Selasa, 17 November 2015

SARAJA BATU LOTONG SIMBOL GOOD GAVERNANCE


SARAJA BATU LOTONG SIMBOL GOOD GAVERNANCE
            Di setiap sistem pemerintahan selalu memiliki pusat pelayanan yang mampu mengakomodir berbagai kepentingan masyarakatnya, pada zaman lampau di Batu Lotong terdapat sebuah Saraja atau rumah adat tempat berdiamnya seorang pemimpin yang memiliki kharismatik bukan retorik tetapi adai nagau (kata dan perbuatan), sehingga dia diangkat bukan atas dasar melakukan kampanye dengan baliho yang bertebaran tetapi masyarakat yang merasa membutuhkan sosok untuk memimpin mereka. Mungkin hal ini sangat berbeda dengan zaman sekarang sebab bukan rakyat yang terlalu membutuhkan tetapi mereka-mereka yang mengaku siap memimpin tetapi pada dasarnya mereka yang membutuhkan untuk memimpin, buktinya mereka para calon-calon pemimpin banyak bermain many politik.
            Saraja bukan sekedar di buat untuk pelayanan publik atau masyarakat tetapi banyak mempertimbangkan berbagai aspek, pertama Saraja sebagai pusat pelayanan masyarakat harus mudah di jangkau oleh masyarakat yang membutuhkan pelayanan makanya Saraja yang dibuat di Batu Lotong zaman dahulu dibuat sangat besar dengan empat puluh tiang sehingga rumah adat tersebut mampu menampung banyak orang, hal ini dipertimbangkan apabila terjadi banjir besar maka masyarakat dapat di tampung di Saraja. Mengingat posisi Batu Lotong yang barada di wilayah sungai dan diapit beberapa gunung menyebabkan pembangunan Saraja mempertimbangkan bahwa ketika terjadi hujan yang menimbulkan banjir maka Sarajalah sebagai tempat berlindung dari banjir, hal ini menyebabkan Saraja berada di wiliyah bukit tetapi mudah di jangkau.
            Kedua Saraja dapat berfungsi sebagai tempat musyawara untuk memutuskan berbagai permasalahan yang terjadi dan hal ini menandakan pula bahwa pemimpin di Saraja tidak secara sepihak mengambil kebijakan tetapi perlu mendengarkan berbagai pandangan sebelum mengambil keputusan, hal tersebut menandakan adanya unsur keterlibatan rakyat dalam pemerintahan segaligus menjalankan kontrol terhadap berbagai kebijakan pimpinan Saraja dan rakyat berhak mempertanyakan keputusan pemimpin tanpa di halang-halangi oleh pihak yang menjaga keamanan pimpinan Saraja, mungkin hal ini sangat kontras dengan apa yang terjadi sekarang pemimpin sibuk dan susah untuk di temui oleh rakyat atau bahkan di halang-halangi oleh oleh petugas keamanan.
            Ketiga dalam Saraja adanya pemisahan antara keuangan Saraja yang diperuntutkan untuk masyarakat dan keuangan keluarga pemimpin Saraja, sebab apabila tidak ada pemisahan hal ini dapat menyebabkan kecurigaan dari rakyat sehingga good gavernance betul-betul di jalangkan berbeda dengan sekarang uang pribadi dan negara bercampur tak karuan sehingga ada uang yang di peruntutkan untuk pembangunan negara malah di salah gunakan oleh pihak yang tak bertanggung jawab sebabnya banyak pemimpin masuk bui atau jadi tahanan KPK.
            Keempat Saraja memiliki ruang khusus menjamu tamu dalam wanua/wilayah lain yang ingin berkunjung ke Saraja, memperlakukan tamu secara layak tanpa harus ada pembedaan apakah dia berasal dari wanua/wiliyah yang tidak kaya akan potensi atau wanua/wilayah yang masih berkembang ?, mungkin dalam bahasa sekarang adalah tidak adanya pembedaan apakah dia berasal dari negara maju atau negara terbelakang ?. Sehingga aspek penghormatan kepada sesama sangat di dahulukan tanpa memandang suku maupun etniknya. Adanya rasa saling menghormati dan memperlakukan manusia dengan layak tanpa ada tendensius kepentingan.
            Saraja tak pernah membatasi diri bahwa melindungi masyarakat tidak harus melapor baru bisa mendapatkan pelayanan tetapi Saraja hadir dalam berbagai kehidupan untuk mewujudkan pelayanan kepada masyarakat. Tidak adanya pembedaan apakah dia dekat dengan pemimpin Saraja atau tidak semuanya sama dan berhak mendapatkan pelayanan prima, mungkin hal ini sangat kontras dengan sekarang pelayanan kesehatan misalnya bagi masyarakat biasa kelas berbeda dengan para pegawai yang cenderung sangat prima pelayanan yang di berikan bukankah ini ketidak setaraan dalam pelayanan publik ?.
            Kehidupan pemimpin Saraja sangat sederhana dan bahkan untuk menikmati kehidupan yang cukup pemimpin Saraja pun harus bekerja tidak hanya ongkang-ongkang kaki menunggu datangnya pajak, hal ini tidak berlaku dalam terminologi pemerintahan yang berlaku pada Saraja coba bandingkan dengan pemimpin hari ini yang cenderung sangat menikmati kemewahan tanpa perlu bersusah payah, mungkin hanya dengan mengatur satu proyek untuk memenangkan kontraktor tertentu maka pemimpin akan mendapatkan bagian dari hasil proyek itu. Sehingga pembangunan saat ini cenderung terlihat hanya untuk menghabiskan anggaran bukan di bangunan untuk dinikmati jangka panjang.
            Di negeri ini sejatinya memiliki kearifan lokal atau lokal wisdom yang masih sangat relevan untuk digali dan diterapkan di masa yang akan datang maupun sekarang, sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah mungkin terlalu banyak term-term yang masuk di negeri ini sehingga hal-hal yang bersifat lokalitas yang merupakan bagian dari diri kita sebagai bangsa Indonesia kemudian menjadi terlupakan dan tergantikan dengan apa yang telah menjadi warisan di masa lalu. Perlu kesadaran akan diri sebagai bangsa yang bukan hanya mampu memahami perkembangan bangsa lain tetapi perlu menelusuri ke dalam tentang kesejatian bangsa kita sendiri seupaya bangsa ini tidak mengalami krisi identitas. Apabila krisi identitas ini terjadi maka yakinlah bangsa kita tak akan pernah tau seperti apa dirinya yang sejati.
            Bangsa ini kemudian menjadi bangsa yang ikut arus tanpa memunculkan sebuah identitas yang kemudian layak untuk diperhitungkan secara global, seperti masuknya food, fetion dan fun apa yang terjadi pada bangsa kita ?, kemudian menjadi pengikut arus dari budaya pop yang cederung memarjinalkan budaya lokal yang kita miliki. Pertanyaannya mengapa hal in terjadi ?, mungkinkah ini gejalah krisis identitas lalu dimana pemimpin kita dalam kasus ini ?. Pemimpin bangsa ini sibuk memikirkan dirinya sendiri hal ini berbeda dengan makna Saraja sebagai simbol kekuasaan yang ada disetiap sendi-sendi kehidupan menghargai budaya wanua/wilayah atau bangsa lain tetapi tidak meninggalkan identitas yang kita miliki. Ini sangat berbeda dengan sekarang malah pemimpin kitalah yang memanggil bangsa lain untuk menancapkan pengaruh di negeri ini dengan bentuk kerja sama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar