PETTA
MAPPA NAHKODA KAPAL DARI BATU LOTONG
Bugis-Makassar sejak dulu kala telah terkenal sebagai
pelaut ulung dan hal ini telah di buktikan dalam catatan sejarah, ada hal yang
menarik untuk diperhatikan dalam perjalanan sejarah Bugis-Makassar sebagai
penguasa laut yang mampu melintasi samudra. Secara filosofis orang
Bugis-Makassar menganut pandangan siri yang merupakan identitas yang melekat
dalam diri. Siri atau malu merupakan sistem nilai yang dianut sebab hanya
sirilah manusia hidup, apabila manusia sudah kehilangan siri maka tidak ada
lagi gunanya untuk hidup. Dalam konteks merantau di terapkan sebagai sebuah
prinsip hidup bahwa selama berada dalam dunia rantau atau di kampung orang
prinsip siri menjadi roda penggerak untuk menaklukan tanah rantau.
Batu Lotong yang terletak di pinggiran sungai memang
sangat strategis untuk melahirkan pelaut ulung, setelah mengalami fase-fase
sulit dalam hidupnya pasca kekacauan yang terjadi di Sulawesi Selatan dan hal
ini juga terjadi di Batu Lotong ada trauma pasca gerombolan DII/TII. Sehingga
pada masa itu Petta Mappa akhirnya memutuskan untuk merantau dengan membawa
barang dagangan seperti beras dan berbagai hasil panen untuk di pasarkan di
Kalimantan yang menggunakan perahu. Bermodalkan tekad yang kuat akhirnya Petta
Mappa mengarungi lautan untuk memasarkan hasil panen dan beberapa barang
dagangan lainnya. Lautan yang luas di pandangnya sebagai hamparan harapan yang
menanti walau ada badai tantangan yang menerjang tiap saat tetapi rasa siri
membuatnya pantang kembali sebab dalam prinsip Bugis-Makassar lebih baik
mengarungi lautan dari pada kembali ke pinggir pantai.
Perjalanan dagang yang di nahkodai oleh Petta Mappa
merupakan perjalanan dagang yang banyak menyerap tenaga kerja sebab dapat di
pahami kala itu kondisi kehidupan masyarakat Batu Lotong pasca DII/TII memang
membuat kondisi ekonomi menjadi agak surut sebab ada ketakutan yang terjadi di
kalangan masyarakat. Dengan adanya perjalanan dagang ini terjadi penyerapan
tenaga kerja sebab ada dua kapal yang di gunakan dalam perjalanan tersebut,
kemudian barang dagangan di beli dari para petani sehingga membuat roda ekonomi
menjadi berjalan. Menurut informasi kapal dagang yang di pakai Petta Mappa
dalam pelayaran tersebut di dapatkan atau di beli dari Bira Kab. Bulukumba yang
sejak dulu telah terkenal sebagai bumi panrita lopi.
Yang menarik bahwa Petta Mappa dalam perjalanan dagangnya
tidaklah seperti perjalanan pelayaran modern seperti hari ini tetapi perjalanan
itu menggunakan sistem perbintangan dalam menentukan rute-rute yang di lewati
menuju Kalimantan. Setelah sampai di tempat tujuan maka barang dagangan
tersebut di pasarkan selama satu bulan, perdagangan yang beliau jalani
membuatnya bertemu dengan berbagai suku selama berada dalam perantauan. Menurut
cerita dari salah seorang keturunannya menyebutkan bahwa selama berada disana
pernah suatu waktu barang dagangannya yang berupa beras dibeli oleh suku Mandar
atau dalam dialek Bugis disebut dengan menre, karena perasaan sebagai orang
yang juga berasal dari Sulawesi maka Petta Mappa rela menjual berasnya walau
harus belakangan bayarannya baru di lunasi dengan perjanjian satu bulan
kemudian baru di lunasi. Kemudian perjalanannya harus dilanjutkan ke
pulau-pulau lain untuk di pasarkan barang dagangannya dalam prinsip pergangan
ala Petta Mappa bahwa meminjamkan barang dagangan kepada pembeli merupakan
bentuk rasa saling membantu sebab uang bukanlah soal tetapi hubungan
kemanusiaan haruslah menjadi perhitungan diatas segalanya.
Setelah semua barang dagangannya laku maka tiba saatnya
untuk pulang ke Batu Lotong tetapi sebelum pulang Petta Mappa singgah dulu
untuk menagih uang bayaran dari beras yang telah diutang oleh orang Mandar
tetapi setelah sampai bukannya disambut baik malah kekecewaan yang harus di
dapatnya sebab orang Mandar telah ingkar dari perjanjian awal maka Petta Mappa
pun marah sebab baginya menghianati janji menunjukan bahwa seseorang tersebut
tidaklah menghargai ataupun menepati kata-katanya, sebab baginya hanya dengan
menepati kata-katalah manusia akan disebut sebagai manusia. hal ini sejalan
dengan pandangan Bugis yang menyatakan sadda mappabati ada, ada mappabati gau,
gau mappanesa tau, sehingga manusia dalam pandangan Bugis kata-kata haruslah
mencerminkan perbuatan apabila lain kata dan perbuatan itu menunjukan ketidak
konsistenan seseorang.
Karena tidak menemui apa yang diharapkan sehingga puncak
kemarahan Petta Mappa berkeinginan untuk membakar kampung tempat orang Mandar
tersebut berada, salah seorang anak buah kapalnya menyatakan bahwa orang Mandar
terkenal sebagai orang yang memiliki baca-baca sehingga menurutnya jangan
sampai orang Mandar membuat Petta Mappa hanya menemui celaka tetapi menurut
Petta Mappa itu bukanlah soal tetapi janji harus ditepati buat apa berjanji
kalau tak mampu menepati. Baru ingin mendatangi kampung tersebut untuk menagih
kembali tetapi ada seseuatu yang menimpa Petta Mappa yang akhirnya membuatnya
tak sadarkan diri dan orang Mandar pun berkata makamkan saja dipinggir pantai,
apa yang menimpa Petta Mappa membuat para anak buah kapalnya menjadi panik dan
dibisiknya Petta Mappa untuk mengobati dirinya atas apa yang menimpanya
tersebut.
Setelah menenangkan diri dan perasaannya Petta Mappa
akhirnya dengan perlahan dapat pulih, kemudian kembali menagih orang Mandar
tersebut mungkin karena merasa telah kalah sebab ternyata baca-baca yang
dikirmkan untuk Petta Mappa
tidaklah mempan akhirnya dengan rela membayar beras yang telah diambilnya. Apa
yang terjadi tersebut membuat nama Petta Mappa terkenal di kampung tersebut
tetapi Petta Mappa mengatakan itu karena pertolongan tuhan terhadap dirinya.
Baginya dengan memegang prinsip dalam perbuatan manusia hal itu menunjukan
kualitas diri seseorang, hal ini berlandaskan nilai siri dalam implementasi
kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar