Pelacur Kampus
“Aku masih tak percaya
Ranti, kalau kampus kembali mengambil kebijakan yang begitu rumit dan bagaikan
mengurung kita dalam sangkar emas”.
“Sebetulnya apa yang
menjadi gejolak hatimu itu juga telah merasuki relung-relung jiwaku tapi sebagai
mahasiswa aku masih percaya kalau esok masih ada jalan yang indah, percayalah
Rahmat”.
“Bila aku bisa bercumpa
dengan tuhan, kan kuajukan sebuah pertanyaan mengapa aku di takdirkan menjadi
mahasiswa ?, jalan pikiranku mulai beradu dengan percikan-percikan kelabu yang
mulai menyelimuti harapanku untuk kuliah sebab kumerasa tak sanggup lagi
membayar SPP tahun depan”.
“Rahmat, kenapa kau
tiba-tiba berpikiran seperti itu ?, jangan pernah rasa tak berdaya merasuki
jiwamu sebab aku yakin masih ada jalan dan bukankah nilai IPK-mu tinggi ?,
sehinggi kau berhak untuk dapat beasiswa”.
“Ran, mungkin kau belum
terlalu tau kondisi geografis kampus kita yang masih berpikiran siapa dekat dia
dapat. Kita ini hanyalah mahasiswa dari kampung dengan niat untuk belajar tetapi
ketika kampus yang begitu kita impikan sejak awal tak seperti apa yang menjadi
realitanya, disini tak ada keadilan yang ada hanya keberpihakan termasuk soal
beasiswa memang syaratnya adalah nilai IPK yang tinggi tetapi itu tak
berpengaruh apa-apa bila kita tak punya pengurus yang bisa melobi supaya kita
dapat beasiswa”.
Ranti terdiam sembari menatap
bangunan-bangunan yang tak berdaya memasung harapan dengan kemegahannya yang
begitu di puja-puji di setiap sorotan pandangan, tetapi di balik tembok yang
megah itu terpenjara seribu harapan dengan baju dan kain usang yang mencoba di
tutupi dengan kemegahan dan embel-embel yang congkak padahal ia hanyalah
kenisbian belaka.
“Mat, aku punya cara
supaya tahun depan kau bisa bayar SPP”.
“Bagaimana caranya Ran
?”.
“kita melapor ke pihak
kampus dengan pertimbangan nilaimu yang tinggi supaya mereka bisa membantumu
membayar SPP”.
“Aku rasa itu tak
mungkin Ran, sebab pihak kampus hanya mau tau kita bayar SPP mereka tak ada
urusan soal kita bisa bayar atau tidak”.
Sungguh rumit memahami
kampus ini, sebab ia hanya menjadi bagian transaksi dagang dengan hitungan-hitungan
nominal materi, dengan sedih pohon-pohon di sekitar bangunan kampus
menggugurkan sejuta daunnya sembari di terbangkan oleh angin untuk mengantarkan
sepujuk surat harapan kepada birokrasi yang tertulis dengan tinta air mata
mahasiswa yang tak berdaya.
“Ran, aku pulang dulu
yah”.
“ok. Hati-hati Mat”.
Ketika sang surya mulai beranjak perlahan dan
bersembunyi di ufuk barat sembari melambai-lambai dengan seuntai cahaya yang
mulai perlahan menarik diri dari sela-sela sudut bumi, hingga meninggalkan
sejenak kisah kampus yang disorotnya sepanjang hari dengan senyum kecut dan
membakar pori-pori yang tak peka. Ranti pun berjalan bersama gandengan cahaya
yang mulai samar untuk kembali ke kostnya dengan setumpuk keluh-kesah yang dia
jalani sepanjang usia yang masih seumur jagung keberadaannya di kampus. Sebab
dia masih semester satu sehingga rasa keingin tahuannya soal kampus masih
bertaluh-taluh dalam tarian jiwanya.
“Ran, baru pulang yah”.
“Ia, Yanti”.
“Tadi ada cowok lho
yang nyari kamu”.
“Siapa yang nyari-nyari
?”
“Katanya dia temanmu,
orangnya putih seputih langsat bugis dan matanya tajam seperti durian jawa”.
“ngaco kamu, aku masuk
dulu yah”
“Ran, sebentar aku
boleh ke kamarmu yah”
“ok. Aku tunggu Yanti”.
Dengan cepat Ranti
masuk kamarnya, sebab hari telah benar-benar menghilang bersama jejak misteri
cowok yang mencarinya.
“Yan, Ranti cantik juga
yah”.
“aduh, kamu nih Rony
matanya ngga bisa dijaga, ingat lho pacar kamu udah banyak. Lagian tuh, Ranti
anaknya cantik dan yang terpenting dia cerdas nah kamu apa coba ???”.
“Wah, mesti aku tak
punya yang dia miliki tetapi ada satu yang aku miliki dia tidak miliki”.
“Apa tuh ?”.
“Cinta”
“Ngaco lhu, kirain apa”
Matahari benar-benar telah pergi dan malam
benar-benar datang bersama gelap yang mulai menyamarkan segalanya.
“Tok,tok,tok. Ran”.
“Yah, tunggu Yan”
Setelah terbuka daun
pintu kamarnya Ranti tersingkaplah wajah yang berserih dengan membelah gelapnya
malam dengan senyum rembulan yang perlahan menerangi kolom-kolom langit, dengan
nada selembut angin dia mempersilahkan Yanti masuk.
“Kamarmu begitu bersih,
Ran. Aku seperti melihat taman-taman kota dengan miniatur yang begitu
sederhana, tampaknya sentuhan seni dalam jiwamu begitu melimpah ruah Ran.”
“Ah, kamu ini terlalu
berlebihan memujinya”
“Ran, aku boleh curhat
ngga sama kamu”.
“Boleh, kenapa ngga
bisa ?”
“Tapi, kamu janji
jangan bocorkan kepada siapa-siapa yah. Sebab ini rahasia”.
“Brebes kok”.
“Aduh beres Ran. Bukan
brebes”.
“Yah, kamu mau cerita
apa”.
“Dua tiga bulan ini,
kiriman orang tua tak ada lagi sehingga perasaanku mulai kacau dan ditambah
lagi pacarku yang selama ini aku percaya malah selingkuh, yang parah lagi dia
pinjam uang tabunganku padahal itu untuk pembayaran SPP-ku tapi malah sampai
sekarang ngga dikembalikan uangku, pusing aku Ran apakah tahun depan bisa
kuliah atau tidak ?”.
“Yan, jangan berpikiran
pesimis kayak gitu dong, selama ini kamu yang nyemangatin aku supaya tetap
lanjut kuliah walau kamu tau kondisi ekonomi keluargaku tak mampu tetapi spirit
itu yang membuat kita menjadi bertahan”.
“Kamu bisa bantu aku
ngga, untuk bayar SPP-ku dan yang paling penting untuk beli beras soalnya stok
berasku tinggal sedikit, aku janji setelah ada kiriman dari orang tuaku pasti
kukembalikan kok”.
Tampa pikir panjang
Ranti mengambil dompetnya sembari menyodorkan uang pada Yanti, tergambar dari
wajahnya sebuah senyum ikhlas untuk membantu sesamanya yang mesti dia sendiri
tak yakin, apakah tahun depan masih bisa membayar SPP atau tidak ?. Tetapi,
rasa optimis itu tumbuh dari raut harapan dan impiannya yang telah terpatri
dalam dasar jiwanya.
“Terimah kasih banyak
Ran, aku janji setelah kiriman orang tuaku datang pasti aku ganti kok”.
Dengan senyum lepas
Ranti tenggelam bersama rasa bahagia yang telah berkecamuk dari raut Yanti yang
mulai lepas dari rantai-rantai gelisah yang mulai mengitarinya dan kini
terlepas dengan bantuan dari Ranti, tampak tarian bahagia mulai merasuki detak
jantung ke duanya.
Sang mentari seolah tak ingin berlama-lama
bersembunyi dari kejauhan sembari mengintip perlahan tarian bahagia Ranti dan
Yanti yang terselimuti gelap bersama angannya hingga terbawa ke alam tidurnya,
seolah ingin mendengar dan melihat sinar dari raut wajah ke duanya akhirnya
sang mentari mulai memunculkan senyum shintanya yang begitu memikat hingga rama
membalas dengan senyum bercahaya hingga terpantul keseluruh kolom langit tanah
simongulangun, Sumatra Barat. Tak ingin kalah dengan gejolak sang cahaya Ranti
pun bergegas mandi dan setelah itu bergegas-gegas menuju kampus sebab mata
kuliahnya di mulai jam 07.30. Ketika membuka daun pintu kamarnya seolah-olah
semua cahaya tertarik masuk hingga membuat mentari agak cemburu padanya, sebab
awan-awan asmara mulai menghalang-halangi sang mentari untuk menatapnya dengan
cepat-cepat Ranti mulai berjalan menuju kampus sebab hanya tersisa 10 menit
lagi kuliahnya akan segera di mulai, sungguh pandai sang mentari menarik cahaya
perlahan hingga jarum jam terpaksa di buat melamun sementara hingga Ranti masuk
ruangan tepat jam 07.30 maka kuliah pun dimulai.
“Selamat pagi mahasiswa
sekalian”.
“Pagi pak”, dijawab
serentak oleh para mahasiswa.
“Baik, pagi ini kita
akan memulai kembali rutinitas perkuliahan kita namun sebelum memulai lebih
jauh, karena mata kuliah kita tergolong mata kuliah yang sangat penting maka
diperlukan buku panduan supaya kita memulai mata kuliah ini sesuai yang
diharapkan. Ini bukan paksaan tetapi mengingat begitu pentingnya buku panduan
ini, maka saya berharap mahasiswa sekalian bisa membeli buku panduan ini dan
saya tidak paksakan untuk beli buku yang anda lihat ini tetapi kalau anda beli
di toko buku harganya jauh lebih mahal, sehingga sebaiknya anda beli saja stok
yang saya punya dengan harga yang terjangkau dibandingkan di toko buku harganya
mahal”.
“Maaf pak, harga
bukunya itu berapa ?”.
“Iya Ranti, harganya
ini hanya tiga ratus ribu saja kok tetapi anda juga harus lihat ini buku 678
halaman dan terbitan pustaka pelajar sehingga harganya sebanding dengan kualitasnya
kok”.
Dengan wajah yang padam
sunyi para mahasiswa akhirnya membeli buku tersebut, walau terasa berat bagi
para mahasiswa tetapi apa boleh buat ini telah menjadi anjuran dosen, karena
biar tidak terkesan memaksa tapi semua tugas dan bahan ajar dosen tersebut
semuanya terdapat pada buku tersebut.
“Baik, karena saudara
telah memiliki satu persatu buku tersebut maka langkah selanjutnya adalah
silahkan saudara baca bab pertama kemudian kritisi isinya dan ajukan
bantahannya. Ini semua di ketik dalam bentuk makalah dengan margin 3,3,4,4
dengn time new roman serta ukuran font 11. Baik saya kira itu untuk pertemuan
pertama dan semua tugasnya harus selesai satu hari sebelum kita masuk belajar,
jadi silahkan anda kirim lewat email dosenserakah@gemuk.coma.
OK sampai nanti”.
Lengkaplah sudah dunia
pendidikan kita yang serba materialistik dengan watak di luar nalar para pelaku
dunia pendidikan. Senyum yang tertanam dalam wajah Ranti mulai pudar oleh
ombak-ombak yang telah menghantam pilu dasar jiwanya, sebab dia seolah-olah tak
percaya dunia pendidikan seperti transaksi bisnis yang menguntungkan pihak
tertentu dan sembari menatap dalam-dalam isi dompetnya yang kini telah raip di
bawah ombak durjana.
“Hallo pak Teguh, apakah
uang pembayaran penelitian disertasi anda untuk menyelesaikan S3 sudah siap ?”.
“Ia pak, ini uangnya
sudah ada terkumpul tinggal mau saya transfer”.
“Ok. Pak Teguh transfer
lewat Bank BPD Simalungun (Bank Pemerasan Disertasi Simalungun)”.
“Ok terimah kasih
banyak pak”.
Awan tak mampu lagi
menampung uapan-uapan titik-titik air mata para mahasiswa yang merintih dalam
batinya hingga hujan pun turun menenangkan gejolak batinya, sembari meneror
para pengelola pendidikan dengan suara petir yang menggelegar. Dengan keadaan
lesu Ranti berjalan menuju kostnya dengan menentengi buku paling murah yang
pernah ada dalam sejarah pemerasan dunia pendidikan dan dalam perjalanannya
pulang dia bertemu Yanti.
“Ran, aku bener-bener
minta maaf mungkin uang yang aku pinjam belum bisa saya kembalikan secepatnya.
Karena orang tuaku gagal panen”.
Tampak Ranti menarik
nafas dalam-dalam sembari menatap Yanti dengan anggukan kepala, pertanda dia
tidak keberatan dengan keadaan itu. Setelah sampai di kostnya ternyata telah
ada Rahmat menunggu kedatangannya, sembari membuka pintu kostnya Ranti pun
mempersilahkan Rahmat untuk masuk.
“Ran, aku bener-bener
tak tau apa bisa aku perbuat sekarang ?,
sebab aku bener-bener kehabisan uang kamu bisa ngga minjamkan uangmu dan aku
janji pasti kubayar secepatnya, karena dosenku menyuruh untuk beli buku dengan
harga tiga ratus ribu rupiah bisa ngga”.
“Apakah kamu butuh uang
itu sekarang ?, sebab aku juga baru saja beli buku dengan harga tiga ratus ribu
rupiah dan ada juga temanku yang meminjam uangku”.
“Yah, aku butuh uang
itu dua atau tiga hari lagi Ran”.
“Baik, nanti aku
usahain deh”.
“Makasih yah Ran”.
Setelah Rahmat pulang dari kostnya Ranti pun
membaringkan kepalanya di bantal untuk melepas lelahnya, sembari menatap
dompetnya yang kosong hingga dia terbawa ke alam tidurnya.
“Tok,tok,tok”.
Ranti pun terbangun dan
bergegas membuka daun pintu kostnya dan ternyata orang tersebut adalah ibu
kostnya, taulah kini apa maksud kedatangannya oleh Ranti.
“Dek, Ranti tolong dua
atau tiga hari lagi uang kostnya harus di bayar kalau tidak, maaf kalau ibu
harus mengeluarkan barang-barangmu”.
Tanpa jawaban Ranti
kembali memberi anggukan kepala, seolah-olah beban berat telah mengisi
kepalanya. Ranti pun terpikir bahwa
temannya Rahmat juga butuh uang dan ternyata ibu kostnya juga telah datang
menagih uang kost, kini perasaannya kembali berkecamuk tak karuan dan terlintas
dibenaknya untuk mengadukan masalah ini kepada pihak kampus untuk minta
bantuan, karena menurut cerita temannya bagian kemahasiswaan kampusnya terkenal
sangat dermawan dalam menolong persoalan mahasiswa. Esoknya pun pagi-pagi saat
ke kampus Ranti menuju ke ruangan kemahasiswaan untuk mengadukan persoalan yang
tengah di hadapi oleh para mahasiswa, setelah dipersilahkan masuk Ranti pun
akhirnya diberi kesempatan untuk menemui kepala bidang kemahasiswaan kampus.
“Silahkan duduk dek”
“Ia, terimah kasih
pak”.
“Mungkin ada yang bisa
kami bantu dari persoalan atau unek-unek maupun keluhan adek tentang kampus
kita”.
“yah, mungkin ini bisa
dikatakan unek-unek segaligus kalau bisa bapak memberikan kami bantuan”.
“Kalau boleh tau apa
unek-uneknya dek ?, dan saya janji kalau kampus tidak bisa membantu maka secara
pribadi mungkin bisa kita atur”.
“Terimah kasih
sebelumnya bapak telah bersedia untuk membantu kami, keluhan saya dan
teman-teman itu soal dosen yang menjual buku dengan harga yang sangat tidak
bersahabat dan bukan cuman itu masalah SPP yang selalu naik per tahun membuat
banyak mahasiswa yang terancam berhenti karena tersandung soal biaya dan yang
paling parah ini soal beasiswa pak, sebab ada temanku yang tinggi nilai IPK-nya
tetapi tidak dapat beasiswa malah yang dibawahnya dapat. Bukan cuman itu pak
saya juga secara pribadi punya masalah temanku meminjam uang dan tidak bisa
membayar secepatnya kemudian ibu kostku menagih uang pembayar serta temanku
juga ada yang mau pinjam uang untuk membeli buku. Saya berharap bapak bisa
membantu kami”.
“Persoalan buku itu dek
adalah urusan setiap dosen, kami pihak kemahasiswaan tidak punya urusan soal
itu tetapi secara pribadi saya bisa bantu dan untuk membicarakan itu nanti kita
ketemu di luar kampus”.
“Terimah kasih pak,
tapi nanti kita ketemunya dimana pak ?”.
“Kamu tau restoran
diujung persimpangan jalan Sisingamangaraja”
“Tau pak”.
“Ok. Nanti jam 02.30
adek kesana kita bicarakan itu disana tetapi jangan lupa kalau sudah ada disana
melapor ke kasirnya supaya ditunjukkan tempatnya dimana saya menunggu. Dan
ingat katakan saya mau menemui bapak Natsir Siholan”.
Setelah itu Ranti pun bergegas keluar
meninggalkan ruangan kemahasiswaan dan berjalan menuju ke kostnya, memang hari
itu sengaja untuk datang ke kampus hanya untuk mengadukan persoalannya kepada
pihak kemahasiswaan kampus dan harapan besar itu kembali tumbuh dalam dasar
jiwanya sebab walaupun pihak kampus tidak bisa membantu namun secara pribadi
bapak Natsir Siholan mau membantunya. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat
sehingga Ranti harus pergi secepatnya ke tempat yang telah dijanjikan oleh
bapak Natsir Siholan dan setelah melapor ke pihak kasir untuk diantarkan menuju
tempat dimana bapak Natsir Siholan menunggunya.
“Maaf pak, kalau
membuat lama menunggu”.
Segaligus rasa gugup
menghampiri jiwanya sebab dalam ruangan itu hanya Ranti dan bapak Natsir
Siholan saja, tampaknya ruangan itu sengaja dipesan khusus oleh bapak Natsir
Siholan untuk membahas apa yang telah dibicarakan berdua di kampus.
“Yah, saya juga baru
datang kok dek. Kenapa terlalu jauh disana ?. Adek tak usah takut dan soal
pembicaraan kita tadi yang sempat terpotong, ini saya siapkan uang sekitar tiga
juta untuk adek dan teman-teman adek yang lain, tetapi ada syaratnya”.
“Maaf pak, apa
syaratnya ?. Apapun syaratnya pasti akan saya penuhi pak”.
Sembari menatap
wajahnya yang begitu anggun dan mempesona bapak Natsir Siholan akhirnya meraih
tangan Ranti sembari mengecupnya dengan mesra, nyatalah kini bagi Ranti apa
syarat yang diajukan oleh bapak Natsir Siholan padanya untuk membantunya ?,
dalam pandangannya Ranti terbayang Rahmat yang telah dia janjikan uang untuk
membeli buku bukan itu saja ada bayang-bayang ibu kostnya yang menagihnya uang
pembayaran dan terlebih dari itu semua terbayang pula isi dompetnya yang telah
kosong, sehingga syarat bapak Natsir Siholan sebelum memberinya uang tiga juta
begitu menggiurkannya dan tampa pikir panjang dengan anggukan kepala dia
menyetujui itu semua. Apa yang dilakukannya dengan bapak Natsir Siholan di
tempat tersebut adalah sebuah pertarungan untuk melanjutkan hidup bukan karena
hasrat keinginan pribadi tetapi berangkat dari alam pikiran untuk membantu
sesamanya mahasiswa walaupun sore itu menjadi sore yang terkutuk dalam
perjalanan hidup Ranti.
Keesokan harinya Ranti pun menemui Rahmat
sembari membawakan uang tiga ratus ribu untuk membeli buku.
“Mat, ini uang yang
kemarin saya janjikan”.
“Aduh, maaf yah aku janji
pasti akan bayar apabila sudah ada kiriman dari orang tuaku di kampung”.
“Ia, semoga itu dapat
bermanfaat”.
Setelah itu Ranti pun
mengikuti perkuliahan hingga jam 05.00 sore dan setelah sampai di kostnya telah
menunggu ibu kostnya untuk menagih uang pembayarannya, sehingga dengan cepat
Ranti masuk untuk mengambilkan uang pembayaran. Tak lama setelah berselang ibu
kostnya pergi maka Yanti pun datang menemuinya dengan raut yang lusuh.
“Ran, aku masih boleh
pinjam uangmu ngga tapi maaf saya telah merepotkanmu”.
“Barapa uang yang kamu
mau pinjam Yan ?, kalau aku bisa pasti kubantu kok”.
“Mungkin agak banyak
Ran, sekitar tiga jutaan karena saya mau study tour sedangkan uang kirimanku
baru datang bulan depan”.
“Kapan kamu mau
mengambil uangnya Yan ?”.
“Kalau bisa besok
malam, itu pun kalau kamu ngga keberatan”.
“Ok.”.
Besoknya Ranti kembali menemui bapak Natsir
Siholan dan menceritakan apa maksud tujuannya menemuinya serta seperti biasanya
pembicaraan pun di lanjutkan ditempat biasa dengan melakukan hal yang sama
menyatukan cinta dengan latar yang dipaksakan demi mewujudkan kebetuhan hidup
serta membantu temannya. Akhirnya malam pun tiba dan sesuai dengan janjinya
Ranti akan memberikan uang tiga juta kepada Yanti, setelah datang tampa bicara
panjang Ranti pun menyodorkan uang yang telah dijanjikannya kepada Yanti.
“Ran, saya tak tau mau
membalas dengan cara apa kebaikanmu padaku”.
“Aduh Yan, mungkin hari
ini aku yang bantu kamu tapi suatu hari nanti pasti aku juga butuh bantuanmu”.
Keduanya pun saling
berpelukan sehingga terpancar wajah bahagia dari Yanti sebab sahabatnya Ranti
selalu ada bersedia membantunya, tetapi dibalik semua itu Ranti meneteskan air
mata terbayanglah sudah apa yang telah dia perbuat sembari menatap
langit-langit kamarnya dan bertanya dalam hatinya, “Ya, tuhan apakah dosaku
akan kau ampuni ?, maafkanlah aku sebab kumelakukannya ini dengan keadaan
terpaksa. Ya, tuhan apakah nasib yang menimpaku masih akan dialami oleh
generasi-generasi yang akan datang ?, lalu sampai kapan ini berakhir tuhan ?.
Tuhan aku hanya ingin menuntut pengetahuan bukan jadi pelacur”. Air matanya pun
membasahi wajahnya yang berseri dengan mata yang berkaca-kaca sembari memeluk
erat Yanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar