Jumat, 27 November 2015

Islam dan Multikulturalisme

Islam dan Multikulturalisme
            Kehadiran nabi Muhammad SAW dalam panggung sejarah kemanusiaan telah mendobrak ruang-ruang dan sekat-sekat fanatisme kesukuan, rasisme dan kemapanan tradisi yang mengkebiri hak-hak kemanusiaan dengan memperlebar jurang perbedaan laki-laki dan prempuan. Nabi Muhammad datang dengan perangkat nalar yang terbuka dan melabrak kemapanan yang ada di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat Quraisy. Dalam tradisi arab pra-islam kelas-kelas sosial antara kaya dan miskin, antara kulit putih dan kulit hitam, antara tuan dan budak begitu mencolok, bias dari kondisi pengkotak-kotakan kelas-kelas sosial melahirkan superioritas yang mengungkung nilai-nilai kemanusiaan dan sebaliknya pihak yang inferior menjadi semakin tertindas.
            Kegelisahan jiwa dan batin seorang Muhammad yang lahir dari persentuhan dialektika-dialektika publik yang menandakan kondisi sosial masyarakat yang sakit, penyakit-penyakit masyarakat merasuki semua sendi-sendi kehidupan. Muhammad bukanlah sosok manusia yang passif melihat kondisi realita sosial bahkan Muhammad ikut serta dalam ruang-ruang publik, hal ini dapat kita buktikan dengan keterlibatan Muhammad dalam mengembalikan hajar aswad ke tempat semula, sehingga ada hal yang perlu di renungi oleh setiap manusia yang mengaku islam tetapi passif dalam ruang publik.
            Puncak dari perenungan Muhammad yang menghijrahkan ranah sosial dari tatanan jahilia ke tatanan sosial moderat, sekuler dan multikulturalisme, kedatangan Jibril menemui Muhammad adalah untuk memediasi antara alam keilahian dengan alam sosial yang senantiasi berubah-ubah. Sehingga perlu dipahami bahwa kedatangan Jibril menemui Muhammad itu membawa konsep terbuka dan mampu berdialektika dengan kondisi zaman yang senantiasa berubah. Konsep Iqra pada zaman nabi Muhammad adalah membaca realita sosial yang amoral dan melahirkan tuntutan perubahan untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga kalau ada yang mengaku islam tetapi malah melahirkan masalah sosial maka itu menyalahi kode etik kelahiran islam di muka bumi ini. Islam adalah agama sosial yang lahir sebagai pembebas bukan melah menjadi agama pembelenggu nilai-nilai kemanusiaan.
            Islam menuntun ummatnya kearah perubahan yang bersifat progresif bukan malah menjadi penghalang perubahan. Perubahan progresif yang ditunjukkan nabi Muhammad dengan merubah pradigma berpikir ala sektarian menjadi sekuler, hal ini dapat kita buktikan dengan sikap penentangan nabi Muhammad terhadap otoritas suku Quraisy yang memaksakan keyakinan pada budak ataupun kepada anggota masyarakat yang lain. Ini menandakan nabi Muhammad berpandangan sekuler bahwa otoritas kekuasaan tak bisa memaksakan keyakinan pada masyarakat. Sejarah mencatat Bilal bin Rabbah ketika ketahuan masuk Islam otoritas Quraisy memberikan sanksi dan hal serupa bukan hanya terjadi pada diri seorang Bilal  tetapi ada banyak yang mengalami hal serupa. Hal ini semakin kontras apabila ada wilayah yang mayoritas islam memaksakan kehendak untuk melakukan islamisasi, sebab proyek islamisasi malah menjadi bencana kemanusiaan dan menentang semangat awal islam yang sangat menghargai multikulturalisme dalam tataran sosial.
            Dalam tataran perjalanan sejarahnya islam sering sekali dikatakan sebagai pihak yang kontra terhadap demokrasi atau bahkan ada di kalangan islam yang begitu ngotot anti demokrasi, tetapi bukankah sejak dalam perjalanannya islam melakukan perluasan wilayah dan pada titik puncaknya penganut islam tersebar dimana-mana, apakah dengan gambaran sederhana ini lantas kita mengatakan islam anti demokrasi ?.  Tetapi, lembaran sejarah bercerita lain bahwa islam memburu jumlah penganut dan secara asas demokrasi jumlah sangat menentukan suatu kemenangan dalam pesta demokrasi, bukankah ini artinya islam pro-demokrasi ?.  Ini yang menjadi masalah dalam islam sebab kedatangan nabi Muhammad SAW untuk melakukan rekontruksi nalar yang menuntut transformasi nilai-nilai keilahian yang bersifat humanisme tetapi pasca nabi Muhammad malah yang terjadi reduksi nalar, sehingga yang terjadi di tengah-tengah masyarakat ialah status quo, padahal ruang-ruang publik tidaklah bersifat stagnan tetapi bersifat dinamis. Sehingga dalam islam gaung fanatisme begitu tinggi dan perbedaan seolah menjadi bencana sosial, bukankah nabi Muhammad sendiri mencontohkan sebagaimana yang terjadi di Madina adanya konsolidasi sosial yang saling menghargai antara suku Yastrib, kaum Muhajirin, dan suku Yahudi, bukankah hal ini menunjukkan islam datang dengan spirit penghargaan (apresiasi) dan penghormatan (recognition). Hal ini sekali lagi membuktikan nabi Muhammad sangat menghargai multikulturalisme.
            Yang terjadi di dalam tubuh islam adalah tidak dipahaminya posisi agama pada wilayah privasi dan adanya kecenderungan memaksakan islam masuk pada sendi-sendi sosial, padahal dalam ruang sosial bukan hanya islam yang hadir sebagai satu-satunya manifestasi realita sosial. Dalam ranah sosial sangat multikultural dan hal inilah yang merusak apabila ego privasi sebagai penganut islam yang kemudian ingin menghegemoni ruang-ruang publik, apabila ummat islam dengan rendah hati melihat dan merenungkan apa yang dilakukan nabi Muhammad di Madina dengan sangat jelas adanya pemilahan antara wilayah privasi keyakinan keberagamaan dengan realita sosial yang multikultural, yang menarik bahwa nabi Muhammad tidak sengotot pengikutnya yang ingin menerapkan syariat agama pada ruang publik, padahal apabila nabi Muhammad menghendaki hal tersebut maka tentu dengan mudah dapat melakukannya. Dengan gambaran ini tentu mengindikasikan bahwa nabi Muhammad menerapkan sistem sekuler dengan menempatkan agama pada wilayah privasi dan ruang sosial pada ranah yang berbeda.
            Perlu kita kembali memahami islam secara spirit kritik dan paradigma perubahan bukan malah menjadi penghalang perubahan, banyaknya produk hukum islam yang lahir pada zaman klasik sehingga begitu kaku dan canggung oleh sentilan-sentilan kemajuan. Al-quran dan hadis hanya menjadi bacaan tidak lagi menjadi bacaan yang transformatif terbuka tetapi menjadi bacaan ekslusif. Nilai-nilai rekonstruksi nalar menjadi pudar sebab yang hadir mewarnai kehidupan ummat islam ialah reduksi nalar akhirnya jadilah semuanya serba sakral. Membunuh manusia yang tak bersalah dengan dalih memerangi orang kafir dan memaksakan keyakinan yang pada akhirnya menegasikan perbedaan serta menyebarluaskan kebencian. Bukankah nabi Muhammad mendapatkan hinaan, cacian maupun makian dan percobaan pembunuhan maupun penolakan tapi apakah nabi Muhammad menggunakan otoritas kenabiaannya untuk menghukumi orang-orang yang kontras dengannya pada ruang publik, sehingga para pengikut nabi Muhammad yang masih ngotot mengatakan sebagai pengikut setianya perlu bukan hanya membuka mata tapi mata hati untuk menyadari bahwa hukum-hukum keilahian sifatnya privasi bukan paksaan sebab nabi Muhammad tak pernah mencontohkan hal serupa apalagi memerintahkan pemaksanaan. Hal ini menandakan nabi Muhammad paham betul bahwa ruang-ruang publik sangat multikultural sebab memaksakan sama halnya mengancam eksistensi ketuhanan sebagai pencipta ruang sosial yang dinamis yang sifatnya multikultural, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah islam yang menjadi penghalang kemajuan atau ummatnya yang membuat islam jauh dari kemajuan ?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar