Senin, 30 November 2015

Arkeologi Manusia Kampus Citra "Bassi Toa"

Arkeologi Manusia Kampus Citra “Bassi Toa”
            Kampus adalah tempat penyemaian calon-calon intelektual muda yang akan memberikan pencerahan ditengah krisis multidimensi dalam kehidupan baik sebagai warga negara maupun sebagai ummat beragama seolah telah kehilangan substansi yang ingin dituju sebagai seorang warga negara apalagi sebagai ummat beragama. Kehilangan disorientasi dalam kehidupan sosial ini menjadi suatu problem tersendiri yang tengah dihadapi bangsa dan kaum beragama, kehadiran kampus amatlah diharapkan sebagai sebuah sumber pencerahan diera kontemporer ini tetapi ada banyak kasus yang seolah mematahkan harapan besar itu.
            Manusia kampus yang secara asal usul berasal dari kalangan pemuda baik yang terlahir dalam kehidupan sebagai kelas bawah, menengah dan sedang, mari kita mencoba menyimak lebih jauh tentang kampus-kampus yang menjadi tumpuan harapan untuk melahirkan kaum-kaum yang tercerahkan. Dalam pandangan Michel Foucault bahwa ada yang dimaksud relasi antara pengetahuan dan kuasa, seolah membenarkan pandangan Michel Foucault bahwa dunia kampus hari ini telah banyak menodai idealisme dunia pendidikan sebagaimana praktik-praktik yang telah menjadi rahasia umum bahwa kampus favorit hanya untuk mereka yang bermodal, bahkan ada jatah-jatah pejabat kala momentum pemerimaan mahasiswa baru. Ini menjadi sebuah penanda terjadinya sebuah pergeseran paradigma bahwa pendidikan untuk semua kalangan menjadi sebuah komoditi kelas yang hanya bisa dinikmati kalangan kelas tertentu.
            Pemandangan yang menarik dalam dunia pendidikan bahwa antara kampus elit dan kampus pinggiran telah menimbulkan ketimpangan dalam dunia intelektual, seharusnya yang menjadi pertimbangan pokok dalam penerimaan mahasiswa baru itu terletak pada intelektual bukan pertimbangan atau dilandasi hubungan, entah karena hubungan material maupun hubungan emosional dengan kondisi ini masihkah kita punya harapan pada kampus ? sebagai tempat penyemaian calon-calon intelektual. Artinya mekanisme dalam dunia pendidikan hari ini memiliki masalah yang tampaknya masih memiliki akar kesejarahan dari budaya orde baru. Apabila praktek-praktek semacam itu masih memiliki tempat di dunia kampus maka ini menjadi sejarah kelam dalam dunia kampus, sebab kampus yang menyuarakan perubahan namun kampus menjadi status quo dan perlu menjadi catatan bahwa hasrat muda para mahasiswa tampaknya menghendaki perubahan tetapi zona kenyamanan yang menjadi wilayah basis dosen/birokrasi kampus.
            Ada yang menarik bahwa kampus elit menjadi domain para pemilik modal, pemilik jaringan dan singkatnya modus elit menjadi hakikat di dalamnya. Kampus menjadi penyuplai lahirnya tenaga-tenaga profesional ditengah masyarakat, tetapi yang mesti dipertanyakan bahwa apakah kampus elit berhasil melakukan transformasi dalam melahirkan outpun kepada masyarakat ?. Pertanyaan selanjutnya bahwa apakah hakikat kampus itu bermerek atau outpunya yang bermerek ? kebanyakan kampus elit hanya menghasilkan output dengan gengsi tetapi terkadang kering substansi keilmuan, orientasi kebanyakan mahasiswa adalah belajar dengan menghasilkan predikat cum laude, lalu mengambil beasiswa keluar negeri dan menikmati pendidikan ala barat, tetapi pertanyaannya apakah sumbangsi output semacam ini kepada masyarakat ?. Kampus dan mahasiswa senantiasa disebut sebagai miniatur negara tetapi yang menjadi pertanyaan masih layakkah kampus dianggap sebagai miniatur negara yang tingkah laku mahasiswanya sering kali mereprentasikan kehidupan rimba yang tak mengenal aturan, mungkinkah reprentasi semacam itu yang terjadi di kampus sehingga terjadi misorientasi.
            Hal, ini amatlah berbeda dengan pandangan Aguste Comte yang menyatakan bahwa tahapan dalam kehidupan masyarakat dimulai dari tahap teologi, mistik dan positivistik. Apabila bertolak dari pandangan ini maka dunia kampus selayaknya telah berada pada tataran positivistik dalam artian kampus haruslah berbau ilmiah, sehingga hasrat dan daya intelektual bisa mengalami kemajuan serta masyarakat bisa lebih modern pada tataran pemikiran. Mahasiswa sudah harus berpikir untuk menjadi agen pelopor dikemudian hari ketika berada pada masyarakat, terkadang masalah utama ketika berada pada masyarakat adalah pandangan-pandangan yang mengungkung sehingga transformasi perubahan kadang kala berbenturan dengan harapan masyarakat. Sehingga masalah utamanya bagaimana mahasiswa mampu merubah paradigma berpikir masyarakat yang masih berkutak pada wilayah teologi dan mistik, sehingga pandangan seperti teologi dan mistik apabila dipahami secara ekstrim oleh masyarakat maka ini dapat menjadi penghambat kemajuan.
            Berdasarkan pada realita yang terjadi bahwa mahasiswa dan kampus telah berubah menjadi individulistik yang egois, sehingga terkadang ada jarak antara manusia kampus dengan masyarakat luas dan kampus elit dengan kampus pinggiran. Bukan cuman itu antara mahasiswa ipk tinggi dengan ipk rendah, dikalangan birokrasi pula terjadi kelas antara pemegang jabatan dan bawahan. Singkatnya telah terjadi perangkat-perangkat kelas dalam tubuh kampus yang tidak produktif, persaingan yang tidak humanistik membuat adanya problem besar yang terjadi dikalangan kampus. Kegagalan terbesar kampus adalah ketika hanya mencetak mahasiswa bermerek ijazah tapi tidak memiliki soft skill dari lulusan yang dihasilkannya. Mahasiswa selama ini senantiasa berteriak dijalan-jalan untuk meneriakkan aspirasi tetapi senantiasa pula kita mendapati bahwa masyarakat pula yang menjadi korban dari demonstrasi dijalan, sehingga skill mahasiswa yang begitu mencolok adalah retorika dan kebanyakan mereka bermimpi menjadi politisi, apakah masyarakat hanya butuh politisi ? tentu segala lini dibutuhkan untuk memberikan pencerahan tetapi nyatanya idealisme mahasisawa kadang kala memudar sehingga ruh dari pergerakan mahasiswa sebagai agen of changeng/agen perubahan menjadi sebuah mitos yang senantiasa diproduksi ulang untuk menunjukan superioritas mahasiswa dibandingkan yang lainnya.
            Kampus yang kemudian mengalami kegagalan transformasi dalam memberikan perubahan kepada mahasiswa, indikasi ini dapat dilihat seperti mahasiswa masih cenderung primitif dalam menyelesaikan masalah dan budaya kekerasan masih menjadi bagian dari sikap mahasiswa, sehingga perubahan yang senantiasa diharapkan lahir dari mahasiswa menjadi kian hari makin luntur sebab perubahan yang lahir dari tangan mahasiswa cenderung anarkisme. Budaya yang juga amat memiriskan adalah adanya praktik-praktik uang yang beredar dikalangan kampus untuk memberikan ijazah dengan modus transaksi jual beli ijazah.
            Membaca arkeologi manusia kampus terlebih dahulu perlu dipahami bahwa arkeologi secara sederhananya dapat diartikan sebagai peninggalan masa lalu, kaitanya dengan arkeologi manusia kampus citra “bassi toa” dapat dimaknai sebagai kampus yang masih memiliki pandangan yang primitif, menolak KKN tetapi pada satu sisi mempraktekannya dan mengharapkan egaliter tetapi fakta berbicara lain. Ini menandakan manusia kampus masih berada pada landasan lama (baca bassi toa), yang gagal melakukan reformasi secara internal ataukah status quo memang memiliki citra bassi toa yang diperankan oleh birokrasi atau dosen. Praktik perkuliahan misalnya yang masih menempatkan dosen secara superior dapat menjadi penghambat terjadinya proses kreatif yang dimiliki oleh mahasiswa yang kemudian mengalami inferior.
            Keberhasilan kampus tidak terletak pada berapa mahasiswa yang berhasil selesai dalam satu tahun, tetapi keberhasilan itu dinilai sejauh mana lulusan itu mampu menunjukan keberhasilan dalam pengabdian pada masyarakat dengan bekal ilmunya, bukan malah mahasiswa atau outputnya mampu memecahkan masalah dengan pendekatan keilmuannya. Budaya pendidikan amat menentukan dalam menjawab semua tantangan tersebut dan apabila kampus hanya melahirkan pemilik ijazah bukan pemilik ilmu berarti kampus telah kehilangan ruh pencerahan. Mahasiswa sukses bukan sekedar bawa ijazah tetapi mampukah simbol-simbol nilai pada ijazah itu memberikan perubahan bukan retorika.

            Selama mahasiswa masih berkutat pada wilayah itu, tanpa mau melakukan pelampauan maka selamanya mahasiswa dan kampus hanya bentuk laku seremonial yang tidak produktif. Kampus harus memberikan cetakan segar bukan cetakan lama yang bercitra bassi toa sehingga tidak mengalami perkembangan, dalam artian status quo tersebut menempati posisi utama bukan laku pendobrak perubahan sebagaimana tercita-citakan selama ini. Kampus yang terbayang sebagai pusat kajian berubah menjadi pusat keganjilan, sebab mahasiswa mendaku sebagai mahluk rasional tetapi tindakan menunjukan laku primitif dan mahasiswa anti kemapanan tetapi memapankan senioritas, ini menunjukan adanya arkeologi bassi tua yang membuat dunia kampus semakin menunjukan kelapukan dan ilusi dari agen of changeng yang selama ini berhasil dimitoskan pada batok kepala mahasiswa yang selama ini berteriak rasionalitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar