Islam
dan Multikulturalisme
Kehadiran nabi Muhammad SAW dalam panggung sejarah
kemanusiaan telah mendobrak ruang-ruang dan sekat-sekat fanatisme kesukuan,
rasisme dan kemapanan tradisi yang mengkebiri hak-hak kemanusiaan dengan
memperlebar jurang perbedaan laki-laki dan prempuan. Nabi Muhammad datang
dengan perangkat nalar yang terbuka dan melabrak kemapanan yang ada di
tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat Quraisy. Dalam tradisi arab pra-islam
kelas-kelas sosial antara kaya dan miskin, antara kulit putih dan kulit hitam,
antara tuan dan budak begitu mencolok, bias dari kondisi pengkotak-kotakan
kelas-kelas sosial melahirkan superioritas yang mengungkung nilai-nilai
kemanusiaan dan sebaliknya pihak yang inferior menjadi semakin tertindas.
Kegelisahan jiwa dan batin seorang Muhammad yang lahir
dari persentuhan dialektika-dialektika publik yang menandakan kondisi sosial
masyarakat yang sakit, penyakit-penyakit masyarakat merasuki semua sendi-sendi
kehidupan. Muhammad bukanlah sosok manusia yang passif melihat kondisi realita
sosial bahkan Muhammad ikut serta dalam ruang-ruang publik, hal ini dapat kita
buktikan dengan keterlibatan Muhammad dalam mengembalikan hajar aswad ke tempat
semula, sehingga ada hal yang perlu di renungi oleh setiap manusia yang mengaku
islam tetapi passif dalam ruang publik.
Puncak dari perenungan Muhammad yang menghijrahkan ranah
sosial dari tatanan jahilia ke tatanan sosial moderat, sekuler dan
multikulturalisme, kedatangan Jibril menemui Muhammad adalah untuk memediasi
antara alam keilahian dengan alam sosial yang senantiasi berubah-ubah. Sehingga
perlu dipahami bahwa kedatangan Jibril menemui Muhammad itu membawa konsep
terbuka dan mampu berdialektika dengan kondisi zaman yang senantiasa berubah.
Konsep Iqra pada zaman nabi Muhammad adalah membaca realita sosial yang amoral
dan melahirkan tuntutan perubahan untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan.
Sehingga kalau ada yang mengaku islam tetapi malah melahirkan masalah sosial
maka itu menyalahi kode etik kelahiran islam di muka bumi ini. Islam adalah
agama sosial yang lahir sebagai pembebas bukan melah menjadi agama pembelenggu
nilai-nilai kemanusiaan.
Islam menuntun ummatnya kearah perubahan yang bersifat
progresif bukan malah menjadi penghalang perubahan. Perubahan progresif yang
ditunjukkan nabi Muhammad dengan merubah pradigma berpikir ala sektarian
menjadi sekuler, hal ini dapat kita buktikan dengan sikap penentangan nabi
Muhammad terhadap otoritas suku Quraisy yang memaksakan keyakinan pada budak
ataupun kepada anggota masyarakat yang lain. Ini menandakan nabi Muhammad
berpandangan sekuler bahwa otoritas kekuasaan tak bisa memaksakan keyakinan
pada masyarakat. Sejarah mencatat Bilal bin Rabbah ketika ketahuan masuk Islam
otoritas Quraisy memberikan sanksi dan hal serupa bukan hanya terjadi pada diri
seorang Bilal tetapi ada banyak yang
mengalami hal serupa. Hal ini semakin kontras apabila ada wilayah yang
mayoritas islam memaksakan kehendak untuk melakukan islamisasi, sebab proyek
islamisasi malah menjadi bencana kemanusiaan dan menentang semangat awal islam
yang sangat menghargai multikulturalisme dalam tataran sosial.
Dalam tataran perjalanan sejarahnya islam sering sekali
dikatakan sebagai pihak yang kontra terhadap demokrasi atau bahkan ada di
kalangan islam yang begitu ngotot anti demokrasi, tetapi bukankah sejak dalam
perjalanannya islam melakukan perluasan wilayah dan pada titik puncaknya
penganut islam tersebar dimana-mana, apakah dengan gambaran sederhana ini
lantas kita mengatakan islam anti demokrasi ?.
Tetapi, lembaran sejarah bercerita lain bahwa islam memburu jumlah
penganut dan secara asas demokrasi jumlah sangat menentukan suatu kemenangan
dalam pesta demokrasi, bukankah ini artinya islam pro-demokrasi ?. Ini yang menjadi masalah dalam islam sebab
kedatangan nabi Muhammad SAW untuk melakukan rekontruksi nalar yang menuntut
transformasi nilai-nilai keilahian yang bersifat humanisme tetapi pasca nabi
Muhammad malah yang terjadi reduksi nalar, sehingga yang terjadi di
tengah-tengah masyarakat ialah status quo, padahal ruang-ruang publik tidaklah
bersifat stagnan tetapi bersifat dinamis. Sehingga dalam islam gaung fanatisme
begitu tinggi dan perbedaan seolah menjadi bencana sosial, bukankah nabi
Muhammad sendiri mencontohkan sebagaimana yang terjadi di Madina adanya
konsolidasi sosial yang saling menghargai antara suku Yastrib, kaum Muhajirin,
dan suku Yahudi, bukankah hal ini menunjukkan islam datang dengan spirit
penghargaan (apresiasi) dan penghormatan (recognition). Hal ini sekali lagi
membuktikan nabi Muhammad sangat menghargai multikulturalisme.
Yang terjadi di dalam tubuh islam adalah tidak
dipahaminya posisi agama pada wilayah privasi dan adanya kecenderungan
memaksakan islam masuk pada sendi-sendi sosial, padahal dalam ruang sosial
bukan hanya islam yang hadir sebagai satu-satunya manifestasi realita sosial.
Dalam ranah sosial sangat multikultural dan hal inilah yang merusak apabila ego
privasi sebagai penganut islam yang kemudian ingin menghegemoni ruang-ruang
publik, apabila ummat islam dengan rendah hati melihat dan merenungkan apa yang
dilakukan nabi Muhammad di Madina dengan sangat jelas adanya pemilahan antara
wilayah privasi keyakinan keberagamaan dengan realita sosial yang
multikultural, yang menarik bahwa nabi Muhammad tidak sengotot pengikutnya yang
ingin menerapkan syariat agama pada ruang publik, padahal apabila nabi Muhammad
menghendaki hal tersebut maka tentu dengan mudah dapat melakukannya. Dengan
gambaran ini tentu mengindikasikan bahwa nabi Muhammad menerapkan sistem
sekuler dengan menempatkan agama pada wilayah privasi dan ruang sosial pada
ranah yang berbeda.
Perlu kita kembali memahami islam secara spirit kritik
dan paradigma perubahan bukan malah menjadi penghalang perubahan, banyaknya
produk hukum islam yang lahir pada zaman klasik sehingga begitu kaku dan canggung
oleh sentilan-sentilan kemajuan. Al-quran dan hadis hanya menjadi bacaan tidak
lagi menjadi bacaan yang transformatif terbuka tetapi menjadi bacaan ekslusif.
Nilai-nilai rekonstruksi nalar menjadi pudar sebab yang hadir mewarnai
kehidupan ummat islam ialah reduksi nalar akhirnya jadilah semuanya serba
sakral. Membunuh manusia yang tak bersalah dengan dalih memerangi orang kafir
dan memaksakan keyakinan yang pada akhirnya menegasikan perbedaan serta
menyebarluaskan kebencian. Bukankah nabi Muhammad mendapatkan hinaan, cacian
maupun makian dan percobaan pembunuhan maupun penolakan tapi apakah nabi
Muhammad menggunakan otoritas kenabiaannya untuk menghukumi orang-orang yang
kontras dengannya pada ruang publik, sehingga para pengikut nabi Muhammad yang
masih ngotot mengatakan sebagai pengikut setianya perlu bukan hanya membuka
mata tapi mata hati untuk menyadari bahwa hukum-hukum keilahian sifatnya
privasi bukan paksaan sebab nabi Muhammad tak pernah mencontohkan hal serupa
apalagi memerintahkan pemaksanaan. Hal ini menandakan nabi Muhammad paham betul
bahwa ruang-ruang publik sangat multikultural sebab memaksakan sama halnya
mengancam eksistensi ketuhanan sebagai pencipta ruang sosial yang dinamis yang
sifatnya multikultural, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah islam yang
menjadi penghalang kemajuan atau ummatnya yang membuat islam jauh dari kemajuan
?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar