Kamis, 26 November 2015

samata menggugat

                                                            Samata Menggugat
                        Pernahkah anda mendengar kata indonesia menggugat ?, tentu kita semua tau bahwa secara garis besar pernyataan indonesia menggugat adalah sikap anti terhadap penjajah yang digaungkan pada era kolonial dengan semangat untuk menuntut indonesia merdeka atau terbebas dari belenggu penjajahan. Pada masa penjajahan orang-orang tidaklah merdeka untuk menyatakan pendapat dan seluruh aturan dibuat tanpa dimintai pendapat terlebih dahulu, akibatnya para rakyat jelata yang tidak mengerti aturan di hukum tanpa pernah tau apa kesalahan mereka dan itu menjadi wajar saja sebab pada zaman itu keadilan di monopoli oleh kepentingan para penjajah untuk menekan rakyat. Lalu pertanyaannya kenapa kehidupan kolonialisme begitu mirip dengan kondisi kampus kita ?.
                        Seolah mengingatkan kita pada zaman kolonial peristiwa yang terjadi pada tanggal 23 oktober 2014 dimana para mahasiswa yang melakukan demonstrasi untuk meminta pihak birokrasi menjelaskan mengenai aturan-aturan yang diberlakukan tanpa adanya dialog untuk merumuskan secara bersama aturan-aturan yang akan diberlakukan. Tapi yang membuat kita miris adalah para mahasiswa di bubarkan secara paksa dan bahkan di pukuli oleh satpam. Mari kita mencoba membandingkan dengan era kolonial dengan apa yang terjadi pada 23 oktober 2014, tentu hal ini akan membuat kita jauh lebih miris sebab sekarang kita sudah merdeka bukan lagi zamannya kolonialisme. Yang menari adalah sebuah kampus dengan tagline yang diagung-agungkan oleh pak rektor sebagai kampus peradaban tetapi cara-cara yang ditunjukkan dalam menghadapi persoalan tidaklah mencerminkan sebuah kampus peradaban tetapi kampus berandalan.
                        Demonstrasi yang terjadi sebetulnya anti-thesa dari keadaan yang ada, kalau kita melihat dari kejadian ini maka sebetulnya pihak birokrasi perlu turun tangan dan bahkan bila perlu harus turun secara bersama-sama dengan mahasiswa untuk melihat problemnya lebih dekat lagi, supaya rasa saling curiga tidak terjadi dan akan menumbuhkan sebuah keadaan yang sangat harmonis antara birokrasi dan mahasiswa. Mungkin mindset lama perlu di rubah yang memandang birokrasi dan mahasiswa secara dikotomi inilah yang menjadi masalah, sebab antara birokrasi dan mahasiswa ke duanya adalah elemen yang padu yang terikat dalam satu tujuan yang sama, sehingga perlu kita memandang antara birokrasi dan mahasiswa secara integral sehingga antara objek dan subjek tidak lagi menjadi sebuah masalah yang diperdebatkan.
                        Dengan adanya demonstrasi ini sebetulnya sebuah worning bahwa di kampus kita UIN Alauddin Makassar ada sebuah masalah yang memang perlu diselesaikan dengan bijak, mungkinkah terjadi kesalahan landasan berpikir antara birokrasi dan mahasiswa yang pada satu sisi dalam pandangan birokrasi mahasiswa perlu diatur dan sisi yang lain mahasiswa menganggap bahwa aturan ini sebetulnya membatasi ruang gerak kita untuk berorganisa dengan adanya aturan-aturan yang di rasa begitu ketat. Sehingga dari ke dua pihak ini muncul ego masing-masing berangkat dari landasan berpikir tadi yang melihat antara birokrasi dan mahasiswa secara dikotomi dan di pihak lagi ada yang merasa superior dibandingkan dengan yang lain.
                        Sehingga kejadian ini sebetulnya perlu menjadi bahan refleksi bagi kita semua yang ada di kampus UIN Alauddin Makassar ini, kalau menurut orang bijak setiap kejadian ada hikmahnya tetapi yang menjadi masalah kalau hikmahnya masih terkurung dalam benak pikiran tanpa ada realisasi dari hikmah kejadian itu. Maka salah satu jalan untuk merealisasikan hikmahnya adalah dengan jalan membuka dialog atau forum antara birokrasi dan mahasiswa untuk duduk secara bersama-sama membahas langkah-langkah bijak kedepan demi mewujudkan kampus peradaban yang kita impikan bersama. Sebab selama ini tegline pak rektor seolah-olah berjalan sendiri-sendiri tanpa bergandengan tangan dengan mahasiswa dan sekarang terjadi sebuah kecenderungan bahwa tagline kampus peradaban seolah-olah dipaksakan dengan berkaca pada realita yang ada. Hal ini dapat kita buktikan bahwa tagline peradaban itu sesuatu yang dipaksakan sebab kalau anda masuk kampus hingga masuk WC pasti keluhan anda sama, peradaban apa ini ? dan yang membuat kita tidak habis pikir adalah kenapa mahasiswa-mahasiswa yang dikatakan preman itu yang peka ? dibandingkan mereka-mereka mahasiswa yang rajin bertengger di mesjid kampus dengan fasilitas ala kampus peradaban dengan WC yang bau, air yang kadang macet dan kunci daun pintu yang mewah saking mewahnya anda tak akan pernah dapatkan di kampus-kampus lain, karena kunci pintu WC-nya adalah paku.

                        Karena kita berada pada kampus islam maka reaksi mahasiswa dengan demonstrasi merupakan sebuah tanda baca pada ayat-ayat Allah yang bersifat sosial maka tafsirannya pun harus kita baca melalui fenomena sosial yang terjadi di kampus kita, oleh sebab itu aksi demostrasi mahasiswa pada 23 oktober 2014 sebagai perwujudan Samata menggugat bukan karena untuk menjatuhkan tetapi berangkat dari alam pikiran yang suci sehingga wajar kalau yang tidak suci menodai kesuciannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar