Jumat, 27 November 2015

sanjai histori

sudah menjadi kodrat manusia untuk menyejarah dan setiap kehidupan tentu memiliki identitas kesejarahan tersendiri, apabila lembaran-lembaran sejarah mulai terkuak maka identitas suatu masyarakat akan ikut terbuka serta akan menjawab pertanyaan mengenai asal usul kesejarahan suatu daerah. merasa tergelitik dan terusik akan ontologi sejarah sanjai sehingga beberapa waktu lalu sempat mewawancarai seorang masyarakat yang berdiam di rumah corie atau bola corie yang masih mengetahui beberapa hal mengenai sejarah sanjai yang di wariskan secara lisan beliau mengatakan bahwa sanjai pada mulanya terbentuk menjadi akkarungeng kemudian yang menjadi arung pertamanya adalah arung syangahe yang merupakan sosok wanita yang menjadi arung pertama dan menurut penjelasan beliau lebih lanjut bahwa arung syangahe menjadi arung kala beliau belum bersuami. Hal ini menandakan sanjai dahulu kala telah mengalami perkembangan di dunia perpolitikan sebab selama ini tradisi memimpin seolah berada pada pihak laki-laki tetapi sejarah sanjai bercerita lain. Setelah lama memerintah maka arung syangahe kemudian menikah dengan Puang Laja baru setelah menikah syangahe pun digantikan oleh suaminya yakni Puang Laja menjadi arung ke dua di sanjai, mengenai asal puang Laja lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa puang Laja berasal dari Bone sejarah di sulawesi selatan, dalam berbagai literasi menyebutkan bahwa konteks sejarah yang terwariskan secara budaya tutur lebih mementingkan isi dari pada pencatutan penanggalan tahun sehingga itu menjadi menarik untuk melakukan penelusuran sejarah. Tetapi ini bukanlah alasan untuk menelusuri sejarah dalam konteks sanjai, melanjutkan pembahasan awal dari sejarah akkarungeng di sanjai bahwa setelah pernikahan arung Syangahe dengan Puang Laja maka digantikanlah Syangahe oleh Puang Laja. Hal ini bisa dilacak dalam konteks priodisasi bahwa secara hipotetik (dugaan) bahwa kejadian ini berlangsung pada kurung waktu pasca perjanjian topekkong, sebab pada masa itu terjadi perebutan pengaruh antara kerajaan Gowa dan kerajaan Bone dalam hal perebutan kekuasaan dan salah satu tradisi politik dalam Bugis-Makassar menggunakan politik perkawinan, Sanjai dalam konteks geopolitik memiliki letak yang sangat strategis yang bisa menjadi penghubungan antara Gowa yang juga mencoba menerapkan politik kekuasaan disekitar wilayah Bulukumba, sehingga Sanjai menjadi pintu masuk bukan hanya lewat darat tetapi juga lewat laut. Puang Laja yang berasal dari Bone tentu memainkan peran tersebut untuk mengawasi pergerakan yang juga coba dilakukan oleh kerajaan Gowa. Artinya bahwa untuk membaca konteks sejarah Sanjai maka perlu membaca hubungan-hubungan tersebut. Masyarakat Sanjai dibentuk oleh tiga unsur pertama disebut uwa (catatan dalam unsur uwa ini terbagi lagi dalam beberapa sub tinggi dan rendah,hal ini didasari oleh perkawinan apakah ayah atau ibu yang memiliki hubungan perkawinan dengan uwa derajat tinggi atau rendah), kedua unsur Bone yang bergelar Petta dan ketiga unsur Gowa dengan bergelar daeng. Perlu dicatat bahwa orang asli yang berdiam di Sanjai sejak awal adalah unsur uwa tidak mengenai sebutan Petta/Andi maupun daeng, menurut keterangan orang tua dulu Pettae nennia Daeng/karaeng tau mattama-tamami, sehingga muncul istilah orang tua dulu bahwa to Sanjaie de naisengi mappetta nennia makaraeng. Istilah Petta nennia Karaeng muncul setelah masuk sistem perebutan kekuasaan antara Gowa dan Bone, belakangan baru muncul melalui sistem pernikahan. Untuk melihat sejarah awal Sanjai yang terbentuk melalui akkarungeng maka itu terbentuk sebelum perjanjian topekkong, baru setelah persaingan antara kerajaan Gowa dan Bone maka masuklah melalui hubungan pernikahan, lebih jauh setelah pernikahan arung Syangahe dengan Puang Laja maka dari penihakan itu melahirkan anak prempuan yang bernama Puang Kaca kemudian setelah dewasa Puang Kaca menikah dengan Faesa daeng Pakoko (catatan bahwa Faesa daeng Pakoko adalah etnis Gowa yang lahir dari Bapak yang masih memiliki hubungan kekrabatan dengan Sombayya ri Gowa yang bernama Lolongang daeng Siajeng). Dari sinilah kemudian terjadi hubungan antara ketiga unsur ini Syangahe sebagai unsur uwa, Puang Laja unsur Bone dan Faesa daeng Pakoko sebagai unsur Gowa, selanjutnya setelah Puang Laja mangkat maka yang menggantikannya sebagai arung adalah keturunan dari Puang Kaca dengan Faesa daeng Pakoko yang bernama Puang Renreng. Maka secara geopolitik ketiga unsur ini memainkan peranan yang sangat menarik untuk dikajih lebih jauh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar