Jumat, 27 November 2015

Islam sebagai gerakan politik

Islam sebagai gerakan politik
            Islam dan politik bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, sebab Muhammad muda apabila di baca dalam kancah perpolitikan arab Quraisy pra-islam maka kehadirannya dapat bermakna sebagai the suksesore Bani Abdul Muthalib dan tentu kemunculannya menjadi sebuah fenomena menarik, apalagi ketika terjadi perselisihan antara para pemuka-pemuka suku Quraisy tentang siapa yang berhak mengembalikan Hajar aswad ketempatnya ?. Tentu menjadi suatu kehormatan segaligus menjadi prestise sosial apabila berperan dalam mengembalikan hajar aswad ke tempat semula, sehingga tidaklah mengherankan apabila menjadi rebutan untuk mengembalikannya. Namun hal ini menjadi sebuah masalah sebab semua merasa berhak untuk mengembalikannya, narasi sejarah pun bercerita kepada kita bahwa Muhammad hadir sebagai penengah dan memberikan solusi atas masalah tersebut. Tak dapat di pungkiri keberhasilan Muhammad muda menyelesaikan problem sosial tersebut dikemudian hari mengharumkan namanya dan mengokohkan dirinya sebagai salah satu tokoh yang diperhitungkan di masa mendatang.
            Muhammad muda yang tampil dengan kepiawaian, keunggulan moral dan prestise sosial dengan gelar al-amin secara otomatis memberikan kepercayaan diri yang berlebih kepada pribadi Muhammad. Tentu pertarungan elitis dan tingkat kesukuan yang tinggi membuat panggung kuasa menjadi lebih menarik, sebab simbol kekuasaan adalah Kabbah yang senantiasa diperebutkan. Sehingga tidaklah mengherankan apabila Kabbah menjadi rebutan diantara para suku Quraisy, sebab menguasai Kabbah sama dengan menguasai sumber ekonomi. Karena telah menjadi tradisi bahwa setiap tahunnya ada pengunjung yang mendatangi Kabbah sebagai simbol spiritual dan hal ini sangat menguntungkan secara ekonomi. Dan hal ini perlu di pahami bahwa kehadiran islam secara gerakan banyak dikonstruksi dari pra-islam, mengapa Kabbah perlu direbut ?, apakah semata-mata tuntutan spiritual atau ada tujuan sebagai basis finansial gerakan islam ?.
            Secara sosial suku Quraisy terpecah-pecah ke dalam berbagai bani atau klan, sehingga ini kemudian akan menjadi suatu masalah dan bisa menjadi sumber kelemahan apabila tidak ada konsep untuk mempersatukan itu semua. Akibatnya dapat dipahami bahwa monoteisme dengan persaudaraan atau solidaritas atas nama keagamaan yang mengalahkan solidaritas kesukuan menjadi sebuah opsi yang bisa menyatukan arab Quraisy mengingat bahwa keberadaannya berada pada dua kutub kekuasaan besar yaitu Persi dan Romawi yang semuanya dilandasi dengan akar spiritual seperti Persia dengan Zoroaster dan Romawi dengan paganisme, sehingga untuk menyatukan arab Quraisy memang diperlukan kesadaraan yang berada diluar fanatisme kesukuan. Sehingga secara politik untuk menandingi kedua kekuatan politik tersebut sangat diperlukan penggugah kesadaran.
            Dalam perjalanannya islam kemudian harus hijrah dari Mekkah ke Madina yang secara hitung-hitungan politik sebetulnya ini mirip dengan konsolidasi pergerakan politik sembari menyiapkan strategi untuk menguasai sumber ekonomi yakni Mekkah atau Kabbah yang menjadi simbol prestise sosial dan lambang penguasa. Mengapa nabi Muhammad perlu menaklukan Mekkah bukan semata-mata urusan spiritualitas sebab dengan menguasai Mekkah artinya menjadi pengendali lalu lintas pertemuan dari berbagai penjuru yang berkunjung ke Kabbah dan secara opini dapat menpengaruhi massa bahwa muncul sebuah kekuatan baru, hal tersebut dapat dibuktikan setelah penaklukan Mekkah yang kemudian islam mencoba menunjukan tajinya dalam pentas politik dengan menyerang wilayah kekuasaan Romawi dan selanjutnya menyerah Persia. Muhammad dan islam kemudian menjadi satu paket yang pada satu sisi demi kepentingan spiritual dan segaligus the suksesor Abdul Muthalib yang paling sukses, sehingga kemudian kontekstasi kesukuan berubah kepada kontekstasi kekuasaan islam atau bisa disebut versi baru kesukuan dengan spiritualitas.
            Fenomena kontekstasi kesukuan versi baru telah menjadi bagian dari islam puncak dari kontekstasi terbuka antar suku pasca nabi Muhammad meninggal, sebab secara figur pengganti kemudian menjadi rebutan para klan-klan suku yang ada ini pulah yang menarik sebab ternyata aroma kesukuan masih tumbuh dalam tubuh islam. Semua merasa berhak atas kekuasaan yang diwarisi oleh nabi Muhammad tentu muncul kriteria baru dalam kontekstasi ini, sebab secara sadar perebutan kuasa mungkin mulai sedikit bergeser dari kriteria kesukuan karena faktor spiritualitas menjadi kriteria yang paling utama. Menarik juga sebab faksi-faksi dalam tubuh ummat islam selalu hadir mewarnai perebutan kuasa tersebut, hingga klaim-klaim keberhakan atas penerus kepemimpinan nabi Muhammad menjadi suatu pemandangan yang menarik sebab disana ada konflik disetiap perjumpaan suksesi dan kontekstasi. Artinya bahwa warisan persatuan pasca nabi Muhammad wafat masih begitu rapuh apabila saling diperhadapkan pada kepentingan.
            Peristiwa kontekstasi dalam islam menjadi sebuah penanda bahwa nabi Muhammad belum menyiapkan secara matang formula atau ummat islam kala itu belum terlalu siap menerima perubahan besar yang tepat untuk mengarahkan suatu kontekstasi, sebab secara logis kesadaran kesukuan atau klan masih begitu besar mengalahkan kesadaran spiritual. Buktinya bahwa adanya pernyataan yang mengatakan yang berhak memimpin adalah dari kalangan Quraisy, artinya yang berada diluar itu tidak mendapat kesempatan. Melihat pergerakan dalam islam tentu akan sangat banyak berbicara faktor kesukuan yang merupakan warisan pra-islam. Hal ini menandakan rekontruksi nabi Muhammad menjadi ter-reduksi, padahal telah dicontohkan nabi Muhammad semua orang berhak untuk mendapatkan peran strategis dalam islam sebagaimana Bilal yang berkulit hitam dan Salman Al-Farisi yang orang Persia mendapatkan tempat dalam panggung yang tercatat dalam sejarah islam.
            Perdebatan panjang yang telah menjadi diskursus yang melelahkan apabila ranah politik islam hanya ditempatkan pada sisi islam tanpa mempertimbangkan pra-islam yang justru kemudian banyak mengatur ritme sejarah percaturan islam sebagai sebuah kekuatan politik baru. Nabi Muhammad secara politik banyak memodifikasi ataupun mengadopsi politik pergerakan yang terilhami dari suku Quraisy pra-islam, nabi Muhammad paham betul bahwa agama atau keyakinan memiliki kekuatan tersendiri untuk menggerakan suatu perubahan dan melahirkan keberanian. Memodifikasi sistem suku dengan persaudaraan kemanusiaan yang mencoba merangkul semua elemen yang ada, tentu hal ini tidak dapat dinafikan dengan do’a atau harapan nabi Muhammad supaya Umar dan Hamsah supaya masuk islam. Pertimbangan ini dilandasi oleh sistem atau kebiasaan suku Quraisy yang masih menganut sistem jawara atau pegulat dan tentu dengan kekuatan tersebut akan menambah daya tawar islam di mata suku Quraisy.
            Secara sederhananya bahwa islam masih menjadi pelanjut tradisi kesukuan Quraisy yang tentu dengan berbagai modifikasi, hal ini dapat dibuktikan bahwa Kabbah baik pra-islam maupun islam masih menempatkan sebagai simbol spiritual pada satu sisi dan lainnya sebagai simbol kekuasaan, ini menjadi penanda cita rasa faksi-faksi dalam tubuh islam masih versi lama dari fanatisme kesukuan.

            A. HENDRA DIMANSA adalah seorang mahasiswa yang saat ini sedang menempu jenjang pendidikan S1 di universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, sebelum melanjutkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi dia bersekolah di MAN 1 Sinjai Utara dengan basis pendidikan agama. Selain aktif sekolah aktifitasnya banyak di habiskan dengan kegiatan-kegiatan kepemudaan yang berbasis remaja mesjid. Akibatnya kesehariannya telah terbiasa bergelut dengan dunia islam hal ini dibuktikan dengan keaktifannya sebagai pembicara dari mimbar mesjid ke mimbar mesjid. Sehingga bias dari pergumulan itu membuatnya semakin tertantang bertanya ada apa dengan islam ?, apakah kemajuan menjadi barang langka dalam islam ?. Rasa penasarannya yang begitu tinggi membawanya berpetualang pada dunia pemikiran hal ini dibuktikan dengan memilih jurusan aqidah filsafat dengan bebas tes. Yang saat ini menjabat sebagai ketua HMJ AQIDAH FILSAFAT, redaktur buletin transendental  filsafat agama, bergelut diberbagai forum-forum kajian dan aktif mengirimkan tulisan keberbagai media baik cetak maupun elektronik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar