SPIRITUAL SIRUNTU MATANNA ESSOE ALA PETTA RANRU DI BATU
LOTONG
Di setiap wilayah memiliki suatu
lokal wisdom yang menjadi sebuah identitas masyarakat dan menjadi pembeda
antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Apabila kita berbicara dalam
konteks kebudayaan hal ini tentu sangat wajar sebab dalam kaca mata kebudayaan
masyarakat tentu memiliki sistem nilai yang kompleks yang termuat di dalamnya
seperti sistem adat, sistem kepercayaan, sistem pemerintahan dan berkembangnya
berbagai ilmu pengetahuan. Dengan landasan tersebut maka sangat wajar apabila
daerah yang bernama Batu Lotong memiliki lokal wisdom yang sangat menarik untuk
di kajih lebih jauh, mengingat bahwa Batu Lotong yang terletak di pinggiran
sungai dan diapit oleh beberapa gunung menyebabkan daerah tersebut memiliki
tingkat kesuburan diatas rata-rata di bandingkan dengan daerah lain yang berada
di desa Sanjai Kec. Sinjai Timur Kab. Sinjai.
Ada sebuah adagium yang
menyatakan bahwa peradaban muncul di pinggiran air (sungai dan laut), hal ini kemudian
dapat di buktikan bahwa di Batu Lotong memiliki suatu pandangan yang sangat
menarik mengenai spiritual siruntu matanna essoe ala Petta Ranru. Dalam
pandangan ini menyatakan bahwa kehidupan sangat bergantung pada terang atau
matanna essoe, bahwa segala mahluk hidup yang berada di dunia ini memiliki
ketergantungan pada terang dan hal ini di simbolkan dengan matanna essoe atau
matahari. Manusia dalam hidupnya senantiasa mencari terang kehidupannya seperti
mengapa manusia bekerja atau mencari nafkah ?, karena manusia ingin menerangi
kehidupannya.
Makna matanna essoe dapat
berarti secara fisik dalam artian manusia membutuhkan cahaya matahari dan dapat
pula berarti secara simbolistik yang beranggapan bahwa kehidupan rohani
seseorang harus di terangi dan hal ini menyimbolkan bahwa tuhan itu adalah esa,
sebab sumber terang itu ialah tuhan. Yang menarik pula dalam pandangan
spiritual siruntu matanna essoe ala Petta Ranru mengartikan bahwa untuk
memaknai yang simbolistik itu perlu hal fisik sebagai pusat untuk mengantarkan
memahami yang simbolistik itu, mungkin hal ini sangat mirip dengan pandangan
islam dengan menjadikan kabbah sebagai fokus untuk memahami yang metafisik itu.
Hal ini menandakan bahwa manusia yang berada pada alam materi memerlukan
petanda fisik untuk menyingkap apa di balik materi sebagai sumber terang.
Dalam pandangan spiritual
matanna essoe ala Petta Ranru sangat menitik beratkan pentingnya transformasi
nilai-nilai spiritualitas dalam kehidupan sehari-hari seperti terang atau
matanna essoe maka manusia harus mampu menerangi sesamanya hal ini bermakna
fisik dan terang jiwa untuk membantu sesama itulah simbol spiritual yang
mengarahkan manusia harus saling membantu. Artinya bahwa keberadaan manusia di
muka bumi ini sebagai pantulan terang dari tuhan untuk mewujudkan kehidupan di
bumi yang penuh dengan nilai-nilai spiritualitas. Selain itu dalam tataran
ritusnya menuntut manusia untuk merenungi kehidupan ini, sebab ada banyak
manusia menjalani hari-harinya tidak menemukan terang atau menerangi sesama.
Apabila kehidupan ini tidak menemukan terang maka manusia tidak mampu
membedakan mana air mana api, sehingga ada sesama yang meminta api tapi yang di
berikan adalah air maka hal ini akan membuat kehidupan ini menjadi kacau.
Implementasi dari pandangan ini
menegaskan bahwa manusia adalah penyebar terang tetapi bagaimana manusia itu
mencapai penerangan batin maka manusia harus merenungi kehidupan sebab dengan
merenung manusia dapat memikirkan apa yang selama ini di lihatnya tetapi hanya
dianggap sebagai hal biasa, dengan merenunglah manusia dapat memikirkan hal-hal
yang biasa tapi mampu menemukan hal tidak biasa di balik itu semua. Untuk
mensyukuri kehidupan ini maka manusia harus mampu berbuat dalam artian
memberikan penerangan kepada sesama, sebagaimana matahari atau matanna essoe
menerangi kehidupan di bumi tanpa memandang status atau pun kelas-kelas sosial
artinya bahwa ini menjadi simbol manusia harus menjadi terang kepada sesama
tanpa memandang dari latar belakang sosial seseorang. Spiritualitas sirintu
matanna esso ala Petta Ranru ini muncul ketika dua arus besar yang terjadi
perebutan kekuasaan antara kerajaan Goa dan kerajaan Bone maka untuk
menetralisir yang dapat merusak tatanan kehidupan di Batu Lotong yang memiliki
akar nenek moyang yang beragam ada unsur Goa yang diwakili oleh Lolongang Daeng
Siajeng dan unsur Bone Petta Ranru sendiri serta unsur Batu Lotong yang
diwakili oleh Puang Mangkawani, kemudian menjadikan pandangan ini mampu masuk
keranah politik sebagai filter untuk mempertahankan keanekaragaman etnik yang
ada di Batu Lotong.
Dalam aspek kehidupan yang
sangat beragam etnik maka spiritualitas haruslah mampu menjernihkan pikiran
bukan asas kepentingan tetapi asas kebersesamaan, makanya dalam kasus perebutan
kekuasaan dua kutub besar itu yang mencoba masuk di Batu Lotong maka spiritual
sinruntu matanna essoe ala Petta Ranru mencoba memberikan pemahaman bahwa
apabila jiwamu terang maka engkau akan melihat sesamamu sebagai dirimu bukan
lagi dia sebagai etnik tertentu tetapi dia sebagai dirimu. Maka manusia yang
telah bertemu terang dalam perenungan batinya maka dia tak lagi ada sikap
membeda-bedakan sesama sebab manusia dengan manusia lain esensinya adalah
bagian dari dirinya.
Layaknya matahari yang
senantiasa hadir setiap hari maka manusia setiap hari pulalah bertemu dengan
matahari maka pertemuan fisik itu selayaknyalah manusia dapat tiap hari pula
bertemu dengan terang di balik simbol itu, sehingga setiap saat manusia dapat
saling membantu antar sesama dalam kehidupan di bumi. Dalam pandangan spiritual
siruntu matanna essoe ini menitik beratkan bahwa manusia harus bersikap aktif
dalam menjalani kehidupannya bukan pasrah sebab hakikat kehidupan di dunia
adalah aktif mencari sumber penghidupan untuk menerangi kehidupan keluarga dan
sesama yang membutuhkan. Hal ini menandakan dalam pandangan ini menyatakan
dalam kehidupan manusia tidak boleh menunggu datangnya rezeki tapi menjemput
datangnya rezeki, bahwa kedekatan dengan tuhan secara spiritual bukan
menjadikan seseorang mengabaikan kehidupan dunia sebab untuk membantu sesama
bukan dengan terlebih dahulu menyentuh di balik fisik tapi memberi yang fisik
baru menjelaskan ada apa di balik simbol itu.
Diakhir hayatnya Petta Ranru
sebelum meninggal dia meminta keluarganya untuk mempertemukan Petta Ranru
dengan matanna essoe atau cahaya matahari sebab bagi Petta Ranru matanna essoe
atau matahari adalah cahaya fisik yang perlu di temui sebelum bertemu dengan
matanna essoe atau matahari yang esensi yaitu tuhan. Setelah selesai bertemu
dengan matanna essoe atau matahari maka Petta Ranru di bawa naik ke Saraja Batu
Lotong tempatnya kemudian yang mengantarkan perjalanannya kembali bertemu
dengan matanna essoe atau matahari yang esensi sumber terang dalam perjalanan
kehidupan manusia.
Apa yang dilakukan oleh Petta
Ranru dengan bertemu langsung dengan matahari sebelum meninggal, mungkin hal
ini sangat mirip dengan pandangan emanasi Plotinus yang menyebutkan tentang
gerak turun dan gerak naik dan hal ini dapat di maknai bahwa pertemuan Petta
Ranru dengan matahari dapat diartikan bahwa gerak turun cahaya matahari secara
fisik dan meninggalnya Petta Ranru sebagai sebuah simbol gerak naik untuk
menemui matanna essoe atau matahari yang hakiki tempat segala sesuatunya
bergantung. Ada hal yang substansi yang dapat dilihat dari peristiwa ini bahwa
gerak turunya cahaya matahari atau emanasi ke alam materi maka untuk
memantulkan kembali cahaya itu diperlukan manusia memiliki batin yang
senantiasa memikirkan kehidupan ini, sehingga pemantulan itu dapat terjadi dan
manusia akan menemukan matanna essoe atau matahari kehidupan ini. Sebab itu
pulalah kematian jangan dimaknai sebagai kepergian tetapi kematian adalah
hilangnya cahaya pada manusia sehingga mahluk di bumi tak lagi mampu melihat
jasad manusia secara fisik sebab telah menyatu dengan cahaya hakiki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar