Kamis, 26 November 2015

SIDUPPA SISALA "AKU CINTA PADAMU"

                                                            SIDUPPA SISALA
                                                             AKU CINTA PADAMU
“We Cuddai, apa yang membuatmu akhir-akhir ini terlihat murung ?, adakah sesuatu yang mengganjal batinmu sehingga aura kecerianmu seolah tercabut dari dirimu dan aku sebagai sahabatmu seolah tak mengenalmu lagi”.
            Tak ada jawaban yang keluar dari sela-sela bibirnya yang anggun kecuali linangan air mata yang tiba-tiba membanjiri muka beningnya dengan tampak kemerahan karena terkena sinar matahari, ibarat banjir yang terjadi di tengah mentari yang bersinar terang hingga seluruh jagad semesta bertanya ada apa sehingga ini terjadi ?, adakah yang tersembunyi dibalik senyum yang selalu menghiasi tarian geraknya.
“Sudahlah jangan menangis lagi We Cuddai, aku sahabatmu ceritalah padaku sebab ketika ada masalah dan kita berbagi pada sahabat pasti perasaan menjadi legah ibarat memikul beban bersama maka semuanya terasa ringan”.
“We Cinnong, saya berterima kasih kau telah menjadi sahabatku yang ada baik sedih maupun kala duka. Masalahku sungguh sangat berat dan terkadang jiwaku seolah ingin berontak dan kalau Puang Allah Taala masih memberiku kesempatan melihat bitarae mompo ri lau maka saat itulah saya akan mencoba menerima bahwa jiwaku masih memiliki kesempatan untuk hidup”.
“Kenapa kau bicara seperti itu Cud ?, seolah kau telah melepaskan jiwa ragamu tenggelam di dasar samudra hingga harapanmu ikut kau tenggelamkan”.
“Seandainya bukan karena siri maka sahabatmu ini akan tinggal nama saja”.
            Pembicaraan mereka terhenti secara tiba-tiba karena ada kerumunan orang yang tampaknya lagi ribut mempermasalahkan sesuatu, We Cuddai dan We Cinnong pun berlari menuju kerumunan tersebut.
“Eh, kenapa anda ikut campur ?, tolong serahkan sama saya itu bapak yang tak tau aturan lalu lintas biar saya berikan pelajaran bagaimana caranya tertib berlalu lintas”.
“Tolong maklumi dia orang buta, saya harap anda bisa mengerti”.
“Anda jangan menghalangi saya atau saya hajar anda”.
            Akhirnya ke dua orang tersebut akhirnya berkelahi dan saling menyerang satu sama lain tampak ada marah yang begitu besar menyelimuti perkelahian tersebut serta makin banyak orang datang untuk melerai ke duanya.
“Hentikan La Paewai, dimana hati nuranimu ?, masa orang buta kau salahkan dan menuduhnya tak tau aturan berlalu lintas, sadarkah bahwa kau ini anak hukum jadi jangan main hakim sendiri, lagian motormu saja tidak lengkap kaca spionnya. Orang buta inikah yang tak tau berlalu lintas atau kau yang tak tau berlalu lintas ?”.
“We Cuddai, calon istriku tak kusangka tak ku duga akhirnya kita berjumpa juga setelah sekian lama tak bertemu Puang Allah Taala akhirnya mengabulkan do’aku. Sukkurukku kupasibawai ati macinnokku makasiwiang lao ri puang Allah Taala, ternyata kau makin cantik dengan balutan kerudung merah yang seakan hatiku berdetak tak karuan memandang garis-garis wajahmu yang menyatu dengan pakaianmu hingga aura mapaccing bersinar dari wajahmu”.
“Ternyata tak ada yang berubah dari watakmu sejak dulu, rasa arogansimu dan egomu begitu tinggi tak bisa menghargai orang lain lalu kenapa kau memukul orang yang tak bersalah ?”.
“Cud, jadi kau lebih membela dia dari pada saya”.
“Yah, mupeddirini atiku musampeangi nawa-nawa macinnokku”.
            We Cuddai tampak tak memperhatikan La Paewai dan memilih memperhatikan pemuda yang telah di lukai oleh La Paewai sembari mengobati lukanya, tampak sentuhan tangan lembutnya begitu cekatan menari-nari membersihkan luka pada wajah pemuda tersebut. Yah hal ini begitu wajar sebab We Cuddai adalah mahasiswa jurusan kedokteran yang memang didik untuk mengobati luka. Setelah mengobati luka pemuda tersebut dan mengantar orang buta untuk naik mobil menuju Jl.Veteran maka dengan wajah memerah We Cuddai membalikkan wajahnya ke arah La Paewai.
“Sampai kapan kau akan berhenti menyusahkan orang lain ?, dengan tabiatmu yang arogan maddara takkue yang kau bangga-banggakan”.
“We Cuddai, masih kau ingat dengan petuah bugis yang berbunyi tellele bulu tellele abiasang, maumuni mupaompo matanna essoe pole ri lau iaregga mupaompo pole ri aja nennia pole ri attang makutofa mupaompo pole ri ahang de mulei palesangi abiasaku engkae maddoe ri watakaleku”.
“Baiklah, mamuare engkaki pada siruntu paimeng nalesanna ampe-ampe ri watakalemu”.
            Dengan menangis keras dan meraung-raung La Paewai menatap bekas kaki We Cuddai yang makin menjauh serta meninggalkan La Paewai sendiri di tengah jalan sembari titik-titik hujan jatuh perlahan demi perlahan hingga membasahi tubuhnya. La Paewai tak sadar kalau orang-orang di sekitarnya menatap dengan wajah sinis.
“Bura’ne apa njo na kullu-kullu kamma”.
“Nucini’mi njo ikau bura’nea, tinggi sakolana mau tongi dibilang caradde na tolo, tau aturan berlalu lintas tetapi malah dia yang melanggar tetapi menuduh orang buta bersalah, pongoro”.
“Iye, daeng”.
            Setelah sampai di kostnya We Cuddai merenungi kata-kata yang di lontarkan oleh La Paewai hingga seolah-olah membayang-bayangi ingatannya dan membuatnya merenangi lautan tidur pulasnya dengan perahu kata-kata yang membawahnya menyelami angkasa luas mengitari pappaseng dewata sewwae dalam gugusan kepulauan bintang yang berkelap-kelip.
“Kurumai sumangenu anakku, upatiroakko pappaseng asalamakeng na mutiwi rewe lao ri toddang anging”.
“Iye puang, iana tau malere tuo ri lebo’na tanae, nasaba defa uajeppuiwi aleku na makuni aro mapadaka tau nairie anging kegai mangolo anginge kutuna makicoe”.
“We anakku We Cuddai, aja muancaji tau malere akkatenniko masse ri dewata sewwae puang Allah Taala puang mappancaji nenni mappamate, wenni esso kuitako pole ri atimmu engka cinnamu tuo ri falla maborong uddani nennia maserro musirang wae mata cinnamu, aja mubelleiki atimmu anak”.
“Maserro marilaleng pakkitatta lao ri atiku nasaba falla temmaka alusu na tiro mata nennia engkaki pattiroiki mata, agana pakkulekku lao belle-bellewi atikku nasaba maserro ucirinnai nennia ufaka faccing atiku nasaba asugireng loppoku engkaki ri laleng atikku”.
“Ikonatu tau maufe tuo ri labona tane nasaba mufakafaccingi atimmu, seddi bawang pappasekku lao ri alemu anak aja lalo mufeddiriwi atinna seddie rufa tau nasaba koeloko majeppuiwi alemu makutofa muajeppuiwi puangmu maserro parellui maujeppui alemu nennia rufa tau engkau mabajang-bajang ri laleng atimmu”.
“Kuassimanna pale lisu lao ri onrong tubukku maserro utiwi uddaniku lao ri idi puang narekko engkaka maringerang moto pole ri tinroku ri toddang anging”.
            Dengan sekejap mata We Cuddai terbangun dari tidurnya dan mendapati dirinya tengah di kerumuni oleh teman-temannya sembari menatap dengan keherangan, sebab We Cinnong berlinang-linang air mata dan akhirnya memeluk tubuhnya yang masih lesu.
“We Cuddai, sudah tiga hari tiga malam kau tak pernah bangun-bangun dari tidurmu dan La Paewai menemanimu dengan setia hingga beberapa saat dia harus pergi untuk masuk kampus, tampaknya dia sangat perhatian padamu. Oh iya, ini ada kartu namanya sebab dia khawatir kalau tidak ada perubahan sama kau dia menyuruhku untuk membawamu ke rumah sakit dengan jaminan kartu namanya sebagai pegangan sebelum dia datang menyusul”.
            Seketika dia meraih kartu nama itu dan langsung pergi terburu mencari ojek dan sontak semua orang terlihat begitu panik menyaksikan hal tersebut. Motor yang di tumpangi oleh We Cuddai berlari begitu cepat hingga motor yang di naiki oleh La Paewai saling berpapasan namun mereka tidak saling menatap, sehingga ke duanya saling buru-buru menuju kost satu sama lain sebab We Cuddai menuju kostnya La Paewai begitu pula sebaliknya.
“We Cinnong dimana We Cuddai ?, kenapa dia tak ada lagi di tempat tidurnya ?”.
“Dia baru saja pergi menuju kostmu, ada lagi yang perlu kau tau mungkin ini bisa menjawab rasa penasaranmu tentang keadaan jiwanya selama ini”.
            Dengan membuka perlahan daun pintu kamar yang bertuliskan pusaka jiwaku, betapa terkejutnya La Paewai saat melihat foto kecilnya bersama We Cuddai masih terbingkai dengan rapi dan begitu banyak kata-kata pengharapan yang di tempelkannya setiap akhir tahun untuk melihat dirinya merubah sikapnya yang arogan dan egonya yang begitu tinggi. Hanya linangan air mata yang keluar perlahan dari bola mata La Paewai.
Di tempat lain We Cuddai juga telah sampai di kostnya La Paewai dan teman satu kamarnya membukakannya pintu serta langsung bisa menebak kalau yang datang itu adalah We Cuddai.
“Kamu pasti We Cuddai yah”.
“Iya, kenapa kamu bisa tau ?”.
“Pastilah sebab fotomu terpampang di ruangan ini, lengkap dengan catatan-catatan akhir tahun dan menjadi penyemangat bagi La Paewai mengawali tahun baru, coba masuk dan lihatlah sendiri”.
Begitu terkejutnya We Cuddai ketika melihat fotonya terpampang di kamarnya La Paewai, sembari membaca tulisan-tulisan dibawah fotonya,hanya linangan air mata yang merasuki wajahnya sebab dia tak menyangka kalau selama ini La Paewai ternyata sengaja berbuat arogan supaya dirinya memperhatikannya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar