Samata
Menggugat
Pernahkah anda mendengar kata indonesia
menggugat ?, tentu kita semua tau bahwa secara garis besar pernyataan indonesia
menggugat adalah sikap anti terhadap penjajah yang digaungkan pada era kolonial
dengan semangat untuk menuntut indonesia merdeka atau terbebas dari belenggu
penjajahan. Pada masa penjajahan orang-orang tidaklah merdeka untuk menyatakan
pendapat dan seluruh aturan dibuat tanpa dimintai pendapat terlebih dahulu,
akibatnya para rakyat jelata yang tidak mengerti aturan di hukum tanpa pernah
tau apa kesalahan mereka dan itu menjadi wajar saja sebab pada zaman itu
keadilan di monopoli oleh kepentingan para penjajah untuk menekan rakyat. Lalu pertanyaannya
kenapa kehidupan kolonialisme begitu mirip dengan kondisi kampus kita ?.
Seolah mengingatkan kita pada zaman kolonial
peristiwa yang terjadi pada tanggal 23 oktober 2014 dimana para mahasiswa yang
melakukan demonstrasi untuk meminta pihak birokrasi menjelaskan mengenai
aturan-aturan yang diberlakukan tanpa adanya dialog untuk merumuskan secara
bersama aturan-aturan yang akan diberlakukan. Tapi yang membuat kita miris
adalah para mahasiswa di bubarkan secara paksa dan bahkan di pukuli oleh
satpam. Mari kita mencoba membandingkan dengan era kolonial dengan apa yang
terjadi pada 23 oktober 2014, tentu hal ini akan membuat kita jauh lebih miris
sebab sekarang kita sudah merdeka bukan lagi zamannya kolonialisme. Yang menari
adalah sebuah kampus dengan tagline yang diagung-agungkan oleh pak rektor
sebagai kampus peradaban tetapi cara-cara yang ditunjukkan dalam menghadapi
persoalan tidaklah mencerminkan sebuah kampus peradaban tetapi kampus
berandalan.
Demonstrasi yang terjadi sebetulnya
anti-thesa dari keadaan yang ada, kalau kita melihat dari kejadian ini maka
sebetulnya pihak birokrasi perlu turun tangan dan bahkan bila perlu harus turun
secara bersama-sama dengan mahasiswa untuk melihat problemnya lebih dekat lagi,
supaya rasa saling curiga tidak terjadi dan akan menumbuhkan sebuah keadaan
yang sangat harmonis antara birokrasi dan mahasiswa. Mungkin mindset lama perlu
di rubah yang memandang birokrasi dan mahasiswa secara dikotomi inilah yang
menjadi masalah, sebab antara birokrasi dan mahasiswa ke duanya adalah elemen
yang padu yang terikat dalam satu tujuan yang sama, sehingga perlu kita
memandang antara birokrasi dan mahasiswa secara integral sehingga antara objek
dan subjek tidak lagi menjadi sebuah masalah yang diperdebatkan.
Dengan adanya demonstrasi ini sebetulnya
sebuah worning bahwa di kampus kita UIN Alauddin Makassar ada sebuah masalah
yang memang perlu diselesaikan dengan bijak, mungkinkah terjadi kesalahan
landasan berpikir antara birokrasi dan mahasiswa yang pada satu sisi dalam
pandangan birokrasi mahasiswa perlu diatur dan sisi yang lain mahasiswa
menganggap bahwa aturan ini sebetulnya membatasi ruang gerak kita untuk
berorganisa dengan adanya aturan-aturan yang di rasa begitu ketat. Sehingga
dari ke dua pihak ini muncul ego masing-masing berangkat dari landasan berpikir
tadi yang melihat antara birokrasi dan mahasiswa secara dikotomi dan di pihak
lagi ada yang merasa superior dibandingkan dengan yang lain.
Sehingga kejadian ini sebetulnya perlu
menjadi bahan refleksi bagi kita semua yang ada di kampus UIN Alauddin Makassar
ini, kalau menurut orang bijak setiap kejadian ada hikmahnya tetapi yang
menjadi masalah kalau hikmahnya masih terkurung dalam benak pikiran tanpa ada
realisasi dari hikmah kejadian itu. Maka salah satu jalan untuk merealisasikan
hikmahnya adalah dengan jalan membuka dialog atau forum antara birokrasi dan
mahasiswa untuk duduk secara bersama-sama membahas langkah-langkah bijak
kedepan demi mewujudkan kampus peradaban yang kita impikan bersama. Sebab
selama ini tegline pak rektor seolah-olah berjalan sendiri-sendiri tanpa
bergandengan tangan dengan mahasiswa dan sekarang terjadi sebuah kecenderungan
bahwa tagline kampus peradaban seolah-olah dipaksakan dengan berkaca pada
realita yang ada. Hal ini dapat kita buktikan bahwa tagline peradaban itu
sesuatu yang dipaksakan sebab kalau anda masuk kampus hingga masuk WC pasti
keluhan anda sama, peradaban apa ini ? dan yang membuat kita tidak habis pikir
adalah kenapa mahasiswa-mahasiswa yang dikatakan preman itu yang peka ?
dibandingkan mereka-mereka mahasiswa yang rajin bertengger di mesjid kampus dengan
fasilitas ala kampus peradaban dengan WC yang bau, air yang kadang macet dan
kunci daun pintu yang mewah saking mewahnya anda tak akan pernah dapatkan di
kampus-kampus lain, karena kunci pintu WC-nya adalah paku.
Karena kita berada pada kampus islam maka
reaksi mahasiswa dengan demonstrasi merupakan sebuah tanda baca pada ayat-ayat
Allah yang bersifat sosial maka tafsirannya pun harus kita baca melalui
fenomena sosial yang terjadi di kampus kita, oleh sebab itu aksi demostrasi
mahasiswa pada 23 oktober 2014 sebagai perwujudan Samata menggugat bukan karena
untuk menjatuhkan tetapi berangkat dari alam pikiran yang suci sehingga wajar
kalau yang tidak suci menodai kesuciannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar