Tangga
Langit di Dinding Kampus
Sebuah pergolakan hidup dari perjuang melawan
ketertindasan dan geliat untuk keluar dari keterbatas telah merayu perjalanan
hidup seorang Daeng Mattawang, sebab isi batok kepalanya telah di penuhi
pesan-pesan dari leluhurnya yang di dapatkannya melalui tradisi tutur yang
menjadi petanda bahwa seorang Daeng Mattawang masih pantas disebut sebagai
generasi mudah yang tak pernah melupakan sejarah, sebagaimana ungkapan Bung
Karno JAS MERAH (Jangan Pernah Melupakan Sejarah).
Ketika sang mentari mulai perlahan menyapa bumi dengan
gesit Daeng Mattawang menyiapkan perlengkapan kuliah dan membersihkan
sekeliling rumah kosnya, setiap hari Daeng Mattawang senantiasa membersihkan
sebab itu telah menjadi perintah agama untuk menjaga kebersihan apalagi
pesan-pesan adat terlalu banyak menegaskan hal tersebut seperti Sombere, tetapi
dari kawah mata Daeng Mattawang sendiri mendapati seorang mahasiswa berlebel
kampus islami tetapi rajin membuang sampah sembarangan. Mungkin itu pulalah
yang membuat Pak RT sering kali menyambangi kost Daeng Mattawang sebab katanya
sebagai pejabat negara memang telah menjadi kewajiban untuk mengontrol
wilayahnya. “Mat, tolong bantu warga lain yah untuk menjaga kebersihan”,
celoteh Pak RT, Mat adalah sebutan akrab Daeng Mattawang, “Ok, Pak RT sebagai
warga negara yang baik memang harus menjaga kebersihan”, Sebut Daeng Mattawang
dengan wajah penuh keceriaan, “Seandainya semua mahasiswa sepertimu bapak yakin
bangsa ini akan jauh lebih baik, kerena disekitar ujung sana tempat kost putri
ada banyak sampah diselokan”, Papar Pak RT sambil mengerutkan jidat, “Oh, yah
Pak RT mungkin Mat harus siap-siap karena sudah jam 07.00 mungkin besok pagi
baru bisa menemani kembali Pak RT”, tutur Daeng Mattawang.
Setelah masuk mempersiapkan segalanya maka Daeng
Mattawang pun bergegas menuju kampus, mungkin apa yang dialami dan bahkan telah
menjadi rutinitas bagi Daeng Mattawang, bahwa setiap harinya harus melewati
tangga untuk masuk ke dalam kampus sebab posisi kampus dengan perkampungan
tempat Daeng Mattawang menyewa kost di pisahkan dengan dinding yang menjadi
petanda antara masyarakat ilmiah dengan masyarakat kampung, kampus telah di
konstruksi sebagai dunia yang berbeda dengan dunia masyarakat sehingga mungkin
realitas keseharian Daeng Mattawang yang harus menaiki tangga untuk memanjat
dinding pemisah itu telah menjadi penguat dari gagasan pemikir sekaliber Karl
Marx bahwa ada kelas proletar dan borjuis atau antara pemilik modal dengan kaum
buruh. Singkatnya laku kehidupan Daeng Mattawang sebagai wujud konkrit
perlawanan kelas yang mencoba membuat sekat-sekat antara yang superior dengan
inferior.
Setiap kali berada pada puncak anak tangga ketika menaiki
tangga maka pikiran Daeng Mattawang senantiasa dibawah ke sebuah rumah dengan arsitek
bercorak tradisional yang masih dianggap sebagai rumah bangsawan leluhur Daeng
Mattawang yang masih memiliki darah Sombayya ri Gowa, tergambarlah sosok
seorang ayah Daeng Mattawang dengan penuh kharismatik membelai kepalanya dan
menuturkan pesan leluhur Daeng Mattawang. “Punna boyako pangngassengang warako
rolong”, artinya jika anda mencari ilmu, ke utaralah dulu. “punna tena
itimborok, anraiko”, artinya kalau tidak ada di selatan ke timurlah. “Punna
tena iraya kalauko”, artinya jika tidak ada di timur, ke baratlah. “Punna tena
ri appaka sulapa, ammotereko ri batanna kalennu, maknasa niya antu anjoreng
pangngasengang napadongkok Allah Taala”. Artinya jika andaikata anda tidak
menemukannya di empat penjuru mata angin tadi, maka kembalilah mencari pada
dirimu sebab pasti ada ilmu pengetahuan dalam diri anda diletakan oleh Alah
Taalah. Pesan itu di dapatkannya kala usia Daeng Mattawang masih berumur
sepuluh tahun tetapi pesan itu senantiasa menubuh setiap kali menaiki tangga
didinding kampus. Nafas dan keringat Daeng Mattawang penuh sesak dengan
tubuhnya di banjiri keringat, sebab ingatan sepuluh tahun itu adalah kenangan
terakhir dengan sang ayah makanya perjuangan dan tekat kuatnya untuk menuntut
ilmu di mulainya pada sebuah kampus yang masih memiliki hubungan identitas sedarah
dengan Sombayya ri Gowa.
Ketika telah berada di kampus Daeng Mattawang menyatu
dengan komunitas ilmiah atau pembibitan calon-calon intelektual/mahasiswa, merasakan
kehangatan pelukan suasana diskusi di kampus. “Mat, apakah mahasiswa telah
mengalami pergeseran nilai dari pecinta ilmu menjadi pecinta fashion ?”, Sebut
Burhan, “Yah, mungkin sekarang kampus telah berubah orientasi menjadi mall,
sehingga aura diskusi berubah menadi fashion show”, Tutur Yudha, “mungkin itu
adalah fenomena realitas mahasiswa tetapi pertanyaannya apakah kita harus ikut
arus atau memilih melawan arus ? sebab orang-orang yang melawan arus biasanya
menjadi pengendali arus”, tutur Daeng Mattawang.
“Mat, dosen sudah datang ayo cepat masuk kelas nanti kita
telat”, Sebut Rika, “Yudha dan Burhan diskusi kita nanti dilanjut dosen sudah
mau masuk nih”, Celoteh Daeng Mattawang, “Ok, hal yang menarik dalam diskusi
apabila dipuncak keseruan tiba-tiba harus di hentikan pasti itu menarik untuk
dilanjutkan lain kali”, Tutur Yudha, “Cepatlah Mat”, Sebut Rika, menurut orang
dunia kampus memang dunia diskusi maka mahasiswa yang tidak rajin berdiskusi
sesungguhnya telah tercabut dari akar kemahasiswaannya. “Maaf Pak tampaknya
tidak ada ruangan yang kosong sehingga alternatif terakhir itu yang bisa kita
gunakan untuk belajar itu dipelataran fakultas dengan duduk melantai”, Sebut
Yaris dengan penuh wajah gelisah, maklum Yaris sebagai ketua tingkat memang
mengurusi soal ruangan tempat proses belajar mengajar, “Yah, sebagai dosen yang
memiliki kewajiban mengajar tentu harus siap dengan berbagai segala kemungkinan
yang bisa terjadi termasuk harus siap mengajar di pelataran fakultas”, Tutur
Pak Zaenal.
Yah mungkin kondisi seperti ini membuat siapa pun akan
menjadi miris termasuk Daeng Mattawang merontah dalam benaknya, mengapa kampus
yang begitu megah tak mampu menampung mahasiswanya ? bukankah tiap semester
mahasiswa membayar SPP dan setiap tahun pula menambah jumlah mahasiswa lewat
momentum penerimaan mahasiswa baru, tapi kenapa jumlah mahasiswa bertambah
tetapi jumlah gedung untuk perkuliahan malah tidak ditambah ? ah....logika
macam apa ini begitulah rontakan-rontakan Daeng Mattawang. “Waduh tampaknya
kita butuh papan tulis nih, mungkin ketua tingkat bisa usahakan mencari papan
tulis”, Sahut Pak Zaenal, dengan begitu cekatan Daeng Mattawang mendahului
ketua tingkatnya sebab posisi sang ketua tingkat berada dibagian depan sehingga
sulit apabila ingin keluar mencari papan tulis.
Tak berapa lama kemudian Daeng Mattawang datang membawa
papan tulis lengkap dengan penghapusnya, sehingga proses perkuliahan pun
berjalan begitu menarik sebab mahasiswa di kelas Daeng Mattawang memang
terkenal sebagai kelas yang cukup disegani karena kemampuan mahasiswanya diatas
rata-rata, namun ditengah keasyikan mahasiswa mengikuti proses perkuliahan
tiba-tiba datang seorang juru kunci fakultas menyerobot masuk ke dalam
kerumunan mahasiswa yang asyik mengikuti proses belajar mengajar. “Ini papan
tulis siapa yang mengambil ?”, Tutur Tukang Kunci dengan penuh raut amarah,
dengan nada penuh penegasan Daeng Mattawang berdiri sambil menyahut “Saya Pak”,
“Kamu mau jadi pencuri mengambil sesuatu tanpa izin, ruangan penyimpanan itu
selalu terkunci dan baru bisa di buka apabila saya yang membuka. Artinya kamu
telah melakukan tindakan pencurian mau jadi apa bangsa ini kalau mahasiswanya
seperti ini”, Sebut Tukang Kunci yang bernada melengking, “Maaf Pak, bukankah
papan tulis dipergunakan untuk proses belajar mengajar sedangkan kami ini
adalah mahasiswa yang memerlukan papan tulis, mengapa bapak menuduh saya
mencuri padahal ruangan tempat penyimpanan itu terbuka makanya dengan berani
mengambilnya papan tulis itu untuk dipakai, seharusnya bapak yang perlu
disalahkan kenapa menghalangi kami untuk menikmati fasislitas kampus ?”, Jelas
Daeng Mattawang, “Dasar pencuri, ayo satpam ambil dia”, Tegas Tukang Kunci,
dengan begitu beringas dua satpam kampus menarik-nari Daeng Mattawang sehingga
baju yang dipakainya robek, padahal baju itu adalah baju ayahnya yang
senantiasa dipakainya karena Daeng Mattawang harus berhemat supaya mampu
melanjutkan kuliahnya tetapi hari itu satpam menganiayanya hanya karena sebuah
perkara sepele.
Tubuh Daeng Mattawang tampak memar akibat dihakimi satpam
kampus dengan tuduhan mencuri papan tulis, hari itu adalah hari yang sungguh
biadap yang pernah dialami oleh seorang mahasiswa penuh semangat seperti Daeng
Mattawang. Tapi, yang lebih menyakitkan lagi saat hendak pulang Daeng Mattawang
mendapati tangga yang menempel didinding pagar kampus telah dipatah-patah
sehingga jalan pintas menuju perkampungan tempat kost harus dijalaninya dengan naik
mobil untuk sampai di kost, yang lebih menyakitkan lagi adalah Daeng Mattawang
tak memiliki uang sebab uang kiriman pas-pas hanya cukup untuk biaya makan itu
pun harus menghemat dengan melakoni puasa senin kamis. Bagai jatuh tertimpah
tangga pula sebab Daeng Mattawang harus berjalan kaki jauh menuju kost sebab
tangga jalan pintas dirusak, tetapi
bayangan pesan-pesan leluhurnya yang diucapkan ayah Daeng Mattawang sepuluh
tahun lalu kembali hadir menemani perjalanannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar