Senin, 09 November 2015

FILOSOFI BUDAYA DALAM RANAH HUKUM


FILOSOFI BUDAYA DALAM RANAH HUKUM
                Bangsa ini kembali di timpa badai yang begitu besar, salah satu lembaga tinggi negara yang membidani soal hukum yaitu Mahkamah Konsitusi yang di harapkan menegakkan hukum secara adil, namun nyatanya hal tersebut di rusak oleh kejadian yang menimpa ketua mahkamah konsitusi yang di temukan membawah ganja dan indikasi penyuapan kasus pemilu kada, mahkamah konsitusi yang sebetulnya di harapkan mengawal penerapan hukum yang sesuai dengan konsitusi negeri ini namun nyatanya malah mempertontonkan sebuah contoh yang sangat melanggar dan merusak wibawah sebuah lembaga tinggi negara, lalu pertanyaannya ada apa sebetulnya dengan lembaga penegak hukum di negeri ini ?, sebuah pertanyaan yang pantas kita lontarkan melihat buruknya peradilan di negeri ini dan sebagai bagsa yang besar tentu kita harus berpikir ke depan untuk mewujudkan lembaga peradilan yang lebih baik.
                Dalam kebudayaan mana pun tak pernah menggariskan sebuah ketimpangan dalam hukum, malah di setiap kebudayaan malah mengajarkan sebuah filosofi yang dalam dengan perangkat nilai yang memberikan wibawah dan ketegasan dalam pelanggaran hukum tanpa memandang bulu, jangankan orang lain saudara lagi bila bersalah maka tak ada alasan untuk menegakkan hukum secara adil, ini menunjukkan sebuah wibawah dan pantang tergiur dengan materi. Dalam penegakan hukum yang begitu sarat makna filosofi budaya sulawesi selatan, kita tentu harus menjadikan ini sebuah contoh yang berharga yang dilakukan oleh seorang hakim pada masa kerajaan sidenreng pada abad 16 yang bernama LA PAGALA NENE ALLOMO yang pernah menjatuhkan hukuman mati terhadap putranya sendiri karena dipersalahkan mengambil luku (sangilak) orang lain yang terletak di sebelah pematang sawahnya tanpa setahu pemilik, sebuah fenomena yang sangat langkah bila terjadi seperti ini dalam penegakan hukum di negeri ini. Tentu penyegaran dalam ranah hukum di negeri ini sangat perlu kita lakukan melihat banyaknya kasus hukum yang terjadi di negeri kita, yang seharusnya hukuman bisa memberikan efek jera namun nyatanya para pelaku makin berani berbuat penyimpangan yang melanggar hukum dan yang anehnya malah orang yang sering memberikan putusan hukum yang melakukannya, ini menunjukkan wibawah hukum di negeri sangat kurang dan boleh di katakan berada pada titik nadir.
                Sebagai bangsa yang berbudaya tentu hal ini harus kita sikap secara nyata dan menyegarkan kembali lembaga hukum di negeri ini dengan memberikan sentuhan filosofi budaya dalam ranah hukum sangat kita perlukan, dalam hal ini budaya bugis makassar sangat kaya filosofi yang tentu sangat di harapkan akan mengembalikan wibawah hukum di negara kita harapan ini tentu tidak muluk-muluk pasalnaya yang memimpin saat ini lembaga tinggi negara telah di pimpin oleh orang sulawesi selatan yaitu ABRAHAM SAMAD sebagai ketua kpk dan HAMDAN ZULFA sebagai ketua mk yang membidani soal hukum supaya menjadikan budaya bugis makassar menegembalikan wibawah lembaga peradilan di negeri ini. Suatu kearifan lokal di sulawesi selatan bahwa hakim sebelum menetapkan putusannya maka mereka harus mengadili dirinya sendiri, yaitu mengadili pikirannya yaitu yaitu membayangkan dirinya sebagai subjek yang berperkara, andai kata mereka sudah bicara watokkale (yaitu mengadili pikirannya, ucapannya, perbuatannya, dan penglihatannya sendiri) lalu bersedia menerima putusannya seandainya mereka akan dijatuhi hukuman maka barulah mereka menjatuhkan putusannya. Sebagaimana yang kita lihat bahwa prilaku para penegak hukum ini cenderung kehilangan jati dirinya sebagai penegak hukum yang menjunjung tinggi keadilan yang malah menerimah suap, penyebabnya ada yang hilang dari diri mereka yaitu rasa siri (malu) hingga rela menerimah suap dan kejujuran (ada tongeng) dalam filosofi bugis makassar mengatakan bahwa seseorang baru dikatakan manusia bila memiliki kata jujur (ada tongeng), penyegaran lembaga peradilan di negeri dengan berlandaskan budaya itu sangat penting karena tampaknya budayalah salah satu solusi tepat untuk mengembalikan wibawah lembaga peradilan di negeri ini yang sudah carut marut. Dalam budaya bugis makassar di kenal adat sebagai komponen panngaderang bahwa ade (hukum) di tegakkan serta di patuhi para kawula (rakyat), karena dengan menegakkan dan mematuhi ade (hukum), berarti mereka memuliakan siri yang menjung tinggi martabat manusia. Menurut orang bugis makassar bahwa siri itu bagian dari harga diri manusia yang penegakannya dimaknai sebagai hukum, karena itu yang terlambangkan dalam ade yang diberi kekuatan oleh siri sebagai bagian integral dari manusia, hal ini bilah di terjemahkan dalam peradilan di negeri kita maka hal ini akan memberikan penyegaran dan mengembalikan wibawah lembaga peradilan.
                KARAENG PATTINGALOANG pernah melontarkan bahwa kehancuran suatu negeri diakibatkan karena para penegak hukum menerimah suap, apakah hal ini yang sekarang yang terjadi pada bangsa kita ?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar