MITOS
BUAYA MANUSIA SIMBOL HASRAT KUASA
Dalam tradisi tutur masyarakat Sulawesi Selatan sering
sekali kita mendapati tentang adanya cerita mengenai seorang ibu yang
melahirkan buaya, cerita ini mungkin secara sepintas bagi manusia modern hari
ini bisa saja dianggap sebagai sebuah mitos dan hal ini didasari atas
perkembangan ilmu kedokteran modern yang telah menemukan bahwa antara kromosom
manusia dan hewan memiliki perbedaan sehingga secara logis manusia melahirkan
buaya dianggap tidaklah mungkin terjadi.
Ada beberapa hal yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh
mengenai mitos buaya manusia tersebut dalam konteks kebudayaan, pertama buaya
menjadi simbol penguasa air dalam beberapa kebudayaan yang terbentuk dalam
sejarah menyebutkan bahwa ada banyak kebudayaan yang terlahir di pinggiran
aliran air sebut saja pinggiran sungai Nil yang melahirkan kebudayaan
Mesopotamia, hal ini menjadi petanda bahwa air menjadi simbol lahirnya sebuah
kebudayaan besar dan bahkan seorang filsuf Yunani memiliki pandangan bahwa
arche kehidupan berasal dari air. Kedua mitos buaya manusia secara pengungkapan
kesusastraan dapat menjadi sebuah simbol bahwa manusia memiliki otoriter dan
kuasa mengendalikan kosmos.
Buaya manusia menjadi sebuah simbol pelampauan kuasa
manusia atas mahluk hidup yang lain, mungkin mitos buaya manusia pada zamannya
adalah bentuk lain dari eksplorasi alam yang dilakukan oleh manusia. Sehingga
manusia menjadi pengendali kehidupan dan adanya rasa superior atas mahluk yang
lain. Implikasi dari mitos ini dapat berwajah buram apabila manusia
menafsirkannya sebagai simbol kuasa tetapi apabila manusia memandangnya sebagai
sebuah kesetaraan antara manusia dengan mahkluk lain, tetapi nyatanya manusia
malah memburu buaya untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan tas, sepatu dan
berbagai produk variannya, bukan cuman itu manusia juga hobi mengeksplorasi
sungai dengan tambang-tambang pasir yang secara lambat laun mengusik habitat
buaya.
Dalam ranah politik manusia bermental buaya manusia
memiliki implikasi kuasa yang tiada terkira, sebab buaya yang sangat terkenal
sebagai predator yang tampa kompromi apabila naik ke darat apalagi bila masuk
ke ranah politik membuat haus dengan kekuasaan, singkatnya sebagaimana
pandangan politik yang menyatakan bahwa homo homoni lupus bellung omnium contra
omnus yang berarti manusia dengan manusia lain bagai serigala yang saling
terkam. Menjadi sebuah problem tersendiri apabila watak-watak manusia yang
masuk pada dunia politik atau kekuasaan adalah manusia bermental buaya manusia
maka dia akan menjadi penguasa yang bengis dan rakus akan kekuasaan.
Secara geografis apabila kita berbicara mengenai buaya
manusia maka habitatnya mampu menyesuaikan dengan berbagai kondisi yang ada,
dalam kaca mata politik prilaku para politikus yang rame melakukan ekspansi
keberbagai simpul-simpul kehidupan sosial. Hal ini telah menjadi rahasia umum
bahwa seorang politisi bukan hanya memegang satu posisi ataupun jabatan publik
tetapi para politikus memiliki hasrat kuasa dan bahkan melakukan ekspansi
kekuasaan keberbagai simpul sosial. Ini menjadi petanda bahwa politkus
bermental buaya manusia bukan hanya menjadi mahluk yang memegang satu jabatan
publik tapi mampu hidup dalam berbagai posisi simpul kekuasaan.
Manusia yang pada hakikatnya juga memiliki tabiat sebagai
homo simbolicum sehingga buaya manusia bukan hanya sebatas simbol ungkapan
kesusastraan tetapi lebih dari itu, ada banyak selubung makna yang dapat
ditafsirkan dari mitos buaya manusia. sehingga dalam konteks pembacaan terhadap
buaya manusia yang dipenuhi hasrat kuasa mungkin akhir-akhir ini sebagai sebuah
bangsa kita dikejutkan oleh sebuah rekaman suara antara ketua DPR RI Setya
Novanto dengan pimpinan PT. Freport Indonesia dalam membahas kaitannya dengan
perpanjangan kontrak PT. Freport Indonesia yang kemudian disinyalir memiliki
dil-dil tertentu yang sangat merugikan bangsa ini. Bukan hal ini begitu
mencerminkan watak buaya manusia yang berwajah bengis dan buas akan kuasa.
Belum cukup masalah bangsa ini yang terkena bencana
kebakaran hutan yang menimbulkan masalah sosial, ada apa dengan kebakaran hutan
? bukankah pemerintah sering sekali meneriakkan go green tetapi ada pula
bencana kebakaran, kejadian ini telah memberi suatu bukti manusia ketika
bermental buaya manusia maka mengeksplorasi alam guna memenuhi hasrat kuasa
atas segala kehidupan.
Kita tentu sangat berharap agar mitos buaya manusia dapat
ditafsirkan sebagai kesetaraan antara manusia dengan mahluk lain, bukan malah
menjadikan manusia superior atas mahluk yang lain. Budaya kesetaraan tentunya
haruslah menjadi prinsip utama manusia bukan malah melegitimasi hasrat
superioritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar