sudah menjadi kodrat manusia untuk menyejarah
dan setiap kehidupan tentu memiliki identitas kesejarahan tersendiri, apabila
lembaran-lembaran sejarah mulai terkuak maka identitas suatu masyarakat akan
ikut terbuka serta akan menjawab pertanyaan mengenai asal usul kesejarahan
suatu daerah. merasa tergelitik dan terusik akan ontologi sejarah sanjai
sehingga beberapa waktu lalu sempat mewawancarai seorang masyarakat yang
berdiam di rumah corie atau bola corie yang masih mengetahui beberapa hal mengenai sejarah sanjai yang di wariskan
secara lisan beliau mengatakan bahwa sanjai pada mulanya terbentuk menjadi
akkarungeng kemudian yang menjadi arung pertamanya adalah arung syangahe yang
merupakan sosok wanita yang menjadi arung pertama dan menurut penjelasan beliau
lebih lanjut bahwa arung syangahe menjadi arung kala beliau belum bersuami. Hal
ini menandakan sanjai dahulu kala telah mengalami perkembangan di dunia
perpolitikan sebab selama ini tradisi memimpin seolah berada pada pihak
laki-laki tetapi sejarah sanjai bercerita lain. Setelah lama memerintah maka
arung syangahe kemudian menikah dengan Puang Laja baru setelah menikah syangahe
pun digantikan oleh suaminya yakni Puang Laja menjadi arung ke dua di sanjai,
mengenai asal puang Laja lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa puang Laja
berasal dari Bone sejarah di sulawesi selatan, dalam berbagai literasi
menyebutkan bahwa konteks sejarah yang terwariskan secara budaya tutur lebih
mementingkan isi dari pada pencatutan penanggalan tahun sehingga itu menjadi
menarik untuk melakukan penelusuran sejarah. Tetapi ini bukanlah alasan untuk
menelusuri sejarah dalam konteks sanjai, melanjutkan pembahasan awal dari
sejarah akkarungeng di sanjai bahwa setelah pernikahan arung Syangahe dengan
Puang Laja maka digantikanlah Syangahe oleh Puang Laja. Hal ini bisa dilacak
dalam konteks priodisasi bahwa secara hipotetik (dugaan) bahwa kejadian ini
berlangsung pada kurung waktu pasca perjanjian topekkong, sebab pada masa itu
terjadi perebutan pengaruh antara kerajaan Gowa dan kerajaan Bone dalam hal
perebutan kekuasaan dan salah satu tradisi politik dalam Bugis-Makassar
menggunakan politik perkawinan, Sanjai dalam konteks geopolitik memiliki letak
yang sangat strategis yang bisa menjadi penghubungan antara Gowa yang juga
mencoba menerapkan politik kekuasaan disekitar wilayah Bulukumba, sehingga
Sanjai menjadi pintu masuk bukan hanya lewat darat tetapi juga lewat laut.
Puang Laja yang berasal dari Bone tentu memainkan peran tersebut untuk
mengawasi pergerakan yang juga coba dilakukan oleh kerajaan Gowa. Artinya bahwa
untuk membaca konteks sejarah Sanjai maka perlu membaca hubungan-hubungan
tersebut. Masyarakat Sanjai dibentuk oleh tiga unsur pertama disebut uwa
(catatan dalam unsur uwa ini terbagi lagi dalam beberapa sub tinggi dan rendah,hal
ini didasari oleh perkawinan apakah ayah atau ibu yang memiliki hubungan
perkawinan dengan uwa derajat tinggi atau rendah), kedua unsur Bone yang
bergelar Petta dan ketiga unsur Gowa dengan bergelar daeng. Perlu dicatat bahwa
orang asli yang berdiam di Sanjai sejak awal adalah unsur uwa tidak mengenai
sebutan Petta/Andi maupun daeng, menurut keterangan orang tua dulu Pettae
nennia Daeng/karaeng tau mattama-tamami, sehingga muncul istilah orang tua dulu
bahwa to Sanjaie de naisengi mappetta nennia makaraeng. Istilah Petta nennia
Karaeng muncul setelah masuk sistem perebutan kekuasaan antara Gowa dan Bone,
belakangan baru muncul melalui sistem pernikahan. Untuk melihat sejarah awal
Sanjai yang terbentuk melalui akkarungeng maka itu terbentuk sebelum perjanjian
topekkong, baru setelah persaingan antara kerajaan Gowa dan Bone maka masuklah
melalui hubungan pernikahan, lebih jauh setelah pernikahan arung Syangahe
dengan Puang Laja maka dari penihakan itu melahirkan anak prempuan yang bernama
Puang Kaca kemudian setelah dewasa Puang Kaca menikah dengan Faesa daeng Pakoko
(catatan bahwa Faesa daeng Pakoko adalah etnis Gowa yang lahir dari Bapak yang
masih memiliki hubungan kekrabatan dengan Sombayya ri Gowa yang bernama
Lolongang daeng Siajeng). Dari sinilah kemudian terjadi hubungan antara ketiga
unsur ini Syangahe sebagai unsur uwa, Puang Laja unsur Bone dan Faesa daeng
Pakoko sebagai unsur Gowa, selanjutnya setelah Puang Laja mangkat maka yang
menggantikannya sebagai arung adalah keturunan dari Puang Kaca dengan Faesa
daeng Pakoko yang bernama Puang Renreng. Maka secara geopolitik ketiga unsur
ini memainkan peranan yang sangat menarik untuk dikajih lebih jauh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar