Jumat, 20 November 2015

MITOS BUAYA MANUSIA SIMBOL HASRAT KUASA

MITOS BUAYA MANUSIA SIMBOL HASRAT KUASA
            Dalam tradisi tutur masyarakat Sulawesi Selatan sering sekali kita mendapati tentang adanya cerita mengenai seorang ibu yang melahirkan buaya, cerita ini mungkin secara sepintas bagi manusia modern hari ini bisa saja dianggap sebagai sebuah mitos dan hal ini didasari atas perkembangan ilmu kedokteran modern yang telah menemukan bahwa antara kromosom manusia dan hewan memiliki perbedaan sehingga secara logis manusia melahirkan buaya dianggap tidaklah mungkin terjadi.
            Ada beberapa hal yang menarik untuk ditelusuri lebih jauh mengenai mitos buaya manusia tersebut dalam konteks kebudayaan, pertama buaya menjadi simbol penguasa air dalam beberapa kebudayaan yang terbentuk dalam sejarah menyebutkan bahwa ada banyak kebudayaan yang terlahir di pinggiran aliran air sebut saja pinggiran sungai Nil yang melahirkan kebudayaan Mesopotamia, hal ini menjadi petanda bahwa air menjadi simbol lahirnya sebuah kebudayaan besar dan bahkan seorang filsuf Yunani memiliki pandangan bahwa arche kehidupan berasal dari air. Kedua mitos buaya manusia secara pengungkapan kesusastraan dapat menjadi sebuah simbol bahwa manusia memiliki otoriter dan kuasa mengendalikan kosmos.
            Buaya manusia menjadi sebuah simbol pelampauan kuasa manusia atas mahluk hidup yang lain, mungkin mitos buaya manusia pada zamannya adalah bentuk lain dari eksplorasi alam yang dilakukan oleh manusia. Sehingga manusia menjadi pengendali kehidupan dan adanya rasa superior atas mahluk yang lain. Implikasi dari mitos ini dapat berwajah buram apabila manusia menafsirkannya sebagai simbol kuasa tetapi apabila manusia memandangnya sebagai sebuah kesetaraan antara manusia dengan mahkluk lain, tetapi nyatanya manusia malah memburu buaya untuk dijadikan sebagai bahan pembuatan tas, sepatu dan berbagai produk variannya, bukan cuman itu manusia juga hobi mengeksplorasi sungai dengan tambang-tambang pasir yang secara lambat laun mengusik habitat buaya.
            Dalam ranah politik manusia bermental buaya manusia memiliki implikasi kuasa yang tiada terkira, sebab buaya yang sangat terkenal sebagai predator yang tampa kompromi apabila naik ke darat apalagi bila masuk ke ranah politik membuat haus dengan kekuasaan, singkatnya sebagaimana pandangan politik yang menyatakan bahwa homo homoni lupus bellung omnium contra omnus yang berarti manusia dengan manusia lain bagai serigala yang saling terkam. Menjadi sebuah problem tersendiri apabila watak-watak manusia yang masuk pada dunia politik atau kekuasaan adalah manusia bermental buaya manusia maka dia akan menjadi penguasa yang bengis dan rakus akan kekuasaan.
            Secara geografis apabila kita berbicara mengenai buaya manusia maka habitatnya mampu menyesuaikan dengan berbagai kondisi yang ada, dalam kaca mata politik prilaku para politikus yang rame melakukan ekspansi keberbagai simpul-simpul kehidupan sosial. Hal ini telah menjadi rahasia umum bahwa seorang politisi bukan hanya memegang satu posisi ataupun jabatan publik tetapi para politikus memiliki hasrat kuasa dan bahkan melakukan ekspansi kekuasaan keberbagai simpul sosial. Ini menjadi petanda bahwa politkus bermental buaya manusia bukan hanya menjadi mahluk yang memegang satu jabatan publik tapi mampu hidup dalam berbagai posisi simpul kekuasaan.
            Manusia yang pada hakikatnya juga memiliki tabiat sebagai homo simbolicum sehingga buaya manusia bukan hanya sebatas simbol ungkapan kesusastraan tetapi lebih dari itu, ada banyak selubung makna yang dapat ditafsirkan dari mitos buaya manusia. sehingga dalam konteks pembacaan terhadap buaya manusia yang dipenuhi hasrat kuasa mungkin akhir-akhir ini sebagai sebuah bangsa kita dikejutkan oleh sebuah rekaman suara antara ketua DPR RI Setya Novanto dengan pimpinan PT. Freport Indonesia dalam membahas kaitannya dengan perpanjangan kontrak PT. Freport Indonesia yang kemudian disinyalir memiliki dil-dil tertentu yang sangat merugikan bangsa ini. Bukan hal ini begitu mencerminkan watak buaya manusia yang berwajah bengis dan buas akan kuasa.
            Belum cukup masalah bangsa ini yang terkena bencana kebakaran hutan yang menimbulkan masalah sosial, ada apa dengan kebakaran hutan ? bukankah pemerintah sering sekali meneriakkan go green tetapi ada pula bencana kebakaran, kejadian ini telah memberi suatu bukti manusia ketika bermental buaya manusia maka mengeksplorasi alam guna memenuhi hasrat kuasa atas segala kehidupan.

            Kita tentu sangat berharap agar mitos buaya manusia dapat ditafsirkan sebagai kesetaraan antara manusia dengan mahluk lain, bukan malah menjadikan manusia superior atas mahluk yang lain. Budaya kesetaraan tentunya haruslah menjadi prinsip utama manusia bukan malah melegitimasi hasrat superioritas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar