Kamis, 26 November 2015

masih adakah galau di 2015 ?

                                                MASIH ADAKAH GALAU DI 2015 ?
            Setelah menyelami kehidupan sepanjang tahun 2014 dengan gejolak batin yang silih berganti ibarat roda yang berputar kadang sedih kadang pula duka menyelimuti malam dan siang kehidupan manusia di bumi, bagi yang terselimuti duka di tahun 2014 pasti berpikir apakah tahun 2015 adalah tahun move on atau itu akan menjadi tahun kegalauan part II dalam hidupnya ataukah bagi mereka yang diselimuti rasa bahagia di tahun 2014 maka pengharapan episode kebahagian tentu menjadi dambaan di setiap hela nafasnya.
“Maaf, apakah adek mahasiswa ?”.
“Iya pak, saya mahasiswa”.
“Bisakah adek kami wawancarai ?”.
“Tentu bisa pak kenapa tidak”.
“Bagaimana harapan adek menyambut tahun 2015 ?”.
“Harapan saya sebagai seorang mahasiswa adalah pemerintah menurunkan harga BBM”.
“Kenapa harapan adek seperti itu ?, bukankah turunya harga BBM merupakan harapan setiap orang yang ada di republik ini”.
“Bagaimana saya harus memiliki harapan lain selain itu pak ?, sebagai seorang manusia tentu kita hidup berkelompok bagaimana saya harus mementingkan harapan pribadiku kalau ada orang lain di sekitarku malah menderita”.
“Jadi, apakah adek akan terus berjuang demi turunnya harga BBM ?”.
“Tentu pak”.
“Ok. Semoga harapan adek terwujud”.
            Setelah mewawancarai mahasiswa tersebut dia pun mencari orang lain untuk dia wawancarai, ketika melirik ke pojok taman maka dia melihat seorang pasangan kekasih yang lagi di mabuk kasmaran dan baginya tentu pasangan kasmaran ini menjadi sasaran berikutnya untuk dia wawancarai.
“Maaf  bisa saya meminta anda berdua untuk diwawancarai”.
“bisa-bisa”. Menyahut serentak maklum lagi kasmaran.
“Apakah anda berdua adalah pasangan kekasih ?”.
“Ia”.
“Mungkin saya wawancarai mas dulu deh. Apa harapan anda di tahun 2015 ?”.
“Yah, kalau saya ditanya soal harapan kedepannya di tahun 2015 pastilah saya berharap supaya cinta kami berdua semakin lancar”.
“Kalau mbak, apa harapannya di tahun 2015 ?”.
“Harapanku sama seperti dia tapi tidak serupa atau lebih tepatnya aku berharap dia makin sayang padaku”.
“Yah, lalu apa rencana anda berdua untuk mewujudkan harapan itu ?”.
“Nanti kami lihat kedepannya”. (Menjawab serentak”.
“Baik terima kasih atas waktunya”.
            Dengan wajah yang tegak melangkah menantang angin melawan badai angan yang kian menerpanya, hingga cacian dan stempel makian berlebel pada tubuh tipisnya serta panggilan mesra baginya bagi setiap orang yang mengenalnya dengan kata “gila”.
“Assalamualaikum, ibu anakmu sudah pulang”.
Dengan tenaga yang agak lesu dan daun pintu terbuka perlahan menyingkap istana sederhananya, dipandanginya sosok tubuh yang telah lama di rindukannya.
“Ibu aku pulang, pasti ibu rindu dan telah banyak kubawa pulang pengalaman wawancaraku, apakah ibu mau mendengarkan hasil wawancaraku ?”.
Tanpa disadari oleh ibunya air matanya pun berdesak-desakan tumpah membasahi pipinya dan secara tiba-tiba merangkul anaknya dengan sekejap meraih tubuh anaknya yang tipis seolah getaran rindu telah lama bermeditasi dalam jiwanya.
“Anakku sudahlah lupakan keinginanmu untuk jadi wartawan, sebab kau ini adalah orang gila mana ada stasiun TV yang mau menerimamu menjadi wartawan”.
Mendengarkan ucapan ibunya dia berlari meninggalkan rumah seolah tak menerima dirinya di cap orang gila, sambil menyandarkan kepalanya didinding ibunya merasa bahwa anaknya belum bisa menerima keadaannya yang terganggu jiwanya.
“Tuhan kenapa aku gila ?, lalu salahkah aku bila ingin jadi wartawan apakah hubungannya antara gila dengan wartawan ?, oh orang gila apa salahmu hingga dunia menolakmu”.
            Akhirnya dia memejamkan matanya sejenap sambil menghela nafasnya dalam-dalam dan ketika dia membuka matanya maka dilihatnya banyak orang meniup terompet serta petasan bertaburan diangkasa, hingga terdengar teriakan-teriakan yang saling bersahutan.
“Selamat tahun baru”.
“Akhirnya kita masuki tahun 2015”.
Matanya melotot memandang setiap orang yang lalu lalang di taman kota, tetapi seketika rasa takut menyelimuti jiwanya sewaktu melihat ada orang berbaju putih berkerumunan masuk taman kota. Karena dalam benaknya pasti orang berbaju putih itu adalah suster yang mencarinya. Akhirnya dia pun berlari kencang menuju pinggir taman yang agak sunyi sebab hanya ada beberapa orang dengan mobil bus yang terparkir dan setelah mendekat dilihatnya bahwa orang-orang yang berada di sekitar bus itu adalah wartawan, maka terbesit niatnya untuk mewawancarai wartawan tersebut.
“Maaf bapak dan ibu sekalian wartawan yah”.
“Ia, kami wartawan”.
“Bolehkah saya mewawancarai anda”.
“Anda ini wartawan juga yah”.
“Bukan”.
“Lalu, untuk apa anda mewawancarai kami ?”.
“Sebab saya yakin mewawancarai itu adalah hak semua orang, bedanya anda dengan saya adalah kalau anda mewawancarai orang itu karena tuntutan kerja dan sebaliknya kalau saya mewawancarai orang itu karena sebuah keinginan untuk mendengarkan suara-suara orang lain, sebab saya yakin setiap orang berbicara sesuai dengan kadar kebenaran yang ada pada dirinya”.
“Sungguh baru kali ini saya mendapatkan sebuah pemahaman baru tentang dunia yang selama ini kami geluti, jadi sekarang apakah anda mau mewawancarai kami secara live ?”.
            Tak pernah disangka olehnya bahwa dia akan mendapatkan kesempatan mewawancarai para wartawan secara life. Orang-orang disekitar rumah ibunya pun akhirnya memanggil ibunya untuk menyaksikannya mewawancara para wartawan secara life.
“Ibu, cepat kemari anak ibu Ilham masuk TV”.
“Ah, kamu jangan bercanda mana mungkin orang yang gangguan jiwa bisa mewawancarai para wartawan nda kebalik tuh”.
“Lihat dulu bu”.
Dengan tergesa-gesa ibunya pun menuju rumah tetangga untuk melihat apakah yang di katakan orang-orang itu benar atau tidak, alangkah terkejutnya saat dia melihat anaknya yang dianggap gila itu bisa mewawancarai para wartawan.
“Anak ibu hebat yah”.

Hanya linangan air mata yang menjadi jawabannya sebab anaknya telah mewujudkan mimpinya dan kini dia sadar apa makna sebuah harapan ?, anaknya yang dianggap gila telah mewujudkan harapannya dengan melakukan wawancara kepada siapa saja yang ditemuinya. Mungkin ini sebuah kritikan bagi kita semua bahwa disetiap tahun baru ada saja harapan yang ingin dicapai namun kita cenderung mengabaikan usaha untuk mewujudkan harapan itu, anda bisa saja dikatakan gila namun ketika harapan itu berhasil anda wujudkan maka saat itulah orang menghargai apa yang ada lakukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar