Jumat, 27 November 2015

Islam dan Postmodernisme

Islam dan postmodernisme
            Sebelum terlebih jauh kita membahas mengenai islam dan postmodernisme maka terlebih dahulu kita perlu membaca islam dalam berbagai perspektif, sehingga islam yang kita pahami bukan hanya mengarah pada satu pemahaman yang tunggal tetapi multi interpretasi terhadap islam. Oleh, karena itu perlu di pahami bahwa islam datang membawa semangat kritik terhadap kondisi sosial di mekkah kala itu. Tetapi postnabi muhammad ada suatu pertentangan dan pertarungan antara pihak-pihak yang menghendaki kemapanan (ats-tsabit) dan pihak yang menghendaki perubahan (al-mutahawwil) yang terjadi dalam sejarah pemikiran islam tidak bersifat dialektis, tetapi kontradiktif sehingga sering melahirkan represi dan tragedi. Dalam pertarungan tersebut , kemenangan memang berada di pihak yang mendukung kemapanan[1].
            Sehingga ada banyak pihak yang sering sekali menyuarakan mengenai modernisme dalam islam, puncaknya ketika terjadi gerakan pan-islamisme yang di suarakan oleh jamaluddin al-afgani kemudian di lanjutkan oleh muh. Abduh serta rasyid rida. Dalam kurun waktu tersebut corak pemikiran yang muncul adalah pembebasan islam terhadap kolonialisme dan gaung modernisme dalam islam. Kalau fase itu banyak berbicara pembebasan maka pada postmodernisme yang banyak di bicarakan adalah mengenai rekontruksi pemikiran keislaman yang telah dianggap mapan, tokoh yang muncul pada fase ini adalah mouhmoud arkoun.
            Postmodernisme yang terdiri dari dua kata yaitu post dan modern, post memiliki arti pasca sehingga postmodernisme dapat diartikan sebagai era pasca modern berupa gugatan terhadap  modernisme. Postmodernisme sebagai wacana pemikiran masih terus berkembang sebagai reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Istilah postmodernisme pertama kali muncul sebelum tahun 1926, sekitar 1870-an oleh seniman inggris bernama john watkins. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah postmodernisme telah di buat pada akhir tahun 1040 oleh sejarawan inggris, arnold toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru di gunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni asal amerika, charles jenck untuk menjelaskan gerakan anti modernisme.
            Dalam kajian postmodernisme mengisyaratkan pada dua hal yaitu postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern. Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang akan digantikan dengan zaman berikutnya, yaitu postmodern. Kedua postmodern dianggap sebagai gerakan intelektual yang mencoba menggugat, bahkan mendekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma pemikiran modern dengan pilar utamanya kekuatan rasionalitas manusia, hal ini ingin digugat karena telah menjebak manusia kepada absolutisme. Adapun inti pokok alur pemikiran postmodernisme adalah menentang segala hal yang bersifat kemutlakan, baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.
            Ciri-ciri struktur fundamental pemikiran postmodernisme yaitu dekontruktifisme hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan di era modern, relativisme namun hal ini ditentang oleh seyyed hoessein nasr menurutnya tidak ada relativisme yang absolut lantaran itu akan menghilangkan normativitas ajaran agama, pluralisme.
            Munculnya kesadaran baru dalam pemikiran islam di tengah arus global postmodernisme, dimana agama dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman maka pemikiran rasionalisme menjadi keharusan sejarah dalam mendekontruksi salah satu ciri postmodernisme. Maka dalam kacamata postmodernisme dekonstruksi pemahaman terhadap teks, dalam tradisi islam sejak awal diyakini bahwa teks itu tidak hanya terbatas pada kitab suci al-quran saja, alam raya juga teks, bahkan perilaku atau tradisi kenabian itu sendiri juga merupakan teks yang semuanya menyimpan dan hendak mengkomunikasikan makna dan pesan yang dikandungnya. Terdapat korelasi yang dialogis antara subjek (seorang muslim), teks alquran, tradisi kenabian dan realitas alam raya dengan hukumnya.
            Oleh, karena itu hasan hanafi merupakan salah satu dari sekian banyak intelektual muslim telah memulai untuk melakukan pengawasan terhadap kesadaran peradaban ummat islam, dekontruksi terhadap pembacaan teks, dekonstruksi terhadap peradaban barat yang diwujudkan sebagai kajian oksidentalisme dan dekonstruksi hukum islam.



                [1] Adonis arkeologi sejarah pemikiran arab-islam vol. 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar