Kamis, 26 November 2015

pelacur kampus

Pelacur  Kampus
“Aku masih tak percaya Ranti, kalau kampus kembali mengambil kebijakan yang begitu rumit dan bagaikan mengurung kita dalam sangkar emas”.
“Sebetulnya apa yang menjadi gejolak hatimu itu juga telah merasuki relung-relung jiwaku tapi sebagai mahasiswa aku masih percaya kalau esok masih ada jalan yang indah, percayalah Rahmat”.
“Bila aku bisa bercumpa dengan tuhan, kan kuajukan sebuah pertanyaan mengapa aku di takdirkan menjadi mahasiswa ?, jalan pikiranku mulai beradu dengan percikan-percikan kelabu yang mulai menyelimuti harapanku untuk kuliah sebab kumerasa tak sanggup lagi membayar SPP tahun depan”.
“Rahmat, kenapa kau tiba-tiba berpikiran seperti itu ?, jangan pernah rasa tak berdaya merasuki jiwamu sebab aku yakin masih ada jalan dan bukankah nilai IPK-mu tinggi ?, sehinggi kau berhak untuk dapat beasiswa”.
“Ran, mungkin kau belum terlalu tau kondisi geografis kampus kita yang masih berpikiran siapa dekat dia dapat. Kita ini hanyalah mahasiswa dari kampung dengan niat untuk belajar tetapi ketika kampus yang begitu kita impikan sejak awal tak seperti apa yang menjadi realitanya, disini tak ada keadilan yang ada hanya keberpihakan termasuk soal beasiswa memang syaratnya adalah nilai IPK yang tinggi tetapi itu tak berpengaruh apa-apa bila kita tak punya pengurus yang bisa melobi supaya kita dapat beasiswa”.
                        Ranti terdiam sembari menatap bangunan-bangunan yang tak berdaya memasung harapan dengan kemegahannya yang begitu di puja-puji di setiap sorotan pandangan, tetapi di balik tembok yang megah itu terpenjara seribu harapan dengan baju dan kain usang yang mencoba di tutupi dengan kemegahan dan embel-embel yang congkak padahal ia hanyalah kenisbian belaka.
“Mat, aku punya cara supaya tahun depan kau bisa bayar SPP”.
“Bagaimana caranya Ran ?”.
“kita melapor ke pihak kampus dengan pertimbangan nilaimu yang tinggi supaya mereka bisa membantumu membayar SPP”.
“Aku rasa itu tak mungkin Ran, sebab pihak kampus hanya mau tau kita bayar SPP mereka tak ada urusan soal kita bisa bayar atau tidak”.
Sungguh rumit memahami kampus ini, sebab ia hanya menjadi bagian transaksi dagang dengan hitungan-hitungan nominal materi, dengan sedih pohon-pohon di sekitar bangunan kampus menggugurkan sejuta daunnya sembari di terbangkan oleh angin untuk mengantarkan sepujuk surat harapan kepada birokrasi yang tertulis dengan tinta air mata mahasiswa yang tak berdaya.
“Ran, aku pulang dulu yah”.
“ok. Hati-hati Mat”.
                        Ketika sang surya mulai beranjak perlahan dan bersembunyi di ufuk barat sembari melambai-lambai dengan seuntai cahaya yang mulai perlahan menarik diri dari sela-sela sudut bumi, hingga meninggalkan sejenak kisah kampus yang disorotnya sepanjang hari dengan senyum kecut dan membakar pori-pori yang tak peka. Ranti pun berjalan bersama gandengan cahaya yang mulai samar untuk kembali ke kostnya dengan setumpuk keluh-kesah yang dia jalani sepanjang usia yang masih seumur jagung keberadaannya di kampus. Sebab dia masih semester satu sehingga rasa keingin tahuannya soal kampus masih bertaluh-taluh dalam tarian jiwanya.
“Ran, baru pulang yah”.
“Ia, Yanti”.
“Tadi ada cowok lho yang nyari kamu”.
“Siapa yang nyari-nyari ?”
“Katanya dia temanmu, orangnya putih seputih langsat bugis dan matanya tajam seperti durian jawa”.
“ngaco kamu, aku masuk dulu yah”
“Ran, sebentar aku boleh ke kamarmu yah”
“ok. Aku tunggu Yanti”.
Dengan cepat Ranti masuk kamarnya, sebab hari telah benar-benar menghilang bersama jejak misteri cowok yang mencarinya.
“Yan, Ranti cantik juga yah”.
“aduh, kamu nih Rony matanya ngga bisa dijaga, ingat lho pacar kamu udah banyak. Lagian tuh, Ranti anaknya cantik dan yang terpenting dia cerdas nah kamu apa coba ???”.
“Wah, mesti aku tak punya yang dia miliki tetapi ada satu yang aku miliki dia tidak miliki”.
“Apa tuh ?”.
“Cinta”
“Ngaco lhu, kirain apa”
                        Matahari benar-benar telah pergi dan malam benar-benar datang bersama gelap yang mulai menyamarkan segalanya.
“Tok,tok,tok. Ran”.
“Yah, tunggu Yan”
Setelah terbuka daun pintu kamarnya Ranti tersingkaplah wajah yang berserih dengan membelah gelapnya malam dengan senyum rembulan yang perlahan menerangi kolom-kolom langit, dengan nada selembut angin dia mempersilahkan Yanti masuk.
“Kamarmu begitu bersih, Ran. Aku seperti melihat taman-taman kota dengan miniatur yang begitu sederhana, tampaknya sentuhan seni dalam jiwamu begitu melimpah ruah Ran.”
“Ah, kamu ini terlalu berlebihan memujinya”
“Ran, aku boleh curhat ngga sama kamu”.
“Boleh, kenapa ngga bisa ?”
“Tapi, kamu janji jangan bocorkan kepada siapa-siapa yah. Sebab ini rahasia”.
“Brebes kok”.
“Aduh beres Ran. Bukan brebes”.
“Yah, kamu mau cerita apa”.
“Dua tiga bulan ini, kiriman orang tua tak ada lagi sehingga perasaanku mulai kacau dan ditambah lagi pacarku yang selama ini aku percaya malah selingkuh, yang parah lagi dia pinjam uang tabunganku padahal itu untuk pembayaran SPP-ku tapi malah sampai sekarang ngga dikembalikan uangku, pusing aku Ran apakah tahun depan bisa kuliah atau tidak ?”.
“Yan, jangan berpikiran pesimis kayak gitu dong, selama ini kamu yang nyemangatin aku supaya tetap lanjut kuliah walau kamu tau kondisi ekonomi keluargaku tak mampu tetapi spirit itu yang membuat kita menjadi bertahan”.
“Kamu bisa bantu aku ngga, untuk bayar SPP-ku dan yang paling penting untuk beli beras soalnya stok berasku tinggal sedikit, aku janji setelah ada kiriman dari orang tuaku pasti kukembalikan kok”.
Tampa pikir panjang Ranti mengambil dompetnya sembari menyodorkan uang pada Yanti, tergambar dari wajahnya sebuah senyum ikhlas untuk membantu sesamanya yang mesti dia sendiri tak yakin, apakah tahun depan masih bisa membayar SPP atau tidak ?. Tetapi, rasa optimis itu tumbuh dari raut harapan dan impiannya yang telah terpatri dalam dasar jiwanya.
“Terimah kasih banyak Ran, aku janji setelah kiriman orang tuaku datang pasti aku ganti kok”.
Dengan senyum lepas Ranti tenggelam bersama rasa bahagia yang telah berkecamuk dari raut Yanti yang mulai lepas dari rantai-rantai gelisah yang mulai mengitarinya dan kini terlepas dengan bantuan dari Ranti, tampak tarian bahagia mulai merasuki detak jantung ke duanya.
                        Sang mentari seolah tak ingin berlama-lama bersembunyi dari kejauhan sembari mengintip perlahan tarian bahagia Ranti dan Yanti yang terselimuti gelap bersama angannya hingga terbawa ke alam tidurnya, seolah ingin mendengar dan melihat sinar dari raut wajah ke duanya akhirnya sang mentari mulai memunculkan senyum shintanya yang begitu memikat hingga rama membalas dengan senyum bercahaya hingga terpantul keseluruh kolom langit tanah simongulangun, Sumatra Barat. Tak ingin kalah dengan gejolak sang cahaya Ranti pun bergegas mandi dan setelah itu bergegas-gegas menuju kampus sebab mata kuliahnya di mulai jam 07.30. Ketika membuka daun pintu kamarnya seolah-olah semua cahaya tertarik masuk hingga membuat mentari agak cemburu padanya, sebab awan-awan asmara mulai menghalang-halangi sang mentari untuk menatapnya dengan cepat-cepat Ranti mulai berjalan menuju kampus sebab hanya tersisa 10 menit lagi kuliahnya akan segera di mulai, sungguh pandai sang mentari menarik cahaya perlahan hingga jarum jam terpaksa di buat melamun sementara hingga Ranti masuk ruangan tepat jam 07.30 maka kuliah pun dimulai.
“Selamat pagi mahasiswa sekalian”.
“Pagi pak”, dijawab serentak oleh para mahasiswa.
“Baik, pagi ini kita akan memulai kembali rutinitas perkuliahan kita namun sebelum memulai lebih jauh, karena mata kuliah kita tergolong mata kuliah yang sangat penting maka diperlukan buku panduan supaya kita memulai mata kuliah ini sesuai yang diharapkan. Ini bukan paksaan tetapi mengingat begitu pentingnya buku panduan ini, maka saya berharap mahasiswa sekalian bisa membeli buku panduan ini dan saya tidak paksakan untuk beli buku yang anda lihat ini tetapi kalau anda beli di toko buku harganya jauh lebih mahal, sehingga sebaiknya anda beli saja stok yang saya punya dengan harga yang terjangkau dibandingkan di toko buku harganya mahal”.
“Maaf pak, harga bukunya itu berapa ?”.
“Iya Ranti, harganya ini hanya tiga ratus ribu saja kok tetapi anda juga harus lihat ini buku 678 halaman dan terbitan pustaka pelajar sehingga harganya sebanding dengan kualitasnya kok”.
Dengan wajah yang padam sunyi para mahasiswa akhirnya membeli buku tersebut, walau terasa berat bagi para mahasiswa tetapi apa boleh buat ini telah menjadi anjuran dosen, karena biar tidak terkesan memaksa tapi semua tugas dan bahan ajar dosen tersebut semuanya terdapat pada buku tersebut.
“Baik, karena saudara telah memiliki satu persatu buku tersebut maka langkah selanjutnya adalah silahkan saudara baca bab pertama kemudian kritisi isinya dan ajukan bantahannya. Ini semua di ketik dalam bentuk makalah dengan margin 3,3,4,4 dengn time new roman serta ukuran font 11. Baik saya kira itu untuk pertemuan pertama dan semua tugasnya harus selesai satu hari sebelum kita masuk belajar, jadi silahkan anda kirim lewat email dosenserakah@gemuk.coma. OK sampai nanti”.
Lengkaplah sudah dunia pendidikan kita yang serba materialistik dengan watak di luar nalar para pelaku dunia pendidikan. Senyum yang tertanam dalam wajah Ranti mulai pudar oleh ombak-ombak yang telah menghantam pilu dasar jiwanya, sebab dia seolah-olah tak percaya dunia pendidikan seperti transaksi bisnis yang menguntungkan pihak tertentu dan sembari menatap dalam-dalam isi dompetnya yang kini telah raip di bawah ombak durjana.
“Hallo pak Teguh, apakah uang pembayaran penelitian disertasi anda untuk menyelesaikan S3 sudah siap ?”.
“Ia pak, ini uangnya sudah ada terkumpul tinggal mau saya transfer”.
“Ok. Pak Teguh transfer lewat Bank BPD Simalungun (Bank Pemerasan Disertasi Simalungun)”.
“Ok terimah kasih banyak pak”.
Awan tak mampu lagi menampung uapan-uapan titik-titik air mata para mahasiswa yang merintih dalam batinya hingga hujan pun turun menenangkan gejolak batinya, sembari meneror para pengelola pendidikan dengan suara petir yang menggelegar. Dengan keadaan lesu Ranti berjalan menuju kostnya dengan menentengi buku paling murah yang pernah ada dalam sejarah pemerasan dunia pendidikan dan dalam perjalanannya pulang dia bertemu Yanti.
“Ran, aku bener-bener minta maaf mungkin uang yang aku pinjam belum bisa saya kembalikan secepatnya. Karena orang tuaku gagal panen”.
Tampak Ranti menarik nafas dalam-dalam sembari menatap Yanti dengan anggukan kepala, pertanda dia tidak keberatan dengan keadaan itu. Setelah sampai di kostnya ternyata telah ada Rahmat menunggu kedatangannya, sembari membuka pintu kostnya Ranti pun mempersilahkan Rahmat untuk masuk.
“Ran, aku bener-bener tak tau apa bisa aku perbuat sekarang  ?, sebab aku bener-bener kehabisan uang kamu bisa ngga minjamkan uangmu dan aku janji pasti kubayar secepatnya, karena dosenku menyuruh untuk beli buku dengan harga tiga ratus ribu rupiah bisa ngga”.
“Apakah kamu butuh uang itu sekarang ?, sebab aku juga baru saja beli buku dengan harga tiga ratus ribu rupiah dan ada juga temanku yang meminjam uangku”.
“Yah, aku butuh uang itu dua atau tiga hari lagi Ran”.
“Baik, nanti aku usahain deh”.
“Makasih yah Ran”.
                        Setelah Rahmat pulang dari kostnya Ranti pun membaringkan kepalanya di bantal untuk melepas lelahnya, sembari menatap dompetnya yang kosong hingga dia terbawa ke alam tidurnya.
“Tok,tok,tok”.
Ranti pun terbangun dan bergegas membuka daun pintu kostnya dan ternyata orang tersebut adalah ibu kostnya, taulah kini apa maksud kedatangannya oleh Ranti.
“Dek, Ranti tolong dua atau tiga hari lagi uang kostnya harus di bayar kalau tidak, maaf kalau ibu harus mengeluarkan barang-barangmu”.
Tanpa jawaban Ranti kembali memberi anggukan kepala, seolah-olah beban berat telah mengisi kepalanya. Ranti  pun terpikir bahwa temannya Rahmat juga butuh uang dan ternyata ibu kostnya juga telah datang menagih uang kost, kini perasaannya kembali berkecamuk tak karuan dan terlintas dibenaknya untuk mengadukan masalah ini kepada pihak kampus untuk minta bantuan, karena menurut cerita temannya bagian kemahasiswaan kampusnya terkenal sangat dermawan dalam menolong persoalan mahasiswa. Esoknya pun pagi-pagi saat ke kampus Ranti menuju ke ruangan kemahasiswaan untuk mengadukan persoalan yang tengah di hadapi oleh para mahasiswa, setelah dipersilahkan masuk Ranti pun akhirnya diberi kesempatan untuk menemui kepala bidang kemahasiswaan kampus.
“Silahkan duduk dek”
“Ia, terimah kasih pak”.
“Mungkin ada yang bisa kami bantu dari persoalan atau unek-unek maupun keluhan adek tentang kampus kita”.
“yah, mungkin ini bisa dikatakan unek-unek segaligus kalau bisa bapak memberikan kami bantuan”.
“Kalau boleh tau apa unek-uneknya dek ?, dan saya janji kalau kampus tidak bisa membantu maka secara pribadi mungkin bisa kita atur”.
“Terimah kasih sebelumnya bapak telah bersedia untuk membantu kami, keluhan saya dan teman-teman itu soal dosen yang menjual buku dengan harga yang sangat tidak bersahabat dan bukan cuman itu masalah SPP yang selalu naik per tahun membuat banyak mahasiswa yang terancam berhenti karena tersandung soal biaya dan yang paling parah ini soal beasiswa pak, sebab ada temanku yang tinggi nilai IPK-nya tetapi tidak dapat beasiswa malah yang dibawahnya dapat. Bukan cuman itu pak saya juga secara pribadi punya masalah temanku meminjam uang dan tidak bisa membayar secepatnya kemudian ibu kostku menagih uang pembayar serta temanku juga ada yang mau pinjam uang untuk membeli buku. Saya berharap bapak bisa membantu kami”.
“Persoalan buku itu dek adalah urusan setiap dosen, kami pihak kemahasiswaan tidak punya urusan soal itu tetapi secara pribadi saya bisa bantu dan untuk membicarakan itu nanti kita ketemu di luar kampus”.
“Terimah kasih pak, tapi nanti kita ketemunya dimana pak ?”.
“Kamu tau restoran diujung persimpangan jalan Sisingamangaraja”
“Tau pak”.
“Ok. Nanti jam 02.30 adek kesana kita bicarakan itu disana tetapi jangan lupa kalau sudah ada disana melapor ke kasirnya supaya ditunjukkan tempatnya dimana saya menunggu. Dan ingat katakan saya mau menemui bapak Natsir Siholan”.
                        Setelah itu Ranti pun bergegas keluar meninggalkan ruangan kemahasiswaan dan berjalan menuju ke kostnya, memang hari itu sengaja untuk datang ke kampus hanya untuk mengadukan persoalannya kepada pihak kemahasiswaan kampus dan harapan besar itu kembali tumbuh dalam dasar jiwanya sebab walaupun pihak kampus tidak bisa membantu namun secara pribadi bapak Natsir Siholan mau membantunya. Tak terasa waktu bergulir begitu cepat sehingga Ranti harus pergi secepatnya ke tempat yang telah dijanjikan oleh bapak Natsir Siholan dan setelah melapor ke pihak kasir untuk diantarkan menuju tempat dimana bapak Natsir Siholan menunggunya.
“Maaf pak, kalau membuat lama menunggu”.
Segaligus rasa gugup menghampiri jiwanya sebab dalam ruangan itu hanya Ranti dan bapak Natsir Siholan saja, tampaknya ruangan itu sengaja dipesan khusus oleh bapak Natsir Siholan untuk membahas apa yang telah dibicarakan berdua di kampus.
“Yah, saya juga baru datang kok dek. Kenapa terlalu jauh disana ?. Adek tak usah takut dan soal pembicaraan kita tadi yang sempat terpotong, ini saya siapkan uang sekitar tiga juta untuk adek dan teman-teman adek yang lain, tetapi ada syaratnya”.
“Maaf pak, apa syaratnya ?. Apapun syaratnya pasti akan saya penuhi pak”.
Sembari menatap wajahnya yang begitu anggun dan mempesona bapak Natsir Siholan akhirnya meraih tangan Ranti sembari mengecupnya dengan mesra, nyatalah kini bagi Ranti apa syarat yang diajukan oleh bapak Natsir Siholan padanya untuk membantunya ?, dalam pandangannya Ranti terbayang Rahmat yang telah dia janjikan uang untuk membeli buku bukan itu saja ada bayang-bayang ibu kostnya yang menagihnya uang pembayaran dan terlebih dari itu semua terbayang pula isi dompetnya yang telah kosong, sehingga syarat bapak Natsir Siholan sebelum memberinya uang tiga juta begitu menggiurkannya dan tampa pikir panjang dengan anggukan kepala dia menyetujui itu semua. Apa yang dilakukannya dengan bapak Natsir Siholan di tempat tersebut adalah sebuah pertarungan untuk melanjutkan hidup bukan karena hasrat keinginan pribadi tetapi berangkat dari alam pikiran untuk membantu sesamanya mahasiswa walaupun sore itu menjadi sore yang terkutuk dalam perjalanan hidup Ranti.
                        Keesokan harinya Ranti pun menemui Rahmat sembari membawakan uang tiga ratus ribu untuk membeli buku.
“Mat, ini uang yang kemarin saya janjikan”.
“Aduh, maaf yah aku janji pasti akan bayar apabila sudah ada kiriman dari orang tuaku di kampung”.
“Ia, semoga itu dapat bermanfaat”.
Setelah itu Ranti pun mengikuti perkuliahan hingga jam 05.00 sore dan setelah sampai di kostnya telah menunggu ibu kostnya untuk menagih uang pembayarannya, sehingga dengan cepat Ranti masuk untuk mengambilkan uang pembayaran. Tak lama setelah berselang ibu kostnya pergi maka Yanti pun datang menemuinya dengan raut yang lusuh.
“Ran, aku masih boleh pinjam uangmu ngga tapi maaf saya telah merepotkanmu”.
“Barapa uang yang kamu mau pinjam Yan ?, kalau aku bisa pasti kubantu kok”.
“Mungkin agak banyak Ran, sekitar tiga jutaan karena saya mau study tour sedangkan uang kirimanku baru datang bulan depan”.
“Kapan kamu mau mengambil uangnya Yan ?”.
“Kalau bisa besok malam, itu pun kalau kamu ngga keberatan”.
“Ok.”.
                        Besoknya Ranti kembali menemui bapak Natsir Siholan dan menceritakan apa maksud tujuannya menemuinya serta seperti biasanya pembicaraan pun di lanjutkan ditempat biasa dengan melakukan hal yang sama menyatukan cinta dengan latar yang dipaksakan demi mewujudkan kebetuhan hidup serta membantu temannya. Akhirnya malam pun tiba dan sesuai dengan janjinya Ranti akan memberikan uang tiga juta kepada Yanti, setelah datang tampa bicara panjang Ranti pun menyodorkan uang yang telah dijanjikannya kepada Yanti.
“Ran, saya tak tau mau membalas dengan cara apa kebaikanmu padaku”.
“Aduh Yan, mungkin hari ini aku yang bantu kamu tapi suatu hari nanti pasti aku juga butuh bantuanmu”.
Keduanya pun saling berpelukan sehingga terpancar wajah bahagia dari Yanti sebab sahabatnya Ranti selalu ada bersedia membantunya, tetapi dibalik semua itu Ranti meneteskan air mata terbayanglah sudah apa yang telah dia perbuat sembari menatap langit-langit kamarnya dan bertanya dalam hatinya, “Ya, tuhan apakah dosaku akan kau ampuni ?, maafkanlah aku sebab kumelakukannya ini dengan keadaan terpaksa. Ya, tuhan apakah nasib yang menimpaku masih akan dialami oleh generasi-generasi yang akan datang ?, lalu sampai kapan ini berakhir tuhan ?. Tuhan aku hanya ingin menuntut pengetahuan bukan jadi pelacur”. Air matanya pun membasahi wajahnya yang berseri dengan mata yang berkaca-kaca sembari memeluk erat Yanti.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar