Kamis, 26 November 2015

TANGGA LANGIT DI DINDING KAMPUS

Tangga Langit di Dinding Kampus
            Sebuah pergolakan hidup dari perjuang melawan ketertindasan dan geliat untuk keluar dari keterbatas telah merayu perjalanan hidup seorang Daeng Mattawang, sebab isi batok kepalanya telah di penuhi pesan-pesan dari leluhurnya yang di dapatkannya melalui tradisi tutur yang menjadi petanda bahwa seorang Daeng Mattawang masih pantas disebut sebagai generasi mudah yang tak pernah melupakan sejarah, sebagaimana ungkapan Bung Karno JAS MERAH (Jangan Pernah Melupakan Sejarah).
            Ketika sang mentari mulai perlahan menyapa bumi dengan gesit Daeng Mattawang menyiapkan perlengkapan kuliah dan membersihkan sekeliling rumah kosnya, setiap hari Daeng Mattawang senantiasa membersihkan sebab itu telah menjadi perintah agama untuk menjaga kebersihan apalagi pesan-pesan adat terlalu banyak menegaskan hal tersebut seperti Sombere, tetapi dari kawah mata Daeng Mattawang sendiri mendapati seorang mahasiswa berlebel kampus islami tetapi rajin membuang sampah sembarangan. Mungkin itu pulalah yang membuat Pak RT sering kali menyambangi kost Daeng Mattawang sebab katanya sebagai pejabat negara memang telah menjadi kewajiban untuk mengontrol wilayahnya. “Mat, tolong bantu warga lain yah untuk menjaga kebersihan”, celoteh Pak RT, Mat adalah sebutan akrab Daeng Mattawang, “Ok, Pak RT sebagai warga negara yang baik memang harus menjaga kebersihan”, Sebut Daeng Mattawang dengan wajah penuh keceriaan, “Seandainya semua mahasiswa sepertimu bapak yakin bangsa ini akan jauh lebih baik, kerena disekitar ujung sana tempat kost putri ada banyak sampah diselokan”, Papar Pak RT sambil mengerutkan jidat, “Oh, yah Pak RT mungkin Mat harus siap-siap karena sudah jam 07.00 mungkin besok pagi baru bisa menemani kembali Pak RT”, tutur Daeng Mattawang.
            Setelah masuk mempersiapkan segalanya maka Daeng Mattawang pun bergegas menuju kampus, mungkin apa yang dialami dan bahkan telah menjadi rutinitas bagi Daeng Mattawang, bahwa setiap harinya harus melewati tangga untuk masuk ke dalam kampus sebab posisi kampus dengan perkampungan tempat Daeng Mattawang menyewa kost di pisahkan dengan dinding yang menjadi petanda antara masyarakat ilmiah dengan masyarakat kampung, kampus telah di konstruksi sebagai dunia yang berbeda dengan dunia masyarakat sehingga mungkin realitas keseharian Daeng Mattawang yang harus menaiki tangga untuk memanjat dinding pemisah itu telah menjadi penguat dari gagasan pemikir sekaliber Karl Marx bahwa ada kelas proletar dan borjuis atau antara pemilik modal dengan kaum buruh. Singkatnya laku kehidupan Daeng Mattawang sebagai wujud konkrit perlawanan kelas yang mencoba membuat sekat-sekat antara yang superior dengan inferior.
            Setiap kali berada pada puncak anak tangga ketika menaiki tangga maka pikiran Daeng Mattawang senantiasa  dibawah ke sebuah rumah dengan arsitek bercorak tradisional yang masih dianggap sebagai rumah bangsawan leluhur Daeng Mattawang yang masih memiliki darah Sombayya ri Gowa, tergambarlah sosok seorang ayah Daeng Mattawang dengan penuh kharismatik membelai kepalanya dan menuturkan pesan leluhur Daeng Mattawang. “Punna boyako pangngassengang warako rolong”, artinya jika anda mencari ilmu, ke utaralah dulu. “punna tena itimborok, anraiko”, artinya kalau tidak ada di selatan ke timurlah. “Punna tena iraya kalauko”, artinya jika tidak ada di timur, ke baratlah. “Punna tena ri appaka sulapa, ammotereko ri batanna kalennu, maknasa niya antu anjoreng pangngasengang napadongkok Allah Taala”. Artinya jika andaikata anda tidak menemukannya di empat penjuru mata angin tadi, maka kembalilah mencari pada dirimu sebab pasti ada ilmu pengetahuan dalam diri anda diletakan oleh Alah Taalah. Pesan itu di dapatkannya kala usia Daeng Mattawang masih berumur sepuluh tahun tetapi pesan itu senantiasa menubuh setiap kali menaiki tangga didinding kampus. Nafas dan keringat Daeng Mattawang penuh sesak dengan tubuhnya di banjiri keringat, sebab ingatan sepuluh tahun itu adalah kenangan terakhir dengan sang ayah makanya perjuangan dan tekat kuatnya untuk menuntut ilmu di mulainya pada sebuah kampus yang masih memiliki hubungan identitas sedarah dengan Sombayya ri Gowa.
            Ketika telah berada di kampus Daeng Mattawang menyatu dengan komunitas ilmiah atau pembibitan calon-calon intelektual/mahasiswa, merasakan kehangatan pelukan suasana diskusi di kampus. “Mat, apakah mahasiswa telah mengalami pergeseran nilai dari pecinta ilmu menjadi pecinta fashion ?”, Sebut Burhan, “Yah, mungkin sekarang kampus telah berubah orientasi menjadi mall, sehingga aura diskusi berubah menadi fashion show”, Tutur Yudha, “mungkin itu adalah fenomena realitas mahasiswa tetapi pertanyaannya apakah kita harus ikut arus atau memilih melawan arus ? sebab orang-orang yang melawan arus biasanya menjadi pengendali arus”, tutur Daeng Mattawang.
            “Mat, dosen sudah datang ayo cepat masuk kelas nanti kita telat”, Sebut Rika, “Yudha dan Burhan diskusi kita nanti dilanjut dosen sudah mau masuk nih”, Celoteh Daeng Mattawang, “Ok, hal yang menarik dalam diskusi apabila dipuncak keseruan tiba-tiba harus di hentikan pasti itu menarik untuk dilanjutkan lain kali”, Tutur Yudha, “Cepatlah Mat”, Sebut Rika, menurut orang dunia kampus memang dunia diskusi maka mahasiswa yang tidak rajin berdiskusi sesungguhnya telah tercabut dari akar kemahasiswaannya. “Maaf Pak tampaknya tidak ada ruangan yang kosong sehingga alternatif terakhir itu yang bisa kita gunakan untuk belajar itu dipelataran fakultas dengan duduk melantai”, Sebut Yaris dengan penuh wajah gelisah, maklum Yaris sebagai ketua tingkat memang mengurusi soal ruangan tempat proses belajar mengajar, “Yah, sebagai dosen yang memiliki kewajiban mengajar tentu harus siap dengan berbagai segala kemungkinan yang bisa terjadi termasuk harus siap mengajar di pelataran fakultas”, Tutur Pak Zaenal.
            Yah mungkin kondisi seperti ini membuat siapa pun akan menjadi miris termasuk Daeng Mattawang merontah dalam benaknya, mengapa kampus yang begitu megah tak mampu menampung mahasiswanya ? bukankah tiap semester mahasiswa membayar SPP dan setiap tahun pula menambah jumlah mahasiswa lewat momentum penerimaan mahasiswa baru, tapi kenapa jumlah mahasiswa bertambah tetapi jumlah gedung untuk perkuliahan malah tidak ditambah ? ah....logika macam apa ini begitulah rontakan-rontakan Daeng Mattawang. “Waduh tampaknya kita butuh papan tulis nih, mungkin ketua tingkat bisa usahakan mencari papan tulis”, Sahut Pak Zaenal, dengan begitu cekatan Daeng Mattawang mendahului ketua tingkatnya sebab posisi sang ketua tingkat berada dibagian depan sehingga sulit apabila ingin keluar mencari papan tulis.
            Tak berapa lama kemudian Daeng Mattawang datang membawa papan tulis lengkap dengan penghapusnya, sehingga proses perkuliahan pun berjalan begitu menarik sebab mahasiswa di kelas Daeng Mattawang memang terkenal sebagai kelas yang cukup disegani karena kemampuan mahasiswanya diatas rata-rata, namun ditengah keasyikan mahasiswa mengikuti proses perkuliahan tiba-tiba datang seorang juru kunci fakultas menyerobot masuk ke dalam kerumunan mahasiswa yang asyik mengikuti proses belajar mengajar. “Ini papan tulis siapa yang mengambil ?”, Tutur Tukang Kunci dengan penuh raut amarah, dengan nada penuh penegasan Daeng Mattawang berdiri sambil menyahut “Saya Pak”, “Kamu mau jadi pencuri mengambil sesuatu tanpa izin, ruangan penyimpanan itu selalu terkunci dan baru bisa di buka apabila saya yang membuka. Artinya kamu telah melakukan tindakan pencurian mau jadi apa bangsa ini kalau mahasiswanya seperti ini”, Sebut Tukang Kunci yang bernada melengking, “Maaf Pak, bukankah papan tulis dipergunakan untuk proses belajar mengajar sedangkan kami ini adalah mahasiswa yang memerlukan papan tulis, mengapa bapak menuduh saya mencuri padahal ruangan tempat penyimpanan itu terbuka makanya dengan berani mengambilnya papan tulis itu untuk dipakai, seharusnya bapak yang perlu disalahkan kenapa menghalangi kami untuk menikmati fasislitas kampus ?”, Jelas Daeng Mattawang, “Dasar pencuri, ayo satpam ambil dia”, Tegas Tukang Kunci, dengan begitu beringas dua satpam kampus menarik-nari Daeng Mattawang sehingga baju yang dipakainya robek, padahal baju itu adalah baju ayahnya yang senantiasa dipakainya karena Daeng Mattawang harus berhemat supaya mampu melanjutkan kuliahnya tetapi hari itu satpam menganiayanya hanya karena sebuah perkara sepele.

            Tubuh Daeng Mattawang tampak memar akibat dihakimi satpam kampus dengan tuduhan mencuri papan tulis, hari itu adalah hari yang sungguh biadap yang pernah dialami oleh seorang mahasiswa penuh semangat seperti Daeng Mattawang. Tapi, yang lebih menyakitkan lagi saat hendak pulang Daeng Mattawang mendapati tangga yang menempel didinding pagar kampus telah dipatah-patah sehingga jalan pintas menuju perkampungan tempat kost harus dijalaninya dengan naik mobil untuk sampai di kost, yang lebih menyakitkan lagi adalah Daeng Mattawang tak memiliki uang sebab uang kiriman pas-pas hanya cukup untuk biaya makan itu pun harus menghemat dengan melakoni puasa senin kamis. Bagai jatuh tertimpah tangga pula sebab Daeng Mattawang harus berjalan kaki jauh menuju kost sebab tangga jalan pintas dirusak,  tetapi bayangan pesan-pesan leluhurnya yang diucapkan ayah Daeng Mattawang sepuluh tahun lalu kembali hadir menemani perjalanannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar