang rewel, apabila keinginan-keinginannya tidak terpenuhi maka para pekerja mesjid kembali menggoda sembari menebarkan morfin level tinggi dengan menjanjikan kesenangan yang mereka sendiri tak pernah menikmati kesenangan itu. Terkadang pula menebarkan teror-teror yang disertai dalil yang semakin menakutkan sebab pada dasarnya mesjid masih merasa sebagai perawan nan celita diusianya yang tua renta.
            Manusia di panggung mesjid tak mencerminkan nilai-nilai demokratis sebab hanya ada satu corong yang mesti di dengarkan yakni imam sebagai pemimpin sedangkan jamaah sebagai rakyat hanya dituntut teriakkan amin, sebab pada dasarnya semua kebijaksanaan berada ditangan sang imam, tak penting apakah anda masih kuat atau tidak ? pokoknya mantra-mantra terus saja berkomat kamit di mulutnya tak peduli apakah anda rematik atau sakit pokoknya sang imam senang maka tugas anda cukup katakan amin, apakah benar atau salah itu bukan soal ?.  Yang menarik bahwa mesjid senantiasa memanggil tetapi mesjid tak pernah memikirkan bahwa orang-orang yang datang itu apakah sudah makan atau tidak ? sebab pada dasarnya ketika mengangkat tangan sebagai simbol penyerahan kepada sang ilahi tidaklah bermakna bahwa manusia menerima kemiskinan tanpa ada usaha merubah kemiskinan, lakon-lakon mesjid telah tercerabut dari fungsi pemberdayaan menjadi fungsi penyepelehan sehingga manusia-manusia mesjid telah menjadi kumpulan individualistik.
            Para pemain teater mesjid hanya dituntut untuk menjiwa sesaat kala pentas yang disaksikan langsung oleh tuhan, sehingga yang dipentingkan adalah pencitraan di depan tuhan maka sloganya asal tuhan senang. Tetapi, pernahkah para aktor-aktor mesjid memperhatikan dan memikirkan bagaimana lakon pementasan diluar mesjid ? apakah para audiens bisa merasakan kesenangan yang sama ketika di panggung-panggung lain ? seolah para aktor-aktor mesjid merasa yang penting performa kala manggung di mesjid bagus, apakah diluar bisa seperti itu ? bukan soal sebab tuhan hanya diibaratkan hanya menyaksikan saat pementasa di mesjid saja kalau diluar panggung mesjid tuhan tidak sempat menyaksikan sebab tuhan sangat sibuk.
            Apabila anda pernah menyaksikan pemandangan pementasa di mesjid maka mungkin anda tentu sangat tidak asing dengan benda ajaib berbentuk segiempat dengan lubang yang juga berbentuk segipanjang yang berukurang kecil, tempat ajaib ini sering kali ditempatkan di depan pintu tempat pertunjukan dan biasanya terkadang pula diedarkan keseluruh audiens untuk memberikan sedikit sumbangsi atau kata singkatnya bentuk apresiasi terhadap aktor-aktor yang bakal manggung. Yah, mungkin anda sudah tau apa nama kotak tersebut ? sebab tingkat pengetahuan anda terhadap kotak itu menunjukan tingkat seberapa sering anda berkunjung ke mesjid untuk menyaksikan pementasan itu ataukah mungkin anda adalah audiens yang paling rajin memberikan apresiasi kepada aktor-aktor mesjid sehingga secara tak sadarkan diri anda mematerikan apresiasi itu dengan uang, mungkin anda sudah tau apa nama kotak itu ? yah, sangat tepat apabila anda mengatakan itu adalah kotak amal. Mungkinkah ini sifat ekuevalensi atau mendua yang terjadi di mesjid bahwa kita dipanggil dengan ikhlas untuk datang tetapi disana telah disediakan kotak amal untuk diisi dengan uang yang anda bawa dari tempat kerja, lalu ketika anda tak membawa uang maka para aktor pun menceritrakan bahwa betapa pentingnya memberikan apresiasi secara materil tetapi anehnya tuhan malah asyik atau sangat menikmati apabila audiens memberikan apresiasi materil tiap kali pementasan di mesjid dan kalau anda sering menyaksikan pementasan topeng monyet maka laku di mesjid agak-agak mirip seperti itu. Monyet sang aktor hanya sekedar pentas tak mengerti makna dari gerakan-gerakannya itu yang penting sang tuan bahagia, kalau sang monyet tak sanggup maka dia akan diancam ataupun sang tuan tak segan untuk memukul sang monyet supaya apresiasi materil didapatkan oleh sang tuan dari para audiens.
            Begitu menarik lakon-lakon di mesjid tetapi terkadang pementasan yang suci itu mengakomodir atau dalam bahasa politiknya telah terjadi koalisi yang menguntungkan dengan istilah tanpa syarat, namun sebelum sampai pada tanpa syarat maka terlebih dahulu di susun-susun dulu syaratnya terlebih dahulu. Sehingga singkatnya sang aktor menghegemoni para audiens bahwa mesjid itu adalah tempat yang aman sebagaimana slogan islam rahmatan lilalamin tetapi untuk sampai pada keamanan bagi audiens maka barang-barangnya seperti sepatu, sendal atau barang-barang berharga lainnya silahkan anda titip di tempat penitipan barang baru keamanan tanpa syarat itu akan terwujud. Penampakan mesjid seperti ini bukan lagi rahasia tetapi telah menjadi pengetahuan secara empirik baik internal islam maupun diluar islam, namun anehnya orang-orang yang berada dikejauhan dipanggil untuk datang menyaksikan pementasan tetapi para petugas yang berada di tempat penyimpanan barang begitu bebas dari kewajiban menyaksikan sanga aktor mesjid berlaga. Menyaksikan pementasan di mesjid telah mentransaksikan rasa aman anda dengan materil, sehingga keberadaan kita seolah diteror dari berbagai aspek dan yang aneh bahwa para audiens sangat menikmati teror itu sebab sebelumnya telah dijanjikan kesenangan yang terlebih dahulu menyebarkan morfin pemikiran di benak para audiens. Sehingga meneror telah dianggap sebagai alat pemenuhan untuk mewujudkan kesenangan.
            Ada pesan yang secara tersirat yang mesti para audiens pahami ketika pertama kali keluar dari mesjid, katanya menurut para aktor mesjid maka terlebih dahulu langkahkanlah kaki kirimu, mengapa pesan tersirat ini perlu dimaknai ? sebab ketika hal tersebut sudah dimaknai maka ada realita lain yang akan kita dapatkan dan cara pandang baru mengenai kehidupan keagamaan dapat tersingkap. Bukankah pesan tersirat ini begitu kontras dengan berbagai pesan-pesan yang lainnya sebab  kebiasaan para aktor mesjid memesankan untuk memulai segala sesuatu dari kanan yang menjadi petanda kebaikan, sedangkan kiri menjadi petanda yang buruk. Sebagaimana pesan untuk mendahulukan kiri saat masuk WC sebab ada banyak keburukan pada WC sebab penggambarannya sebagai tempat membuang kotoran, maka kanan saat keluar menjadi logis bahwa cukuplah tempat itu yang kotor sehingga setelah keluar kanan sebagai simbol kebaikan perlu didahulukan. Tetapi, ketika masuk mesjid kanan yang didahulukan sebagai simbol kebaikan dan saat keluar maka kiri yang didahulukan itu artinya hal ini mengajarkan kebaikan (baca agama) cukup di mesjid saja sedangkan saat diluar maka berbuatlah yang kiri (baca sekuler) ini merupakan sunnatullah yakni prinsip keseimbangan. Kalau pemaknaan seperti ini maka tidaklah berhak orang-orang islam melarang sesamanya islam untuk memiliki pandangan kiri atau sekuler sebab dalam pesan-pesan islam juga mengafirmasi hal tersebut.

            Bukankah dalam islam telah mengisyaratkan bahwa semua yang terjadi baik tersurat maupun yang tersirat itu sama-sama ayat Allah, tetapi mengapa ummat islam hanya rajin membaca yang tersurat lalu melupakan yang tersirat. Hal, ini menunjukan bahwa untuk memajukan islam haruslah menempatkan kanan (baca ilmu agama) dan kiri (baca ilmu sekuler) secara proporsional bukan malah melebihkan yang lain atas yang lainnya, sebab kedua-duanya sama-sama bersumber dari yang satu. Ketika pemaknaan itu telah sampai pada titik ini maka mesjid menjadi wilayah  otoritas agama sebagai ayat tersurat dan diluar mesjdi berada pada wilayah otoritas manusia sebagai ayat tersirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar