Arkeologi
Manusia Kampus Citra “Bassi Toa”
Kampus adalah tempat penyemaian calon-calon intelektual
muda yang akan memberikan pencerahan ditengah krisis multidimensi dalam
kehidupan baik sebagai warga negara maupun sebagai ummat beragama seolah telah kehilangan
substansi yang ingin dituju sebagai seorang warga negara apalagi sebagai ummat
beragama. Kehilangan disorientasi dalam kehidupan sosial ini menjadi suatu
problem tersendiri yang tengah dihadapi bangsa dan kaum beragama, kehadiran
kampus amatlah diharapkan sebagai sebuah sumber pencerahan diera kontemporer
ini tetapi ada banyak kasus yang seolah mematahkan harapan besar itu.
Manusia kampus yang secara asal usul berasal dari
kalangan pemuda baik yang terlahir dalam kehidupan sebagai kelas bawah, menengah
dan sedang, mari kita mencoba menyimak lebih jauh tentang kampus-kampus yang
menjadi tumpuan harapan untuk melahirkan kaum-kaum yang tercerahkan. Dalam
pandangan Michel Foucault bahwa ada yang dimaksud relasi antara pengetahuan dan
kuasa, seolah membenarkan pandangan Michel Foucault bahwa dunia kampus hari ini
telah banyak menodai idealisme dunia pendidikan sebagaimana praktik-praktik
yang telah menjadi rahasia umum bahwa kampus favorit hanya untuk mereka yang
bermodal, bahkan ada jatah-jatah pejabat kala momentum pemerimaan mahasiswa
baru. Ini menjadi sebuah penanda terjadinya sebuah pergeseran paradigma bahwa
pendidikan untuk semua kalangan menjadi sebuah komoditi kelas yang hanya bisa
dinikmati kalangan kelas tertentu.
Pemandangan yang menarik dalam dunia pendidikan bahwa
antara kampus elit dan kampus pinggiran telah menimbulkan ketimpangan dalam
dunia intelektual, seharusnya yang menjadi pertimbangan pokok dalam penerimaan
mahasiswa baru itu terletak pada intelektual bukan pertimbangan atau dilandasi
hubungan, entah karena hubungan material maupun hubungan emosional dengan
kondisi ini masihkah kita punya harapan pada kampus ? sebagai tempat penyemaian
calon-calon intelektual. Artinya mekanisme dalam dunia pendidikan hari ini
memiliki masalah yang tampaknya masih memiliki akar kesejarahan dari budaya
orde baru. Apabila praktek-praktek semacam itu masih memiliki tempat di dunia
kampus maka ini menjadi sejarah kelam dalam dunia kampus, sebab kampus yang
menyuarakan perubahan namun kampus menjadi status quo dan perlu menjadi catatan
bahwa hasrat muda para mahasiswa tampaknya menghendaki perubahan tetapi zona
kenyamanan yang menjadi wilayah basis dosen/birokrasi kampus.
Ada yang menarik bahwa kampus elit menjadi domain para
pemilik modal, pemilik jaringan dan singkatnya modus elit menjadi hakikat di
dalamnya. Kampus menjadi penyuplai lahirnya tenaga-tenaga profesional ditengah
masyarakat, tetapi yang mesti dipertanyakan bahwa apakah kampus elit berhasil
melakukan transformasi dalam melahirkan outpun kepada masyarakat ?. Pertanyaan
selanjutnya bahwa apakah hakikat kampus itu bermerek atau outpunya yang
bermerek ? kebanyakan kampus elit hanya menghasilkan output dengan gengsi
tetapi terkadang kering substansi keilmuan, orientasi kebanyakan mahasiswa
adalah belajar dengan menghasilkan predikat cum laude, lalu mengambil beasiswa
keluar negeri dan menikmati pendidikan ala barat, tetapi pertanyaannya apakah
sumbangsi output semacam ini kepada masyarakat ?. Kampus dan mahasiswa
senantiasa disebut sebagai miniatur negara tetapi yang menjadi pertanyaan masih
layakkah kampus dianggap sebagai miniatur negara yang tingkah laku mahasiswanya
sering kali mereprentasikan kehidupan rimba yang tak mengenal aturan,
mungkinkah reprentasi semacam itu yang terjadi di kampus sehingga terjadi
misorientasi.
Hal, ini amatlah berbeda dengan pandangan Aguste Comte
yang menyatakan bahwa tahapan dalam kehidupan masyarakat dimulai dari tahap
teologi, mistik dan positivistik. Apabila bertolak dari pandangan ini maka
dunia kampus selayaknya telah berada pada tataran positivistik dalam artian
kampus haruslah berbau ilmiah, sehingga hasrat dan daya intelektual bisa
mengalami kemajuan serta masyarakat bisa lebih modern pada tataran pemikiran.
Mahasiswa sudah harus berpikir untuk menjadi agen pelopor dikemudian hari
ketika berada pada masyarakat, terkadang masalah utama ketika berada pada
masyarakat adalah pandangan-pandangan yang mengungkung sehingga transformasi
perubahan kadang kala berbenturan dengan harapan masyarakat. Sehingga masalah
utamanya bagaimana mahasiswa mampu merubah paradigma berpikir masyarakat yang
masih berkutak pada wilayah teologi dan mistik, sehingga pandangan seperti
teologi dan mistik apabila dipahami secara ekstrim oleh masyarakat maka ini
dapat menjadi penghambat kemajuan.
Berdasarkan pada realita yang terjadi bahwa mahasiswa dan
kampus telah berubah menjadi individulistik yang egois, sehingga terkadang ada
jarak antara manusia kampus dengan masyarakat luas dan kampus elit dengan
kampus pinggiran. Bukan cuman itu antara mahasiswa ipk tinggi dengan ipk
rendah, dikalangan birokrasi pula terjadi kelas antara pemegang jabatan dan
bawahan. Singkatnya telah terjadi perangkat-perangkat kelas dalam tubuh kampus
yang tidak produktif, persaingan yang tidak humanistik membuat adanya problem
besar yang terjadi dikalangan kampus. Kegagalan terbesar kampus adalah ketika
hanya mencetak mahasiswa bermerek ijazah tapi tidak memiliki soft skill dari
lulusan yang dihasilkannya. Mahasiswa selama ini senantiasa berteriak
dijalan-jalan untuk meneriakkan aspirasi tetapi senantiasa pula kita mendapati
bahwa masyarakat pula yang menjadi korban dari demonstrasi dijalan, sehingga
skill mahasiswa yang begitu mencolok adalah retorika dan kebanyakan mereka
bermimpi menjadi politisi, apakah masyarakat hanya butuh politisi ? tentu
segala lini dibutuhkan untuk memberikan pencerahan tetapi nyatanya idealisme
mahasisawa kadang kala memudar sehingga ruh dari pergerakan mahasiswa sebagai
agen of changeng/agen perubahan menjadi sebuah mitos yang senantiasa diproduksi
ulang untuk menunjukan superioritas mahasiswa dibandingkan yang lainnya.
Kampus yang kemudian mengalami kegagalan transformasi
dalam memberikan perubahan kepada mahasiswa, indikasi ini dapat dilihat seperti
mahasiswa masih cenderung primitif dalam menyelesaikan masalah dan budaya
kekerasan masih menjadi bagian dari sikap mahasiswa, sehingga perubahan yang
senantiasa diharapkan lahir dari mahasiswa menjadi kian hari makin luntur sebab
perubahan yang lahir dari tangan mahasiswa cenderung anarkisme. Budaya yang
juga amat memiriskan adalah adanya praktik-praktik uang yang beredar dikalangan
kampus untuk memberikan ijazah dengan modus transaksi jual beli ijazah.
Membaca arkeologi manusia kampus terlebih dahulu perlu
dipahami bahwa arkeologi secara sederhananya dapat diartikan sebagai
peninggalan masa lalu, kaitanya dengan arkeologi manusia kampus citra “bassi
toa” dapat dimaknai sebagai kampus yang masih memiliki pandangan yang primitif,
menolak KKN tetapi pada satu sisi mempraktekannya dan mengharapkan egaliter
tetapi fakta berbicara lain. Ini menandakan manusia kampus masih berada pada
landasan lama (baca bassi toa), yang gagal melakukan reformasi secara internal
ataukah status quo memang memiliki citra bassi toa yang diperankan oleh
birokrasi atau dosen. Praktik perkuliahan misalnya yang masih menempatkan dosen
secara superior dapat menjadi penghambat terjadinya proses kreatif yang
dimiliki oleh mahasiswa yang kemudian mengalami inferior.
Keberhasilan kampus tidak terletak pada berapa mahasiswa
yang berhasil selesai dalam satu tahun, tetapi keberhasilan itu dinilai sejauh
mana lulusan itu mampu menunjukan keberhasilan dalam pengabdian pada masyarakat
dengan bekal ilmunya, bukan malah mahasiswa atau outputnya mampu memecahkan
masalah dengan pendekatan keilmuannya. Budaya pendidikan amat menentukan dalam
menjawab semua tantangan tersebut dan apabila kampus hanya melahirkan pemilik
ijazah bukan pemilik ilmu berarti kampus telah kehilangan ruh pencerahan.
Mahasiswa sukses bukan sekedar bawa ijazah tetapi mampukah simbol-simbol nilai
pada ijazah itu memberikan perubahan bukan retorika.
Selama mahasiswa masih berkutat pada wilayah itu, tanpa
mau melakukan pelampauan maka selamanya mahasiswa dan kampus hanya bentuk laku
seremonial yang tidak produktif. Kampus harus memberikan cetakan segar bukan
cetakan lama yang bercitra bassi toa sehingga tidak mengalami perkembangan,
dalam artian status quo tersebut menempati posisi utama bukan laku pendobrak
perubahan sebagaimana tercita-citakan selama ini. Kampus yang terbayang sebagai
pusat kajian berubah menjadi pusat keganjilan, sebab mahasiswa mendaku sebagai
mahluk rasional tetapi tindakan menunjukan laku primitif dan mahasiswa anti
kemapanan tetapi memapankan senioritas, ini menunjukan adanya arkeologi bassi
tua yang membuat dunia kampus semakin menunjukan kelapukan dan ilusi dari agen
of changeng yang selama ini berhasil dimitoskan pada batok kepala mahasiswa
yang selama ini berteriak rasionalitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar