Jumat, 20 November 2015

PETTA MAPPA NAHKODA KAPAL DARI BATU LOTONG

PETTA MAPPA NAHKODA KAPAL DARI BATU LOTONG
            Bugis-Makassar sejak dulu kala telah terkenal sebagai pelaut ulung dan hal ini telah di buktikan dalam catatan sejarah, ada hal yang menarik untuk diperhatikan dalam perjalanan sejarah Bugis-Makassar sebagai penguasa laut yang mampu melintasi samudra. Secara filosofis orang Bugis-Makassar menganut pandangan siri yang merupakan identitas yang melekat dalam diri. Siri atau malu merupakan sistem nilai yang dianut sebab hanya sirilah manusia hidup, apabila manusia sudah kehilangan siri maka tidak ada lagi gunanya untuk hidup. Dalam konteks merantau di terapkan sebagai sebuah prinsip hidup bahwa selama berada dalam dunia rantau atau di kampung orang prinsip siri menjadi roda penggerak untuk menaklukan tanah rantau.
            Batu Lotong yang terletak di pinggiran sungai memang sangat strategis untuk melahirkan pelaut ulung, setelah mengalami fase-fase sulit dalam hidupnya pasca kekacauan yang terjadi di Sulawesi Selatan dan hal ini juga terjadi di Batu Lotong ada trauma pasca gerombolan DII/TII. Sehingga pada masa itu Petta Mappa akhirnya memutuskan untuk merantau dengan membawa barang dagangan seperti beras dan berbagai hasil panen untuk di pasarkan di Kalimantan yang menggunakan perahu. Bermodalkan tekad yang kuat akhirnya Petta Mappa mengarungi lautan untuk memasarkan hasil panen dan beberapa barang dagangan lainnya. Lautan yang luas di pandangnya sebagai hamparan harapan yang menanti walau ada badai tantangan yang menerjang tiap saat tetapi rasa siri membuatnya pantang kembali sebab dalam prinsip Bugis-Makassar lebih baik mengarungi lautan dari pada kembali ke pinggir pantai.
            Perjalanan dagang yang di nahkodai oleh Petta Mappa merupakan perjalanan dagang yang banyak menyerap tenaga kerja sebab dapat di pahami kala itu kondisi kehidupan masyarakat Batu Lotong pasca DII/TII memang membuat kondisi ekonomi menjadi agak surut sebab ada ketakutan yang terjadi di kalangan masyarakat. Dengan adanya perjalanan dagang ini terjadi penyerapan tenaga kerja sebab ada dua kapal yang di gunakan dalam perjalanan tersebut, kemudian barang dagangan di beli dari para petani sehingga membuat roda ekonomi menjadi berjalan. Menurut informasi kapal dagang yang di pakai Petta Mappa dalam pelayaran tersebut di dapatkan atau di beli dari Bira Kab. Bulukumba yang sejak dulu telah terkenal sebagai bumi panrita lopi.
            Yang menarik bahwa Petta Mappa dalam perjalanan dagangnya tidaklah seperti perjalanan pelayaran modern seperti hari ini tetapi perjalanan itu menggunakan sistem perbintangan dalam menentukan rute-rute yang di lewati menuju Kalimantan. Setelah sampai di tempat tujuan maka barang dagangan tersebut di pasarkan selama satu bulan, perdagangan yang beliau jalani membuatnya bertemu dengan berbagai suku selama berada dalam perantauan. Menurut cerita dari salah seorang keturunannya menyebutkan bahwa selama berada disana pernah suatu waktu barang dagangannya yang berupa beras dibeli oleh suku Mandar atau dalam dialek Bugis disebut dengan menre, karena perasaan sebagai orang yang juga berasal dari Sulawesi maka Petta Mappa rela menjual berasnya walau harus belakangan bayarannya baru di lunasi dengan perjanjian satu bulan kemudian baru di lunasi. Kemudian perjalanannya harus dilanjutkan ke pulau-pulau lain untuk di pasarkan barang dagangannya dalam prinsip pergangan ala Petta Mappa bahwa meminjamkan barang dagangan kepada pembeli merupakan bentuk rasa saling membantu sebab uang bukanlah soal tetapi hubungan kemanusiaan haruslah menjadi perhitungan diatas segalanya.
            Setelah semua barang dagangannya laku maka tiba saatnya untuk pulang ke Batu Lotong tetapi sebelum pulang Petta Mappa singgah dulu untuk menagih uang bayaran dari beras yang telah diutang oleh orang Mandar tetapi setelah sampai bukannya disambut baik malah kekecewaan yang harus di dapatnya sebab orang Mandar telah ingkar dari perjanjian awal maka Petta Mappa pun marah sebab baginya menghianati janji menunjukan bahwa seseorang tersebut tidaklah menghargai ataupun menepati kata-katanya, sebab baginya hanya dengan menepati kata-katalah manusia akan disebut sebagai manusia. hal ini sejalan dengan pandangan Bugis yang menyatakan sadda mappabati ada, ada mappabati gau, gau mappanesa tau, sehingga manusia dalam pandangan Bugis kata-kata haruslah mencerminkan perbuatan apabila lain kata dan perbuatan itu menunjukan ketidak konsistenan seseorang.
            Karena tidak menemui apa yang diharapkan sehingga puncak kemarahan Petta Mappa berkeinginan untuk membakar kampung tempat orang Mandar tersebut berada, salah seorang anak buah kapalnya menyatakan bahwa orang Mandar terkenal sebagai orang yang memiliki baca-baca sehingga menurutnya jangan sampai orang Mandar membuat Petta Mappa hanya menemui celaka tetapi menurut Petta Mappa itu bukanlah soal tetapi janji harus ditepati buat apa berjanji kalau tak mampu menepati. Baru ingin mendatangi kampung tersebut untuk menagih kembali tetapi ada seseuatu yang menimpa Petta Mappa yang akhirnya membuatnya tak sadarkan diri dan orang Mandar pun berkata makamkan saja dipinggir pantai, apa yang menimpa Petta Mappa membuat para anak buah kapalnya menjadi panik dan dibisiknya Petta Mappa untuk mengobati dirinya atas apa yang menimpanya tersebut.

            Setelah menenangkan diri dan perasaannya Petta Mappa akhirnya dengan perlahan dapat pulih, kemudian kembali menagih orang Mandar tersebut mungkin karena merasa telah kalah sebab ternyata baca-baca yang dikirmkan untuk Petta            Mappa tidaklah mempan akhirnya dengan rela membayar beras yang telah diambilnya. Apa yang terjadi tersebut membuat nama Petta Mappa terkenal di kampung tersebut tetapi Petta Mappa mengatakan itu karena pertolongan tuhan terhadap dirinya. Baginya dengan memegang prinsip dalam perbuatan manusia hal itu menunjukan kualitas diri seseorang, hal ini berlandaskan nilai siri dalam implementasi kehidupan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar