FILOSOFI BUDAYA
DALAM RANAH HUKUM
Bangsa ini kembali di timpa
badai yang begitu besar, salah satu lembaga tinggi negara yang membidani soal
hukum yaitu Mahkamah Konsitusi yang di harapkan menegakkan hukum secara adil,
namun nyatanya hal tersebut di rusak oleh kejadian yang menimpa ketua mahkamah
konsitusi yang di temukan membawah ganja dan indikasi penyuapan kasus pemilu
kada, mahkamah konsitusi yang sebetulnya di harapkan mengawal penerapan hukum
yang sesuai dengan konsitusi negeri ini namun nyatanya malah mempertontonkan
sebuah contoh yang sangat melanggar dan merusak wibawah sebuah lembaga tinggi
negara, lalu pertanyaannya ada apa sebetulnya dengan lembaga penegak hukum di
negeri ini ?, sebuah pertanyaan yang pantas kita lontarkan melihat buruknya peradilan
di negeri ini dan sebagai bagsa yang besar tentu kita harus berpikir ke depan
untuk mewujudkan lembaga peradilan yang lebih baik.
Dalam kebudayaan mana pun tak
pernah menggariskan sebuah ketimpangan dalam hukum, malah di setiap kebudayaan
malah mengajarkan sebuah filosofi yang dalam dengan perangkat nilai yang
memberikan wibawah dan ketegasan dalam pelanggaran hukum tanpa memandang bulu,
jangankan orang lain saudara lagi bila bersalah maka tak ada alasan untuk
menegakkan hukum secara adil, ini menunjukkan sebuah wibawah dan pantang
tergiur dengan materi. Dalam penegakan hukum yang begitu sarat makna filosofi
budaya sulawesi selatan, kita tentu harus menjadikan ini sebuah contoh yang
berharga yang dilakukan oleh seorang hakim pada masa kerajaan sidenreng pada
abad 16 yang bernama LA PAGALA NENE ALLOMO yang pernah menjatuhkan hukuman mati
terhadap putranya sendiri karena dipersalahkan mengambil luku (sangilak) orang
lain yang terletak di sebelah pematang sawahnya tanpa setahu pemilik, sebuah
fenomena yang sangat langkah bila terjadi seperti ini dalam penegakan hukum di
negeri ini. Tentu penyegaran dalam ranah hukum di negeri ini sangat perlu kita
lakukan melihat banyaknya kasus hukum yang terjadi di negeri kita, yang
seharusnya hukuman bisa memberikan efek jera namun nyatanya para pelaku makin
berani berbuat penyimpangan yang melanggar hukum dan yang anehnya malah orang
yang sering memberikan putusan hukum yang melakukannya, ini menunjukkan wibawah
hukum di negeri sangat kurang dan boleh di katakan berada pada titik nadir.
Sebagai bangsa yang berbudaya
tentu hal ini harus kita sikap secara nyata dan menyegarkan kembali lembaga
hukum di negeri ini dengan memberikan sentuhan filosofi budaya dalam ranah
hukum sangat kita perlukan, dalam hal ini budaya bugis makassar sangat kaya
filosofi yang tentu sangat di harapkan akan mengembalikan wibawah hukum di
negara kita harapan ini tentu tidak muluk-muluk pasalnaya yang memimpin saat
ini lembaga tinggi negara telah di pimpin oleh orang sulawesi selatan yaitu ABRAHAM
SAMAD sebagai ketua kpk dan HAMDAN ZULFA sebagai ketua mk yang membidani soal
hukum supaya menjadikan budaya bugis makassar menegembalikan wibawah lembaga
peradilan di negeri ini. Suatu kearifan lokal di sulawesi selatan bahwa hakim
sebelum menetapkan putusannya maka mereka harus mengadili dirinya sendiri,
yaitu mengadili pikirannya yaitu yaitu membayangkan dirinya sebagai subjek yang
berperkara, andai kata mereka sudah bicara watokkale (yaitu mengadili
pikirannya, ucapannya, perbuatannya, dan penglihatannya sendiri) lalu bersedia
menerima putusannya seandainya mereka akan dijatuhi hukuman maka barulah mereka
menjatuhkan putusannya. Sebagaimana yang kita lihat bahwa prilaku para penegak
hukum ini cenderung kehilangan jati dirinya sebagai penegak hukum yang
menjunjung tinggi keadilan yang malah menerimah suap, penyebabnya ada yang
hilang dari diri mereka yaitu rasa siri (malu) hingga rela menerimah suap dan
kejujuran (ada tongeng) dalam filosofi bugis makassar mengatakan bahwa
seseorang baru dikatakan manusia bila memiliki kata jujur (ada tongeng),
penyegaran lembaga peradilan di negeri dengan berlandaskan budaya itu sangat
penting karena tampaknya budayalah salah satu solusi tepat untuk mengembalikan
wibawah lembaga peradilan di negeri ini yang sudah carut marut. Dalam budaya
bugis makassar di kenal adat sebagai komponen panngaderang bahwa ade (hukum) di
tegakkan serta di patuhi para kawula (rakyat), karena dengan menegakkan dan
mematuhi ade (hukum), berarti mereka memuliakan siri yang menjung tinggi martabat
manusia. Menurut orang bugis makassar bahwa siri itu bagian dari harga diri
manusia yang penegakannya dimaknai sebagai hukum, karena itu yang terlambangkan
dalam ade yang diberi kekuatan oleh siri sebagai bagian integral dari manusia,
hal ini bilah di terjemahkan dalam peradilan di negeri kita maka hal ini akan
memberikan penyegaran dan mengembalikan wibawah lembaga peradilan.
KARAENG PATTINGALOANG pernah
melontarkan bahwa kehancuran suatu negeri diakibatkan karena para penegak hukum
menerimah suap, apakah hal ini yang sekarang yang terjadi pada bangsa kita ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar