Teater
Mesjid dan Interpretasi Kiri
Ummat islam di seluruh dunia menjadikan mesjid sebagai
tempat ibadah ataupun menjadi tempat melakukan aktifitas keislaman lainnya,
singkatnya ummat islam dan mesjid bagai sepasang kekasih yang senantiasa saling
merindukan. Tiap saat ummat islam berlari dari kejauhan apabila mendengarkan
tangisan rindu yang menyayat hati dari menara mesjid, melantunkan mantra-mantra
rindu yang aneh bahkan asing bagi mereka yang non-arab. Tetapi, karena
mantra-mantra itu senantiasa disandungkan sebagai simbol panggilan sehingga
tiap kali terdengar panggilan memilukan itu maka ummat islam senantiasa
memadati mesjid, mantra-mantra panggilan itu bagaikan morfin yang membuat
manusia kecanduhan hingga terkadang akal sehat mereka tak lagi berfungsi.
Mesjid adalah simbol yang hampa sebab dia bagai seorang
kekasih yang rewel, apabila keinginan-keinginannya tidak terpenuhi maka para
pekerja mesjid kembali menggoda sembari menebarkan morfin level tinggi dengan
menjanjikan kesenangan yang mereka sendiri tak pernah menikmati kesenangan itu.
Terkadang pula menebarkan teror-teror yang disertai dalil yang semakin
menakutkan sebab pada dasarnya mesjid masih merasa sebagai perawan nan celita
diusianya yang tua renta.
Manusia di panggung mesjid tak mencerminkan nilai-nilai
demokratis sebab hanya ada satu corong yang mesti di dengarkan yakni imam
sebagai pemimpin sedangkan jamaah sebagai rakyat hanya dituntut teriakkan amin,
sebab pada dasarnya semua kebijaksanaan berada ditangan sang imam, tak penting
apakah anda masih kuat atau tidak ? pokoknya mantra-mantra terus saja berkomat
kamit di mulutnya tak peduli apakah anda rematik atau sakit pokoknya sang imam
senang maka tugas anda cukup katakan amin, apakah benar atau salah itu bukan
soal ?. Yang menarik bahwa mesjid
senantiasa memanggil tetapi mesjid tak pernah memikirkan bahwa orang-orang yang
datang itu apakah sudah makan atau tidak ? sebab pada dasarnya ketika
mengangkat tangan sebagai simbol penyerahan kepada sang ilahi tidaklah bermakna
bahwa manusia menerima kemiskinan tanpa ada usaha merubah kemiskinan,
lakon-lakon mesjid telah tercerabut dari fungsi pemberdayaan menjadi fungsi
penyepelehan sehingga manusia-manusia mesjid telah menjadi kumpulan
individualistik.
Para pemain teater mesjid hanya dituntut untuk menjiwa
sesaat kala pentas yang disaksikan langsung oleh tuhan, sehingga yang
dipentingkan adalah pencitraan di depan tuhan maka sloganya asal tuhan senang.
Tetapi, pernahkah para aktor-aktor mesjid memperhatikan dan memikirkan
bagaimana lakon pementasan diluar mesjid ? apakah para audiens bisa merasakan
kesenangan yang sama ketika di panggung-panggung lain ? seolah para aktor-aktor
mesjid merasa yang penting performa kala manggung di mesjid bagus, apakah
diluar bisa seperti itu ? bukan soal sebab tuhan hanya diibaratkan hanya
menyaksikan saat pementasa di mesjid saja kalau diluar panggung mesjid tuhan
tidak sempat menyaksikan sebab tuhan sangat sibuk.
Apabila anda pernah menyaksikan pemandangan pementasa di
mesjid maka mungkin anda tentu sangat tidak asing dengan benda ajaib berbentuk
segiempat dengan lubang yang juga berbentuk segipanjang yang berukurang kecil,
tempat ajaib ini sering kali ditempatkan di depan pintu tempat pertunjukan dan
biasanya terkadang pula diedarkan keseluruh audiens untuk memberikan sedikit
sumbangsi atau kata singkatnya bentuk apresiasi terhadap aktor-aktor yang bakal
manggung. Yah, mungkin anda sudah tau apa nama kotak tersebut ? sebab tingkat
pengetahuan anda terhadap kotak itu menunjukan tingkat seberapa sering anda berkunjung
ke mesjid untuk menyaksikan pementasan itu ataukah mungkin anda adalah audiens
yang paling rajin memberikan apresiasi kepada aktor-aktor mesjid sehingga
secara tak sadarkan diri anda mematerikan apresiasi itu dengan uang, mungkin
anda sudah tau apa nama kotak itu ? yah, sangat tepat apabila anda mengatakan
itu adalah kotak amal. Mungkinkah ini sifat ekuevalensi atau mendua yang
terjadi di mesjid bahwa kita dipanggil dengan ikhlas untuk datang tetapi disana
telah disediakan kotak amal untuk diisi dengan uang yang anda bawa dari tempat
kerja, lalu ketika anda tak membawa uang maka para aktor pun menceritrakan
bahwa betapa pentingnya memberikan apresiasi secara materil tetapi anehnya
tuhan malah asyik atau sangat menikmati apabila audiens memberikan apresiasi
materil tiap kali pementasan di mesjid dan kalau anda sering menyaksikan
pementasan topeng monyet maka laku di mesjid agak-agak mirip seperti itu.
Monyet sang aktor hanya sekedar pentas tak mengerti makna dari
gerakan-gerakannya itu yang penting sang tuan bahagia, kalau sang monyet tak
sanggup maka dia akan diancam ataupun sang tuan tak segan untuk memukul sang
monyet supaya apresiasi materil didapatkan oleh sang tuan dari para audiens.
Begitu menarik lakon-lakon di mesjid tetapi terkadang
pementasan yang suci itu mengakomodir atau dalam bahasa politiknya telah
terjadi koalisi yang menguntungkan dengan istilah tanpa syarat, namun sebelum
sampai pada tanpa syarat maka terlebih dahulu di susun-susun dulu syaratnya
terlebih dahulu. Sehingga singkatnya sang aktor menghegemoni para audiens bahwa
mesjid itu adalah tempat yang aman sebagaimana slogan islam rahmatan lilalamin
tetapi untuk sampai pada keamanan bagi audiens maka barang-barangnya seperti
sepatu, sendal atau barang-barang berharga lainnya silahkan anda titip di
tempat penitipan barang baru keamanan tanpa syarat itu akan terwujud.
Penampakan mesjid seperti ini bukan lagi rahasia tetapi telah menjadi
pengetahuan secara empirik baik internal islam maupun diluar islam, namun
anehnya orang-orang yang berada dikejauhan dipanggil untuk datang menyaksikan
pementasan tetapi para petugas yang berada di tempat penyimpanan barang begitu
bebas dari kewajiban menyaksikan sanga aktor mesjid berlaga. Menyaksikan
pementasan di mesjid telah mentransaksikan rasa aman anda dengan materil,
sehingga keberadaan kita seolah diteror dari berbagai aspek dan yang aneh bahwa
para audiens sangat menikmati teror itu sebab sebelumnya telah dijanjikan
kesenangan yang terlebih dahulu menyebarkan morfin pemikiran di benak para audiens.
Sehingga meneror telah dianggap sebagai alat pemenuhan untuk mewujudkan
kesenangan.
Ada pesan yang secara tersirat yang mesti para audiens
pahami ketika pertama kali keluar dari mesjid, katanya menurut para aktor
mesjid maka terlebih dahulu langkahkanlah kaki kirimu, mengapa pesan tersirat
ini perlu dimaknai ? sebab ketika hal tersebut sudah dimaknai maka ada realita
lain yang akan kita dapatkan dan cara pandang baru mengenai kehidupan keagamaan
dapat tersingkap. Bukankah pesan tersirat ini begitu kontras dengan berbagai
pesan-pesan yang lainnya sebab kebiasaan
para aktor mesjid memesankan untuk memulai segala sesuatu dari kanan yang
menjadi petanda kebaikan, sedangkan kiri menjadi petanda yang buruk. Sebagaimana
pesan untuk mendahulukan kiri saat masuk WC sebab ada banyak keburukan pada WC
sebab penggambarannya sebagai tempat membuang kotoran, maka kanan saat keluar
menjadi logis bahwa cukuplah tempat itu yang kotor sehingga setelah keluar
kanan sebagai simbol kebaikan perlu didahulukan. Tetapi, ketika masuk mesjid
kanan yang didahulukan sebagai simbol kebaikan dan saat keluar maka kiri yang
didahulukan itu artinya hal ini mengajarkan kebaikan (baca agama) cukup di
mesjid saja sedangkan saat diluar maka berbuatlah yang kiri (baca sekuler) ini
merupakan sunnatullah yakni prinsip keseimbangan. Kalau pemaknaan seperti ini
maka tidaklah berhak orang-orang islam melarang sesamanya islam untuk memiliki
pandangan kiri atau sekuler sebab dalam pesan-pesan islam juga mengafirmasi hal
tersebut.
Bukankah dalam islam telah mengisyaratkan bahwa semua
yang terjadi baik tersurat maupun yang tersirat itu sama-sama ayat Allah,
tetapi mengapa ummat islam hanya rajin membaca yang tersurat lalu melupakan
yang tersirat. Hal, ini menunjukan bahwa untuk memajukan islam haruslah
menempatkan kanan (baca ilmu agama) dan kiri (baca ilmu sekuler) secara
proporsional bukan malah melebihkan yang lain atas yang lainnya, sebab
kedua-duanya sama-sama bersumber dari yang satu. Ketika pemaknaan itu telah
sampai pada titik ini maka mesjid menjadi wilayah otoritas agama sebagai ayat tersurat dan
diluar mesjdi berada pada wilayah otoritas manusia sebagai ayat tersirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar