AGAMA
DAN POLITIK
Berbicara mengenai agama tentu mengarahkan pikiran kita
tentang sesuatu hal yang paling inti dalam kehidupan ini, yaitu tuhan. Menjadi
sangat menarik untuk diperbincangkan sebab ada banyak hal dikehidupan ini yang
senantiasa disandarkan kepada tuhan, menjadi sangat lucu misalnya apabila ada
seseorang yang secara ukuran ketaatan kemudian dianggap sholeh tetapi ketika
mencalonkan diri menjadi bupati, gubernur ataupun caleg tetapi tidak terpilih,
pertanyaannya apabila tuhan turut menentukan kemenangan seseorang dalam dunia
politik maka apakah tuhan menghendaki orang yang tidak sholeh menjadi pemimpin
?. Dari contoh sederhana diatas dapat ditarik suatu pertanyaan apakah agama
memiliki pengaruh dalam dunia politik ?, lalu bukankah dari segi kehidupan
sosial agama dan politik sama-sama menjadi sebuah pilar kehidupan.
Untuk membahas lebih jauh agama dan politik terlebih
dahulu mari kita simak pandangan seorang tokoh mengenai kebudayaan, sebab agama
dan politik lahir dari sebuah rahim kebudayaan dan ini tentu suatu hal menarik
bahwa ada kalanya agama dan politik menjadi suatu bagian yang sering
disakralkan. Pandangan Edward Burnett Tylor yang mengemukakan bahwa kebudayaan
merupakan keseluruhan yang kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan,
kepercayaan/agama, kesenian dan struktur-struktur politik. Akar dari pandangan
ini tentu berangkat dari sebuah kondisi bahwa sejak dulu sistem-sistem
kepercayaan sangat percaya kepada hal-hal yang berbau dewa, makanya dalam satu
kebudayaan terkadang kita menjumpai adanya banyak dewa yang disembah oleh
masyarakat, lalu pertanyaannya apa hubungannya dengan politik ?, hal ini dapat
kita lihat bahwa adanya unsur yang dibangun untuk kepercayaan yang dibangun
sebagai pelayan politik, seperti adanya pandangan bahwa raja/ratu, kaisar
ataupun pemimpin adalah keturunan dewa. Sehingga itulah sebabnya seorang raja
cenderung disakralkan oleh para rakyatnya.
Dewa sebagai simbol agama segaligus diterjemahkan sebagai
simbol kekuatan politik, pertanyaannya lebih lanjut mengapa agama membutuhkan
politik ?, mungkin sudah menjadi prasyarat bahwa untuk membangun kehidupan
keagamaan yang lebih maju perlu ditopang kekuatan politik sehingga agama
menjadi alat hegemoni para penguasa. Contoh sederhananya kekaisaran Romawi
dengan agama kristen menjadi agama yang mendapatkan tempat dalam kehidupan
bernegara, Jepang dengan Shinto dan Arab dengan islam. Mengapa agama butuh
embel-embel politik dan politik butuh embel-embel agama ?, agama dalam
perkembangannya mempersyaratkan ketenagan untuk menjalankan ritus-ritus
ibadahnya, untuk menjamin kenyaman itu semua maka hal itu dapat diwujudkan
apabila ada jaminan kekuasaan atau politik. Sedangkan politik adalah aktivitas
yang membutuhkan massa pendukung dan untuk mendapatkan pendukung ideologis yang
siap mati membela agama dengan berbagai perangkatnya adalah pemeluk agama,
sehingga secara politik hal ini sangat menguntungkan untuk mengamankan
kekuasaan.
Membaca pola hubungan yang sangat menguntungkan antara
agama dan politik maka sangat menarik untuk mengaitkan dengan pandangan seorang
Antony Gramsci mengatakan bahwa kekuasaan harus dipahami sebagai sebuah
hubungan. Hal ini dilandasi bahwa hubungan itu terlahir dari kesatuan persepsi
tentang kepentingan, sehingga untuk menjaga hubungan ini maka diperlukanlah
alat propaganda untuk mempertahankan kekuasaan, baik kekuasaan agama dan
kekuasaan politik. Untuk mempertahankan kekuasaan yang terdiri dari berbagai
unsur sosial seperti agama, budaya dan politik sebagai sebuah unsur yang harus
saling terkoneksi/terhubung satu sama lain untuk itu kekuasaan juga bisa merata
keseluruh unsur masyarakat atau dalam bahasanya Gramsci menggunakan istilah
integral untuk menjelaskan konsepsi baru mengenai watak kekuasaan.
Olehnya itu mari kita melihat bahwa agama dan politik
lahir dari rahim kebudayaan untuk melayani kehidupan sosial, itulah mengapa
antara guru spiritual dengan pemimpin politik mendapat tempat yang sakral dalam
kehidupan sosial. Salah satu asas kita
bernegara adalah untuk mendapatkan rasa keamanan/kenyamanan maka untuk
mewujudkan semua itu maka agama harus membangun hubungan dengan dunia politik
begitu seterusnya.
Agama dan negara merupakan prodak kebudayaan yang ingin
memberikan jaminan pada manusia, agama ingin menjamin kehidupan akhirat
sedangkan politik ingin menjamin kehidupan duniawi, sehingga untuk mewujudkan
semua itu maka diperlukannlah kolaborasi antar keduanya. Machiavelli misalnya
memberikan citra buruk pada politik kekuasaan, yang mana seluruh kekuasaan
negara memiliki logikanya sendiri yang cenderung bertarung untuk memperebutkan
kekuasaan, machiavelli mencoba menggambarkan realitas sosial politik seperti
apa adanya dengan citra buruk. Pandangan lain datang dari Thomas Hobbes
berpandangan bahwa setiap manusia cenderung untuk berkuasa dan tidak pernah
puas, sehingga untuk menciptakan stabilitas sosial perlu dibuat peraturan yang
dipaksakan kepada manusia oleh superiotas tertinggi yaitu negara.
Agama dan politik saling melayani untuk kepentingan,
untuk mengembangkan agama maka diperlukan sokongan politik yang bisa menjamin
terwujudnya semua kepentingan itu. Kita tak perlu jauh-jauh mengambil contoh di
daerah lain sebab sejarah panjang sul-sel juga pernah terjadi seperti kasus
pemberontakan kahar muzakar yang ber-evolusi menjadi perang agama untuk
menghaluskan kepentingan politik, bukankah hal ini membuktikan bahwa manusia
memiliki kehendak untuk berkuasa dan untuk mewujudkannya mungkin akan
berkolaborasi dengan berbagai macam kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar