SIDUPPA
SISALA
AKU CINTA PADAMU
“We Cuddai, apa yang
membuatmu akhir-akhir ini terlihat murung ?, adakah sesuatu yang mengganjal
batinmu sehingga aura kecerianmu seolah tercabut dari dirimu dan aku sebagai
sahabatmu seolah tak mengenalmu lagi”.
Tak ada jawaban yang keluar dari sela-sela bibirnya yang
anggun kecuali linangan air mata yang tiba-tiba membanjiri muka beningnya
dengan tampak kemerahan karena terkena sinar matahari, ibarat banjir yang
terjadi di tengah mentari yang bersinar terang hingga seluruh jagad semesta
bertanya ada apa sehingga ini terjadi ?, adakah yang tersembunyi dibalik senyum
yang selalu menghiasi tarian geraknya.
“Sudahlah jangan
menangis lagi We Cuddai, aku sahabatmu ceritalah padaku sebab ketika ada
masalah dan kita berbagi pada sahabat pasti perasaan menjadi legah ibarat
memikul beban bersama maka semuanya terasa ringan”.
“We Cinnong, saya
berterima kasih kau telah menjadi sahabatku yang ada baik sedih maupun kala
duka. Masalahku sungguh sangat berat dan terkadang jiwaku seolah ingin berontak
dan kalau Puang Allah Taala masih memberiku kesempatan melihat bitarae mompo ri
lau maka saat itulah saya akan mencoba menerima bahwa jiwaku masih memiliki
kesempatan untuk hidup”.
“Kenapa kau bicara
seperti itu Cud ?, seolah kau telah melepaskan jiwa ragamu tenggelam di dasar
samudra hingga harapanmu ikut kau tenggelamkan”.
“Seandainya bukan
karena siri maka sahabatmu ini akan tinggal nama saja”.
Pembicaraan mereka terhenti secara tiba-tiba karena ada
kerumunan orang yang tampaknya lagi ribut mempermasalahkan sesuatu, We Cuddai
dan We Cinnong pun berlari menuju kerumunan tersebut.
“Eh, kenapa anda ikut
campur ?, tolong serahkan sama saya itu bapak yang tak tau aturan lalu lintas
biar saya berikan pelajaran bagaimana caranya tertib berlalu lintas”.
“Tolong maklumi dia
orang buta, saya harap anda bisa mengerti”.
“Anda jangan
menghalangi saya atau saya hajar anda”.
Akhirnya ke dua orang tersebut akhirnya berkelahi dan
saling menyerang satu sama lain tampak ada marah yang begitu besar menyelimuti
perkelahian tersebut serta makin banyak orang datang untuk melerai ke duanya.
“Hentikan La Paewai,
dimana hati nuranimu ?, masa orang buta kau salahkan dan menuduhnya tak tau
aturan berlalu lintas, sadarkah bahwa kau ini anak hukum jadi jangan main hakim
sendiri, lagian motormu saja tidak lengkap kaca spionnya. Orang buta inikah
yang tak tau berlalu lintas atau kau yang tak tau berlalu lintas ?”.
“We Cuddai, calon
istriku tak kusangka tak ku duga akhirnya kita berjumpa juga setelah sekian
lama tak bertemu Puang Allah Taala akhirnya mengabulkan do’aku. Sukkurukku
kupasibawai ati macinnokku makasiwiang lao ri puang Allah Taala, ternyata kau
makin cantik dengan balutan kerudung merah yang seakan hatiku berdetak tak
karuan memandang garis-garis wajahmu yang menyatu dengan pakaianmu hingga aura
mapaccing bersinar dari wajahmu”.
“Ternyata tak ada yang
berubah dari watakmu sejak dulu, rasa arogansimu dan egomu begitu tinggi tak
bisa menghargai orang lain lalu kenapa kau memukul orang yang tak bersalah ?”.
“Cud, jadi kau lebih
membela dia dari pada saya”.
“Yah, mupeddirini atiku
musampeangi nawa-nawa macinnokku”.
We Cuddai tampak tak memperhatikan La Paewai dan memilih
memperhatikan pemuda yang telah di lukai oleh La Paewai sembari mengobati
lukanya, tampak sentuhan tangan lembutnya begitu cekatan menari-nari
membersihkan luka pada wajah pemuda tersebut. Yah hal ini begitu wajar sebab We
Cuddai adalah mahasiswa jurusan kedokteran yang memang didik untuk mengobati
luka. Setelah mengobati luka pemuda tersebut dan mengantar orang buta untuk
naik mobil menuju Jl.Veteran maka dengan wajah memerah We Cuddai membalikkan
wajahnya ke arah La Paewai.
“Sampai kapan kau akan
berhenti menyusahkan orang lain ?, dengan tabiatmu yang arogan maddara takkue
yang kau bangga-banggakan”.
“We Cuddai, masih kau
ingat dengan petuah bugis yang berbunyi tellele bulu tellele abiasang, maumuni
mupaompo matanna essoe pole ri lau iaregga mupaompo pole ri aja nennia pole ri
attang makutofa mupaompo pole ri ahang de mulei palesangi abiasaku engkae
maddoe ri watakaleku”.
“Baiklah, mamuare
engkaki pada siruntu paimeng nalesanna ampe-ampe ri watakalemu”.
Dengan menangis keras dan meraung-raung La Paewai menatap
bekas kaki We Cuddai yang makin menjauh serta meninggalkan La Paewai sendiri di
tengah jalan sembari titik-titik hujan jatuh perlahan demi perlahan hingga
membasahi tubuhnya. La Paewai tak sadar kalau orang-orang di sekitarnya menatap
dengan wajah sinis.
“Bura’ne apa njo na
kullu-kullu kamma”.
“Nucini’mi njo ikau
bura’nea, tinggi sakolana mau tongi dibilang caradde na tolo, tau aturan
berlalu lintas tetapi malah dia yang melanggar tetapi menuduh orang buta bersalah,
pongoro”.
“Iye, daeng”.
Setelah sampai di kostnya We Cuddai merenungi kata-kata
yang di lontarkan oleh La Paewai hingga seolah-olah membayang-bayangi
ingatannya dan membuatnya merenangi lautan tidur pulasnya dengan perahu
kata-kata yang membawahnya menyelami angkasa luas mengitari pappaseng dewata
sewwae dalam gugusan kepulauan bintang yang berkelap-kelip.
“Kurumai sumangenu
anakku, upatiroakko pappaseng asalamakeng na mutiwi rewe lao ri toddang
anging”.
“Iye puang, iana tau
malere tuo ri lebo’na tanae, nasaba defa uajeppuiwi aleku na makuni aro
mapadaka tau nairie anging kegai mangolo anginge kutuna makicoe”.
“We anakku We Cuddai,
aja muancaji tau malere akkatenniko masse ri dewata sewwae puang Allah Taala
puang mappancaji nenni mappamate, wenni esso kuitako pole ri atimmu engka
cinnamu tuo ri falla maborong uddani nennia maserro musirang wae mata cinnamu,
aja mubelleiki atimmu anak”.
“Maserro marilaleng
pakkitatta lao ri atiku nasaba falla temmaka alusu na tiro mata nennia engkaki
pattiroiki mata, agana pakkulekku lao belle-bellewi atikku nasaba maserro
ucirinnai nennia ufaka faccing atiku nasaba asugireng loppoku engkaki ri laleng
atikku”.
“Ikonatu tau maufe tuo
ri labona tane nasaba mufakafaccingi atimmu, seddi bawang pappasekku lao ri
alemu anak aja lalo mufeddiriwi atinna seddie rufa tau nasaba koeloko
majeppuiwi alemu makutofa muajeppuiwi puangmu maserro parellui maujeppui alemu
nennia rufa tau engkau mabajang-bajang ri laleng atimmu”.
“Kuassimanna pale lisu
lao ri onrong tubukku maserro utiwi uddaniku lao ri idi puang narekko engkaka
maringerang moto pole ri tinroku ri toddang anging”.
Dengan sekejap mata We Cuddai terbangun dari tidurnya dan
mendapati dirinya tengah di kerumuni oleh teman-temannya sembari menatap dengan
keherangan, sebab We Cinnong berlinang-linang air mata dan akhirnya memeluk
tubuhnya yang masih lesu.
“We Cuddai, sudah tiga
hari tiga malam kau tak pernah bangun-bangun dari tidurmu dan La Paewai
menemanimu dengan setia hingga beberapa saat dia harus pergi untuk masuk
kampus, tampaknya dia sangat perhatian padamu. Oh iya, ini ada kartu namanya
sebab dia khawatir kalau tidak ada perubahan sama kau dia menyuruhku untuk membawamu
ke rumah sakit dengan jaminan kartu namanya sebagai pegangan sebelum dia datang
menyusul”.
Seketika dia meraih kartu nama itu dan langsung pergi
terburu mencari ojek dan sontak semua orang terlihat begitu panik menyaksikan
hal tersebut. Motor yang di tumpangi oleh We Cuddai berlari begitu cepat hingga
motor yang di naiki oleh La Paewai saling berpapasan namun mereka tidak saling
menatap, sehingga ke duanya saling buru-buru menuju kost satu sama lain sebab
We Cuddai menuju kostnya La Paewai begitu pula sebaliknya.
“We Cinnong dimana We
Cuddai ?, kenapa dia tak ada lagi di tempat tidurnya ?”.
“Dia baru saja pergi
menuju kostmu, ada lagi yang perlu kau tau mungkin ini bisa menjawab rasa
penasaranmu tentang keadaan jiwanya selama ini”.
Dengan membuka perlahan daun pintu kamar yang bertuliskan
pusaka jiwaku, betapa terkejutnya La Paewai saat melihat foto kecilnya bersama
We Cuddai masih terbingkai dengan rapi dan begitu banyak kata-kata pengharapan
yang di tempelkannya setiap akhir tahun untuk melihat dirinya merubah sikapnya
yang arogan dan egonya yang begitu tinggi. Hanya linangan air mata yang keluar
perlahan dari bola mata La Paewai.
Di tempat lain We
Cuddai juga telah sampai di kostnya La Paewai dan teman satu kamarnya
membukakannya pintu serta langsung bisa menebak kalau yang datang itu adalah We
Cuddai.
“Kamu pasti We Cuddai
yah”.
“Iya, kenapa kamu bisa
tau ?”.
“Pastilah sebab fotomu
terpampang di ruangan ini, lengkap dengan catatan-catatan akhir tahun dan
menjadi penyemangat bagi La Paewai mengawali tahun baru, coba masuk dan
lihatlah sendiri”.
Begitu terkejutnya We
Cuddai ketika melihat fotonya terpampang di kamarnya La Paewai, sembari membaca
tulisan-tulisan dibawah fotonya,hanya linangan air mata yang merasuki wajahnya
sebab dia tak menyangka kalau selama ini La Paewai ternyata sengaja berbuat
arogan supaya dirinya memperhatikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar