BELAJAR FILSAFAT
Belajar tentang filsafat terkadang membuat kita larut
pada hal-hal yang sebenarnya yang tidak menandakan bahwa kita sedang belajar
filsafat, mungkin anda bertanya mengapa demikian karena yang kita pelajari
selama ini hasil pemikiran para filosof, itu artinya sama saja kita mengkajih
yang sudah ada bukan berfilsafat tapi membedah pandangan para tokoh filosof.
Lalu pertanyaannya kapan kita belajar filsafat ?, anda belajar filsafat hanya
butuh satu hal yaitu bertanya kemudian analisis misalnya kenapa matahari terbit
dari timur ?, maka di sinilah kita perlu menganalisis apa sesungguhnya terjadi
sehingga matahari terbit dari timur serta menganalisis jawaban yang mungkin
terjadi lalu memverifikasi kebenarannya secara empirik. Jadi, sebetulnya
belajar filsafat sangat menarik cuman yang membuat filsafat menjadi semacam
momok karena penyajian filsafat yang sering kali membahas orang-orang menjadi
bosan, karena materi filsafat sering membahas hal-hal yang sudah tidak sesuai
lagi dengan kondisi zaman seperti para tokoh-tokoh filsuf yang kadang di
gambarkan sebagai orang yang sering bertanya mengenal hal-hal yang dianggap
lazim seperti apa di balik yang ada ?, kenapa ini ada ?, sehingga kadang banyak
orang merasa belajar filsafat itu sendiri kadang membingungkan, dari sini
sebetulnya kita dapat mengajukan sebuah pertanyaan kenapa orang tidak tertarik
kepada filsafat dan seakan-akan hanya sebagai sesuatu yang percuma saja karena
tidak ada hasilnya. Seperti apa sesungguhnya di balik yang ada ?, ini sebetulnya
kadang di pandang orang kebanyakan sebagai sesuatu yang sia-sia, kenapa ?,
karena hal ini sama sekali tak ada implikasinya secara nyata. Apakah anda bisa
kaya bila mengetahui apa di balik yang ada ?, sehingga setiap orang sebetulnya
bisa saja meragukan filsafat bila berbicara apa implikasinya terhadap kehidupan
?.
Maka sebetulnya berfilsafat bisa saja membuat kita
meragukan filsafat itu sendiri, sehingga sangat brilian sebetulnya bila
mengatakan apa hasil dari filsafatmu ?, jangan sampai para filosof itu sendiri
hanya berspekulasi terhadap sesuatu hal yang di pikirkannya sehingga jawabannya
hanya sebuah spekulasi belaka dan pertanyaannya apakah para filosof mengerti
apa yang menjadi pemikirannya ?, maka di sinilah sebetulnya membuka peluang
buat kita untuk memverifikasi setiap pemikiran para filosof, seperti pemikiran
plato tentang negara ideal yang menempatkan filsuf sebagai pemegang kekuasaan
tertinggi dalam negara, kemudian prajurit untuk berperang, dan pekerja untuk
bekerja, ini perlu di verifikasi apakah plato semasa hidupnya pernah menjadi
pemimpin suatu negara ?, kalau plato pernah jadi pemimpin negara semasa
hidupnya maka dia telah mempraktekkan pemikirannya dan kalau tidak itu sama
saja bila kita berpendapan jangan sampai plato memiliki ambisi menjadi seorang
pemimpin namun tidak terwujud, sehingga untuk menghibur diri dia berpendapat
bahwa negara ideal itu di pimpin oleh seorang filsuf, jangan sampai filsuf kala
itu adalah orang-orang yang secara status sosial tidak mendapat tempat di pemerintahan.
Selanjutnya bila ada di kemudian hari seorang filsuf menjadi pemimpin negara
apakah itu artinya filsuf tersebut telah membuktikan pemikiran plato ?,
sehingga sebetulnya dalam berfilsafat verifikasi pemikiran para tokoh filsuf
sangat penting untuk melakukan seleksi pemikiran untuk menempatkan siapa
sebetulnya yang benar-benar berfilsafat dan siapa yang hanya berspekulasi
belaka terhadap suatu objek kajian ?, maka terbesit lagi sebuah pertanyaan apakah bisa filsafat di
terimah sebagai sebuah kebenaran bila hanya mengandung sesuatu yang bersifat
spekulatif ?, maka sebetulnya sebuah kegiatan berfilsafat perlu pengamatan
langsung di lapangan sehingga kebenarannya bisa di pertanggung jawabkan,
sebagaimana yang di lakukan aristoteles dengan melakukan tinjauan empirikel dan
kebenarannya dapat di buktikan di lapangan. Maka kembali mengenai persoalan
objek kajian filsafat supaya kajiannya tidak membosankan maka sebetulnya perlu
eksperimen dalam lapangan pembelajaran filsafat, seperti mkisalnya kita
mempertanyakan kenapa orang tidak suka pelajaran filsafat ?, kalau hal ini
hanya di kajih dalam paparan argumentasi tanpa melakukan eksperimen langsung
pada objeknya mengenai kenapa orang tidak suka pelajaran filsafat ?, maka
jawaban lapangan akan memberikan sebuah gambaran nyata dengan survei. Sehingga
inti permasalahan dapat kita ketahui dan solusi dari masalah itu dapat kita
rumuskan. Dari sini muncul lagi pertanyaan sebetulnya objek kajian filsafat itu
ada di alam atau di sosial, maka jawabannya selama hal itu dapat di eksperimen
di lapangan maka sepanjangan itu filsafat bisa masuk untuk menganalisis.
Mungkin sampai di sini anda bisa sedikit terpancing bahwa
filsafat itu ternyata tidak identik dengan orang yang sibuk berpikir pada
sesuatu hal yang tidak nyata, apakah anda percaya kalau di australia ada gajah
?, maka mungkin kita butuh pembuktian akan kebenaran atau kita lebih memilih
berspekulasi yes atau no, sehingga tetap saja kita butuh spekulasi tapi
pembuktian jauh lebih penting dari pada hanya berbicara yang kita sendiri tidak
tahu kebenarannya, jadi sebuah pemikiran mungkin saja di terima tapi bila ada
orang yang telah memverifikasi kebenarannya maka dari sana kita sudah tahu
apakah itu sebuah spekulasi atau sebuah kebenaran. Tapi, pertanyaannya apakah
mungkin kita dapat melakukan sebuah verifikasi tanpa melihat langsung tapi
kebenarannya sesuai dengan verifikasi tersebut ?, maka hal itu sangat mungkin
kita lakukan dengan metode induktif atau deduktif tapi generalisisasinya harus
kita tahu, seperti apakah pohon manggruf terdapat di gutan rimba di lereng
gunung ?, maka langkah verifikasi yang pertama kita lakukan adalah dimana
habitatnya pohon manggruf ?, kemudian apakah hutan rimba terdapat pohon
manggruf ?, setelah itu harus kita lakukan generalisasi terhadap pertanyaan
yang ada seperti pohon manggruf itu terdapat di pinggir laut dan hutan rimba
terletak di lereng gunung sehingga secara generalisasi tidak mungkin pohon
manggruf terdapat di gutan rimba yang ada di lereng gunung, tapi muncul lagi
pertanyaan apakah terdapat kemungkinan hutan manggruf itu terdapat dalam hutan
rimba ?, sekarang pikirkan apakah ada pertemuan antara laut dan gunung ?,
verifikasi selanjutnya maka lakukanlah survei langsung di lapangan dan di sini
muncul lagi pertanyaan apakah gunung itu sama dengan pulau ?, kalau sama maka
kemungkinan mengenai adanya pohon manggruf dalam hutan rimba terbuka
kemungkinannya, jadi pembuktian selanjutnya adalah apakah ada pulau yang selain
ada pohon manggruf juga terdapat hutan rimba tapi berada pada areal yang sama.
Maka sesungguhnya ada banyak kemungkinan verifikasi dalam proses berfilsafat
untuk kemudian memberikan impikasi nyata pada ilmu pengetahuan, jadi misalnya
mengenai kajian filsafat dalam metafisika perlu mengedepankan metode verifikasi
sehingga pemikiran para filosof dalam kajian metafisika dapat di terimah
kebenarannya, tapi mungkin dari segi verivikasinya memerlukan metode verimikasi
yang khusus sebagai pembuktian kebenarannya, contohnya seperti apakah bumi ini
ada perciptanya ?, bila verifikasi dalam hal pembuktian nyata yang di tuntut
maka perlu memverifikasi langsung siapa pencipta bumi ?, kalau pertanyaannya
apakah ada pencipta bumi ini ?. Sehingga dalam urusan verifikasi apakah ada
pencipta bumi ini ?, maka jawabannya bisa saja ia dan tidak tapi tampaknya yang
menjawab tidak sedikit punya peluang besar melegalkannya sebagai kebenaran,
karena tidak ada yang bisa menunjukkan keberadaannya maka secara spekulatif
bisa saja yang menjawab ia melontarkan pertanyaan balik apakah mungkin bumi
sekompleks ini tidak ada penciptanya ?, jadi dalam perkara ini maka yang di
perlukan adalah metode verifikasi yang khusus yang bersifat analogi
(perbandingan), misal untuk membandingkan bumi dengan kursi dari sudut
pandangan ciptaan, maka analoginya apakah kursi ini ada penciptanya ?, tentu
hal ini anda bisa dengan muda mem verifikasinya karena ada tukang kayu yang
membuat kursi maka dari sini kita dapat membuktikan bahwa posisi bumi dan kursi
memiliki kedudukan yang sama yakni ciptaan, maka dengan metode verifikasi analogi
yang khusus sebagai alat pembuktian kita dapat membuktikan adanya pencipta bumi dengan analogi sederhana seperti kursi.
Jadi, sebetulnya pemikiran filsafat dapat kita ujih kebenarannya secara
langsung dengan dua metode yaitu untuk hal-hal seperti yang berwujud maka
metode verifikasi dapat di gunakan dan untuk hal-hal seperti kajian metafisika
maka metode verifikasi analogi yang di terapkan untuk pembuktian kebenarannya.
Dari penyajian di atas mungkin saja muncul pertanyaan
seperti apakah bisa melakukan verifikasi terhadap pemikiran dalam ranah-ranah
sosial seperti apakah manusia sudah mengenal sistem pemerintahan sejak dulu ?,
maka untuk menjawab pertanyaan itu perlu kajian sejak kapan manusia di bumi ?,
sehingga verifikasi mengenai penggalan sejarah keberadaan manusia di bumi perlu
di mulai dan bila pembuktian menunjukkan bahwa manusia baru muncul sejak tahun
ini misalnya dengan priodesasi sejarah yang menunjukkan kalau manusia baru
muncul tahun tertentu maka dari sana terbentuk lagi pertanyaan apakah ada
kemungkinan dulu manusia tidak tinggal di bumi ?, sehingga sebetulnya
verifikasi untuk setiap pemikiran filsafat itu sangat penting dan bisa membuka
peluang munculnya cabang-cabang ilmu baru. Maka sebetulnya amat sangat di
perlukan sebuah proses belajar filsafat yang benar sehingga menghasilkan
implikasi nyata yang bisa menghilangkan kesan sebagai sesuatu hal yang bersifat
spekulatif belaka bila berbicara persoalan filsafat. Apakah untuk tahu berapa
jumlah gigi kuda di suatu negeri perlu membuka mulut kuda lalu menghitung satu
per satu ?, apa yang ada pahami dari kata-kata di atas ?, ada beberapa
kemungkinan pertama untuk tahu sesuatu maka yang di butuhkan adalah contoh,
kemudian bagaimana membuat patokan yang bisa mengakomodasi semuanya dan bila di
analogikan untuk apa kita hidup kalau akhirnya mati juga ?, maka bila di cernah
secara mendalam bisa saja kita mengatakan bahwa kata-kata di atas muncul
disebabkan adanya contoh/sampel bahwa ada orang yang dulunya hidup kemudian
kemudian mengalami kematian dari sini lahir dapat kita tarik suatu kesimpulan
universal bahwa setiap yang hidup pasti akan mati, lalu pertanyaannya apakah
tujuan dari hidup ini untuk mati ?, jadi manusia itu tidak kekal dari contoh
ini bisa kita pahami tapi apakah hukum terbali dari apakah hidup tujuan hidup
ini untuk mati ? di balik menjadi apakah tujuan mati ini untuk hidup ?, maka
bila contoh atau sampel yang di minta tentang hal tersebut apakah ada contoh
yang menunjukkan hal tersebut ?, maka balik lagi metode verifikasi analogi yang
kita pakai untuk membuktikan kebenarannya, maka dengan analogi sederhana apakah
kamu sebelum lahir hidup atau mati ?, mungkin saja anda menjawab mati dan kalau
begitu sangat mungkin sekali setelah hidup kemudian mati setelah itu hidup
kembali. Maka pada dasarnya metode verifikasi bersifat analogi sangat bisa
mengatasi permasalahan yang berbenturan dengan proses berfilsafat, seperti
apakah tuhan itu punya wujud dan apakah wujud tuhan sama dengan ciptaannya ?,
apakah verifikasi analogi bisa menjawab pertanyaan ini dan analogi sederhananya
adalah apakah para pembuat kerajinan seperti kursi tidak punya wujud ?, anda
bisa menjawab pasti ada wujudnya dan apakah wujud tuhan sama dengan wujud
ciptaannya ?, maka dengan analogi serupa pula apakah pembuat kursi sama
wujudnya dengan kursi yang di buatnya ?, tentu anda pasti menjawab tidak dan
kalau begitu silahkan anda berfilsafat tapi kedepankanlah nilai pembuktian
kebenaran sebagai seleksi atas setiap pemikiran yang muncul dari proses
berfilsafat.
Kemudian dari sini
muncul lagi pertanyaan apakah filsafat itu hanya bisa di lakukan oleh siapa
saja atau hanya orang-orang tertentu ?, maka muncul pula pertanyaan apakah
semua manusia makan ?, maka jawabannya kalau semua manusia bisa makan masa
untuk berfilsafat hanya sebagian, sehingga sebetulnya semua orang sering
berfilsafat tanpa di sadari seperti kenapa bulan ini sering terjadi hujan ?,
kemana air pada cucian ini pergi pada hal tadi berkerumun membasahi pakaian ?,
dari peristiwa di atas sebetulnya muncul lagi pertanyaan apakah dari dua kasus
di atas punya kesaman ?, sehingga sebuah proses berfilsafat sebenarnya sangat
asyik bila penyajiannya menempatkan prosesnya bukan pemikirannya atau hasilnya
serta filsafat yang sering berulang hingga mungkin sering dianggap sebagai
pengulangan. Dari awal sering sekali sebuah masalah yang dalam menjawabnya
melakukan analogi dari sesuatu yang mungkin memiliki kedudukan yang agak sama
sebagai gambaran dari jawabannya sebagai verifikasi kebenaran, maka peristiwa
sering terjadi hujan dan air pada cucian sangat mungkin memiliki hubungan dari
segi sebab terjadinya, kalau mau di verifikasi hujan itu sama dengan air yang
naik ke awan kemudian dari sana terjadilah hujan dan air pada pakaian kemana
mungkin saja ada yang menjadi hujan dan pertanyaannya pula apa sebab sehingga
air itu bisa naik ke awan ?, tentu gambaran umumnya yaitu saat proses memasak
kemudian terjadi penguapan pada air tersebut dan kalau begitu berapa panas yang
di butuhkan untuk menaikkan air ke awan ?, tentu semua kemampuan itu di miliki
oleh matahari untuk menaikkan air menuju awan, sehingga kalau begitu antara
satu peristiwa sangat mungkin ada hubungannya. Ada sebuah pertanyaan sederhana
yang sering terlontar yaitu apakah guna diciptakannya planet lain kalau tidak
ada penghuninya ?, dan sebaliknya pula dapat di balik menjadi apa guna bumi
ciptakan kalau hanya manusia yang bisa mengolahnya sedangkan ada banyak mahluk
lain yang menghuni bumi ?, maka
sesungguhnya dua analogi di atas cukup menguatkan kalau sebuah analogi dapat menjawab
sesuatu yang berlaku dari kebalikannya, jadi sebetulnya dengan adanya banyak
variasi perbedaan seperti bumi dapat di huni dan planet lain tidak dapat di
huni, ini sebetulnya sebuah pelajaran bahwa mahalnya sebuah kehidupan yang
hanya bisa di dapatkan di bumi, jadi rawatlah bumi ini. Jadi pemikiran filsafat
itu amat penting tapi sebaliknya sebuah filsafat begitu penting asalkan
memiliki implikasi untuk kehidupan.
Penggalian sebuah
keilmuwan sangat penting dan terlepas dari itu semua filsafat sering kali
dianggap sebagai induk segala ilmu pengetahuan, karena bisa membahas alam dan
sosial secara bersamaan. Lalu apakah ilmu-ilmu agama menginduk ke dalam
filsafat ?, kalau benar ilmu-ilmu agama menginduk ke dalam filsafat maka para
filosof harus di akaui sebagai nabi tapi pada kenyataannya ada pula para
filosof yang tidak percaya kepada agama sehingga kemungkinan akan ilmu-ilmu
agama berdiri sendiri sangatlah mungkin atau justru sebaliknya filsafatlah yang
menginduk ke ilmu-ilmu agama tapi persoalannya kalau itu yang di anut maka
sokrates tak akan meminum racun karena tuduhan merusak keyakinan pemuda athena
tapi nyatanya kadang pula filosof dianggap bertentangan dengan agama yang ada,
jadi semua itu membuka banyak ruang kemungkinan yang dapat kita peroleh bila
mengkaji korelasi dari ke duanya antara agama dan filsafat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar