Senin, 30 November 2015

Pengetahuan dan Kuasa

Pengetahuan dan Kuasa
            Ada yang menjadi sebuah pernyataan yang menarik untuk dibicarakan lebih jauh yakni apakah pengetahuan itu bebas nilai atau memiliki pengaruh subjektif ? apabila pengetahuan itu menjadi bebas nilai maka pertanyaannya apakah ada jaminan apabila seorang ilmuan bebas dari pandangan-pandangan subjektivnya ? ataukah yang dimaksud sebagai bebas nilai ialah netral dari kepentingan tetapi ketika netral maka itupun pada dasarnya memiliki kepentingan yakni mampu berada pada lingkungan yang beragam, baik secara afiliasi agama, ekonomi dan politik. Perlunya kita mencermati lebih jauh menyangkut masalah ini, sebab menjadi sebuah kesadaran kritis dunia pendidikan selama ini banyak disponsori oleh pemerintah, sehingga menjadi sebuah pertanyaan apakah pemerintah betu-betul hadir untuk pengetahuan atau demi menjaga kepentingan politiknya ?.
            Pertanyaan mendasarnya apakah pengetahuan dan kuasa memiliki relasi ? berbicara masalah ini tentu memiliki banyak sudut pandang, tetapi perlu menjadi sebuah catatan bahwa sebuah pengetahuan apabila ingin dikembangkan kadang kala harus mempertimbangkan aspek kekuasaan, dibanyak tempat telah membuktikan bahwa dengan pengetahuan yang berbeda pandangan dengan penguasa menyebabkan seorang ilmuan harus mengakhiri hidupnya dengan secangkir racun, ini menjadi semacam petanda bahwa dengan pengetahuan yang pada dasarnya mendidik manusia tetapi yang menjadi masalah pengetahuan baru lebih menarik simpatik kalangan tertentu dibandingkan pandangan lama. Singkatnya manusia memang butuh pengetahuan tetapi perlu disadari semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit sedangkan kekuasaan membutuhkan manusia berketerampilan yang semua itu berawal dari pendidikan.
            Melihat pengetahuan yang secara idealisme memang harus bebas nilai tetapi apakah kekuasaan dapat berjalan tanpa pengetahuan, uraian ini hendak mengatakan bahwa pengetahuan butuh institusional untuk melembagakan dan menjadikan pendidikan sebagai aspek utamanya. Namun, menjadi menarik apabila diperbincankan mengenai hubungan kedunya, sebab pengetahuan butuh sokongan dana sedangkan politik/kuasa membutuhkan manusia yang tercerahkan untuk mengelola negara, tetapi yang perlu disoroti bersama bahwa pendidikan adalah pembebas dari berbagai keterkungkungan yang masih membelenggu seperti itu idealnya pendidikan yang menempatkan intelektualitas untuk menopang kekuasaan, tetapi dunia realitas terkadang berbicara lain kemudian pertanyaannya mampukah pengetahuan menjadi pembebas dan meruntuhkan dominasi sektarian yang tidak menempatkan intelektualitas sebagai pengelola kekuasaan.
            Dalam kasus bangsa Indonesia kala masih berada pada pemerintahan kolonial Belanda, menunjukan suatu realita kekuasaan yang menjadikan pengetahuan yang dipenuhi hasrat kuasa. Sebagaimana tercatat dalam tinta perjalanan sejarah bangsa menunjukan bagaimana kaum pribumi disekolahkan untuk di tempatkan pada instansi pemerintah kolonial dan kaum pribumi merasa terangkat derajatnya tetapi aspek lainnya penjajah mencoba memecah belah bangsa dengan menjadikan kaum pribumi yang telah menempuh dunia pendidikan akhirnya menjadi perpanjangan tangan kaum kolonial dan ini memberikan efek rasa saling curiga antara satu sama lain. Artinya dengan pengetahuan kaum penjajah secara perlahan namun pasti menciptakan ketegangan diantara kaum pribumi. Strategi semacam ini sebetulnya sangatlah efektiv untuk menghemat kekuatan dalam membendung potensi pemberontakan ditengah masyarakat. Dengan memberikan akses pendidikan kepada kaum pribumi secara simbolistik pemerintah kolonial hendak berkata bahwa sekarang antara kaum penjajah dan pribumi memiliki kesetaraan dalam dunia pendidikan, sehingga memberikan kebanggaan kepada kaum pribumi bahwa dirinya telah sejajah dengan kaum penjajah.

            Pendidikan dalam konteks pemerintah kolonial adalah proyek untuk mengontrol kaum pribumi dan berusaha menunjukan wajah manis kepada kaum pribumi yang pada akhirnya kaum terdidik ala pemerintah kolonial menjadi agen-agen penjajah untuk memecah belah antar pribumi. Mungkin dalam konteks sekarang pendidikan masih terjajah dengan memberikan mahasiswa beasiswa yang mempersyaratkan untuk tidak ikut aksi demonstrasi apakah ini bentuk penjajahan baru di dunia pendidikan ? apabila praktik-praktik semacam ini masih terjadi dalam dunia pendidikan itu maknanya kita masih terjajah sebab kesetaraan hanyalah simbolistik bukan substansi yang hadir. Banyak program-program penguasa untuk memberikan hak yang sama dalam dunia pendidikan seperti pendidikan gratis tetapi anak jalanan tetap saja banyak yang tidak mendapatkan hak untuk menikmati dunia pendidikan. Artinya pendidikan adalah untuk menina bobokkan daya kritis sehingga kebebasan ditekan melalui obat penenang yang berbentuk beasiswa yang bagai morfin untuk mencandu sehingga terjadi keterlenaan dan membuat garis pemisah antara kaum terdidik dengan masyarakat umum. Membuat output pendidikan menjadi bangsawan baru ditengah masyarakat kemudian menghegemoni kelas.

Arkeologi Manusia Kampus Citra "Bassi Toa"

Arkeologi Manusia Kampus Citra “Bassi Toa”
            Kampus adalah tempat penyemaian calon-calon intelektual muda yang akan memberikan pencerahan ditengah krisis multidimensi dalam kehidupan baik sebagai warga negara maupun sebagai ummat beragama seolah telah kehilangan substansi yang ingin dituju sebagai seorang warga negara apalagi sebagai ummat beragama. Kehilangan disorientasi dalam kehidupan sosial ini menjadi suatu problem tersendiri yang tengah dihadapi bangsa dan kaum beragama, kehadiran kampus amatlah diharapkan sebagai sebuah sumber pencerahan diera kontemporer ini tetapi ada banyak kasus yang seolah mematahkan harapan besar itu.
            Manusia kampus yang secara asal usul berasal dari kalangan pemuda baik yang terlahir dalam kehidupan sebagai kelas bawah, menengah dan sedang, mari kita mencoba menyimak lebih jauh tentang kampus-kampus yang menjadi tumpuan harapan untuk melahirkan kaum-kaum yang tercerahkan. Dalam pandangan Michel Foucault bahwa ada yang dimaksud relasi antara pengetahuan dan kuasa, seolah membenarkan pandangan Michel Foucault bahwa dunia kampus hari ini telah banyak menodai idealisme dunia pendidikan sebagaimana praktik-praktik yang telah menjadi rahasia umum bahwa kampus favorit hanya untuk mereka yang bermodal, bahkan ada jatah-jatah pejabat kala momentum pemerimaan mahasiswa baru. Ini menjadi sebuah penanda terjadinya sebuah pergeseran paradigma bahwa pendidikan untuk semua kalangan menjadi sebuah komoditi kelas yang hanya bisa dinikmati kalangan kelas tertentu.
            Pemandangan yang menarik dalam dunia pendidikan bahwa antara kampus elit dan kampus pinggiran telah menimbulkan ketimpangan dalam dunia intelektual, seharusnya yang menjadi pertimbangan pokok dalam penerimaan mahasiswa baru itu terletak pada intelektual bukan pertimbangan atau dilandasi hubungan, entah karena hubungan material maupun hubungan emosional dengan kondisi ini masihkah kita punya harapan pada kampus ? sebagai tempat penyemaian calon-calon intelektual. Artinya mekanisme dalam dunia pendidikan hari ini memiliki masalah yang tampaknya masih memiliki akar kesejarahan dari budaya orde baru. Apabila praktek-praktek semacam itu masih memiliki tempat di dunia kampus maka ini menjadi sejarah kelam dalam dunia kampus, sebab kampus yang menyuarakan perubahan namun kampus menjadi status quo dan perlu menjadi catatan bahwa hasrat muda para mahasiswa tampaknya menghendaki perubahan tetapi zona kenyamanan yang menjadi wilayah basis dosen/birokrasi kampus.
            Ada yang menarik bahwa kampus elit menjadi domain para pemilik modal, pemilik jaringan dan singkatnya modus elit menjadi hakikat di dalamnya. Kampus menjadi penyuplai lahirnya tenaga-tenaga profesional ditengah masyarakat, tetapi yang mesti dipertanyakan bahwa apakah kampus elit berhasil melakukan transformasi dalam melahirkan outpun kepada masyarakat ?. Pertanyaan selanjutnya bahwa apakah hakikat kampus itu bermerek atau outpunya yang bermerek ? kebanyakan kampus elit hanya menghasilkan output dengan gengsi tetapi terkadang kering substansi keilmuan, orientasi kebanyakan mahasiswa adalah belajar dengan menghasilkan predikat cum laude, lalu mengambil beasiswa keluar negeri dan menikmati pendidikan ala barat, tetapi pertanyaannya apakah sumbangsi output semacam ini kepada masyarakat ?. Kampus dan mahasiswa senantiasa disebut sebagai miniatur negara tetapi yang menjadi pertanyaan masih layakkah kampus dianggap sebagai miniatur negara yang tingkah laku mahasiswanya sering kali mereprentasikan kehidupan rimba yang tak mengenal aturan, mungkinkah reprentasi semacam itu yang terjadi di kampus sehingga terjadi misorientasi.
            Hal, ini amatlah berbeda dengan pandangan Aguste Comte yang menyatakan bahwa tahapan dalam kehidupan masyarakat dimulai dari tahap teologi, mistik dan positivistik. Apabila bertolak dari pandangan ini maka dunia kampus selayaknya telah berada pada tataran positivistik dalam artian kampus haruslah berbau ilmiah, sehingga hasrat dan daya intelektual bisa mengalami kemajuan serta masyarakat bisa lebih modern pada tataran pemikiran. Mahasiswa sudah harus berpikir untuk menjadi agen pelopor dikemudian hari ketika berada pada masyarakat, terkadang masalah utama ketika berada pada masyarakat adalah pandangan-pandangan yang mengungkung sehingga transformasi perubahan kadang kala berbenturan dengan harapan masyarakat. Sehingga masalah utamanya bagaimana mahasiswa mampu merubah paradigma berpikir masyarakat yang masih berkutak pada wilayah teologi dan mistik, sehingga pandangan seperti teologi dan mistik apabila dipahami secara ekstrim oleh masyarakat maka ini dapat menjadi penghambat kemajuan.
            Berdasarkan pada realita yang terjadi bahwa mahasiswa dan kampus telah berubah menjadi individulistik yang egois, sehingga terkadang ada jarak antara manusia kampus dengan masyarakat luas dan kampus elit dengan kampus pinggiran. Bukan cuman itu antara mahasiswa ipk tinggi dengan ipk rendah, dikalangan birokrasi pula terjadi kelas antara pemegang jabatan dan bawahan. Singkatnya telah terjadi perangkat-perangkat kelas dalam tubuh kampus yang tidak produktif, persaingan yang tidak humanistik membuat adanya problem besar yang terjadi dikalangan kampus. Kegagalan terbesar kampus adalah ketika hanya mencetak mahasiswa bermerek ijazah tapi tidak memiliki soft skill dari lulusan yang dihasilkannya. Mahasiswa selama ini senantiasa berteriak dijalan-jalan untuk meneriakkan aspirasi tetapi senantiasa pula kita mendapati bahwa masyarakat pula yang menjadi korban dari demonstrasi dijalan, sehingga skill mahasiswa yang begitu mencolok adalah retorika dan kebanyakan mereka bermimpi menjadi politisi, apakah masyarakat hanya butuh politisi ? tentu segala lini dibutuhkan untuk memberikan pencerahan tetapi nyatanya idealisme mahasisawa kadang kala memudar sehingga ruh dari pergerakan mahasiswa sebagai agen of changeng/agen perubahan menjadi sebuah mitos yang senantiasa diproduksi ulang untuk menunjukan superioritas mahasiswa dibandingkan yang lainnya.
            Kampus yang kemudian mengalami kegagalan transformasi dalam memberikan perubahan kepada mahasiswa, indikasi ini dapat dilihat seperti mahasiswa masih cenderung primitif dalam menyelesaikan masalah dan budaya kekerasan masih menjadi bagian dari sikap mahasiswa, sehingga perubahan yang senantiasa diharapkan lahir dari mahasiswa menjadi kian hari makin luntur sebab perubahan yang lahir dari tangan mahasiswa cenderung anarkisme. Budaya yang juga amat memiriskan adalah adanya praktik-praktik uang yang beredar dikalangan kampus untuk memberikan ijazah dengan modus transaksi jual beli ijazah.
            Membaca arkeologi manusia kampus terlebih dahulu perlu dipahami bahwa arkeologi secara sederhananya dapat diartikan sebagai peninggalan masa lalu, kaitanya dengan arkeologi manusia kampus citra “bassi toa” dapat dimaknai sebagai kampus yang masih memiliki pandangan yang primitif, menolak KKN tetapi pada satu sisi mempraktekannya dan mengharapkan egaliter tetapi fakta berbicara lain. Ini menandakan manusia kampus masih berada pada landasan lama (baca bassi toa), yang gagal melakukan reformasi secara internal ataukah status quo memang memiliki citra bassi toa yang diperankan oleh birokrasi atau dosen. Praktik perkuliahan misalnya yang masih menempatkan dosen secara superior dapat menjadi penghambat terjadinya proses kreatif yang dimiliki oleh mahasiswa yang kemudian mengalami inferior.
            Keberhasilan kampus tidak terletak pada berapa mahasiswa yang berhasil selesai dalam satu tahun, tetapi keberhasilan itu dinilai sejauh mana lulusan itu mampu menunjukan keberhasilan dalam pengabdian pada masyarakat dengan bekal ilmunya, bukan malah mahasiswa atau outputnya mampu memecahkan masalah dengan pendekatan keilmuannya. Budaya pendidikan amat menentukan dalam menjawab semua tantangan tersebut dan apabila kampus hanya melahirkan pemilik ijazah bukan pemilik ilmu berarti kampus telah kehilangan ruh pencerahan. Mahasiswa sukses bukan sekedar bawa ijazah tetapi mampukah simbol-simbol nilai pada ijazah itu memberikan perubahan bukan retorika.

            Selama mahasiswa masih berkutat pada wilayah itu, tanpa mau melakukan pelampauan maka selamanya mahasiswa dan kampus hanya bentuk laku seremonial yang tidak produktif. Kampus harus memberikan cetakan segar bukan cetakan lama yang bercitra bassi toa sehingga tidak mengalami perkembangan, dalam artian status quo tersebut menempati posisi utama bukan laku pendobrak perubahan sebagaimana tercita-citakan selama ini. Kampus yang terbayang sebagai pusat kajian berubah menjadi pusat keganjilan, sebab mahasiswa mendaku sebagai mahluk rasional tetapi tindakan menunjukan laku primitif dan mahasiswa anti kemapanan tetapi memapankan senioritas, ini menunjukan adanya arkeologi bassi tua yang membuat dunia kampus semakin menunjukan kelapukan dan ilusi dari agen of changeng yang selama ini berhasil dimitoskan pada batok kepala mahasiswa yang selama ini berteriak rasionalitas.

Jumat, 27 November 2015

Makkunrai

Makkunrai
“O....puakku marajae, engkaka mannawa-nawa ri laleng atikku maserro maloppo pangelorekku mitai tanah Sanjaiku madejeng”.
“Sudahlah.....kawan kau jangan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang memberatkan batinmu. Yakinlah Puang Laja suatu hari nanti masyarakat akan mengerti perjuanganmu nasaba nawa-nawa macinnonge engkai sibawa puang malebbie”.
“Terima kasih La Fasuloi, esok mentari pasti bersinar harapan akan tumpah ruah pada bilik hati masyarakat untuk memilih pemimpin di desa ini. Kita tak bisa berharap banyak besok sebab masyarakat masih berpikiran tradisional soal memilih pemimpin, bagi mereka maddara takkue masih dianggap layak memimpin mereka. Bukankah ini demokrasi ?, mengapa mereka belum mengerti kalau siapa pun berhak menjadi pemimpin mereka”.
                Bulan makin larut dalam singgahsananya awan-awan mengelilinginya memperebutkan sinarnya untuk mempertontonkan pada bumi kalau warnanya tak kalah dengan keelokan air samudra, malam itu begitu banyak cerita yang masuk dalam gendam telinga sebab sorak-sorak riang dan ketawa yang membahak-bahak saling bersahutan. Suasana malam itu begitu ramai sebab besok akan ada pesta demokrasi pemilihan kepala desa di kampung itu, dibalik suasana ramai itu ada banyak kemungkinan yang akan terjadi sebab malam itu kampung telah berubah menjadi arena pertarungan bukan hanya sebagai simbol melainkan menunjukkan superior untuk menjadi penguasa kampung. Siri na pesse telah terkurung dalam sangkar tafsiran kelompok hingga di dada para calon maupun pendukung merasa malu bila calon mereka dihina atau disudutkan, siri telah berubah ranah menjadi klaim parsial dari para calon maupun pendukung.
“Idi maneng ekkae monro di lorong puang Kaddase, pada angkalinai ada-adakku ri olo to matoae napuadai makadae narekko engka mufi turunanna arunge ri olo iyanatu fada di asseddi”.
“Tonge itu puang Fajiloi, engka diaseng turunang”.
“Hah.....faceniki dolo puang Fajiloi dan puang Faletei, ia itu anu dioloe memeng maccarita turungang naikia makokoe dena taue nabicara turunga nasaba iga-iga macca na difuji di rayae iyanatu menre mancaji kapala desa”.
“Dek, nacoco itu puang Laja, engka diaseng diolofa na diolo nai mapparenta”.
“Tabe, puang Fajiloi narekko itu ditang anu dioloe farellui fada di fikkiri nasaba makkokoe sikolafa tania anu riolo baga elo mui tasedding malai famarenta turunanna arunge narekko degaga sikolana nennia engka sikolana naikia matempoi na matanre langgai”.
                Sigaru-garuni ati nenni pappisineddinna calonge nasaba wettue bergerak semakin cepat hingga tak lama lagi sang bitarae engkani macora mompo pole ri lau, elo mapparingerang narekko engkani fole mattappa iyanatu tanranna engkani mompo ininnawa maeloe ri fafole nasaba kode namagatti ininnawae ri jama nabettaki bitarae telleng ri orai.

“Tabe, ndi tafakeni waju mampaddekkee fakkita mamuare engkai nala ati micinnonge, namubalettoi limanna mamuare engka pada tabbale atinna taue fada mitaki naengkai fada mappoji lao ri aleta, fakeni anu mafaccitta mammuare anu mafaccinge engkai sitolo ininnawae siotorang pappoji lao ri anu makkitae”.

Mahasiswa Harus Mengakhiri Demo atau Demo yang akan Mengakhiri Mahasiswa

Mahasiswa Harus Mengakhiri Demo atau Demo yang akan Mengahiri Mahasiswa
            Aksi demo yang di lancarkan mahasiswa sebagai buntut dari kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM yang oleh banyak kalangan di nilai terlalu memberatkan bagi masyarakat kecil, sehingga mahasiswa harus turun ke jalan menyuarakan aspirasi rakyat lalu pertanyaannya apa guna anggota DPR dipilih kalau tak bisa menyuarakan aspirasi rakyat atau segaligus kritikan balik kepada mahasiswa apakah yang dilakukannya itu tidak mengambil wewenang anggota DPR ?, lalu masih pantaskah mahasiswa berteriak tegakkan keadilan kalau dia sendiri telah melanggar nilai keadilan dengan menyerobot kewenangan anggota DPR yang sah sebagai pemegang mandat perwakilan rakyat untuk menjalankan tugas menyampaikan aspirasi.
            Melihat dari realita demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dan telah mencapai puncak klimaks dengan adanya berbagai macam peristiwa anarkisme yang ikut menyertai aksi demonstrasi, yang telah dibangga-banggakan oleh mahasiswa untuk menyuarakan aspirasi rakyat yang sangat mulia tetapi kemuliaannya tercoreng dengan prilaku mahasiswa yang brutal dan anarkisme, lalu masih pantaskah aksi mahasiswa disebut sebagai bentuk aspirasi rakyat, kalau rakyat sendiri menderita dengan adanya aksi demo yang membuat tukang becak gagal, tukang ojeng, sopir pt-pt, dan tukang bentor gagal beroprasi karena adanya aksi mahasiswa, sehingga teriakan mahasiswa sebagai pembawa aspirasi rakyat kecil perlu dipertanyakan ulang. Kalau orang-orang yang dibawakan aspirasinya sendiri menderita dan bahkan dengan aksi itu mereka harus berkurang penghasilannya maka dimana lagi makna teriakan itu ?. sebab harga BBM sudah pasti naik walaupun mahasiswa harus menutup jalan hingga lumpu total tak akan mempengaruhi keputusan pemerintah menaikkan harga BBM.
            Apakah substansi demo itu harus anarkis atau kalau tidak anarkis bukan demo namanya ?, pertanyaan ini seolah menggelitik sama seperti ujian nasional dengan kunci jawaban sehingga telah menjadi adat istiadat apabila ujian nasional maka pasti ada kunci jawaban sehingga kalau tidak ada kunci jawaban maka bukan ujian nasional namanya, dengan keadaan seperti ini sebetulnya substansi demo telah melenceng jauh dari nilai-nilai demo yang etis bukankah akan jauh lebih elok apabila orang yang menyampaikan aspirasi itu dengan kata-kata santun tanpa ada yang harus melukai satu sama lain. Secara psikologi apabila kita menyampaikan sesuatu atau pesan kepada seseorang dengan suara lembut ataupun dengan etika maka pasti pesan itu disambut dengan tangan terbuka, tetapi coba anda menyampaikan pesan kepada seseorang dengan teriak-teriak apalagi dengan brutal dan anarkis sudah pasti orang yang mendengarkan anda menyampaikan pesan melakukan tindakan diluar batas kewajaran sebab anda sendiri yang meminta hal tersebut. Mungkin wajar pemerintah sebagai penerimah pesan dari rakyat melalui mahasiswa merasa tersinggung sehingga mengerahkan petugas untuk menghalau tindakan-tindakan yang anarkis yang dilakukan oleh mahasiswa, apalagi kalau mahasiswa sendiri menggunakan busur dan mengenai pihak keamanan yang sebetulnya mengatur keamanan serta ketertiban supaya mahasiswa menyampaikan aspirasi menjadi teratur tanpa gangguan dari mobil ataupun motor yang lalu lalang.
            Substansi demo sebagai bentuk untuk menyampaikan aspirasi rakyat pada dasarnya sangatlah bijak apalagi yang menyampaikan itu adalah mahasiswa yang menjadi corong perubahan segaligus harapan bangsa kedepannya, tetapi yang menjadi ironi bagi kita semua adalah sudikah bangsa ini meletakkan harapannya kedepan di pundak para mahasiswa kalau tindakannya hari ini tak mencerminkan nilai-nilai moral, mahasiswa tidak lagi menjadi harapan pembawa perubahan tetapi telah menjadi pembawa masalah sosial di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Harapan kita kedepan mahasiswa harus menghentikan demo yang brutal apalagi yang berujung pada tindakan anarkisme, sebab yang terluka bukan siapa-siapa tetapi yang terluka adalah kita sendiri. Masihkah kita tega melihat pihak keamanan terluka karena demo, kritikan-kritikan terhadap demo mahasiswa sangat kita perlukan untuk membangun kedewasaan para mahasiswa melihat setiap masalah, sebab mahasiswa didik untuk memberikan solusi bukan malah menjadi pembawa polusi dengan membakar-bakar ban di jalan raya. Sekarang sudah saatnya mahasiswa menghentikan demo yang brutal sebab itu tidaklah mencerminkan mahasiswa agen of changeng, jangan sampai mahasiswa yang akan dirubah oleh keadaan sehingga mahasiswa hanya mengikuti keadaan bukan merubah keadaan. Ini segaligus menjadi kritikan terhadap slogan-slogan yang sangat dibesar-besarkan oleh mahasiswa sebagai agen of changeng, tetapi dia sendiri tak mencerminkan pembawa perubahan tetapi hanya menjadi penikmat status quo, kenapa bisa seperti itu ? kalau mahasiswa setuju dengan slogan agen of changeng maka sudah saatnya dia merubah gaya demonya yang brutal menjadi beretika.

            Demo-demo yang disuguhkan mahasiswa akhir-akhir ini memang telah mengilhami demo-demo tandingan yang serupa, segaligus meniru aksi mahasiswa yang brutal sekelompok warga juga turut terpancing dan emosi melihat tingkah mahasiswa yang seperti singa padang pasir yang menerkam siapa saja yang menghalangi jalannya tanpa memikirkan para pengguna jalan yang lain, sehingga warga pun melakukan demo tandingan untuk melawan aksi demo mahasiswa yang brutal maka warga pun melakukan serangan yang brutal kepada mahasiswa. Hal ini dilakukan oleh warga untuk menghentikan demo mahasiswa yang telah dinilai telah berada diluar kewajaran, sehingga dengan kejadian itu saya teringat sebuah pesan dari kampung bahwa apabila ada orang yang memusuhimu dan menyerangmu maka jurus pertama yang harus kau lakukan adalah gunakanlah jurus yang sama seperti saat dia menyerangmu. Jadi, kalau mahasiswa diserang dengan demo anarkis oleh warga maka itu pada dasarnya adalah senjata mahasiswa sendiri yang dipakai untuk menyerangnya kembali dan ini akan menjadi sebuah anekdot bagi mahasiswa bahwa mahasiswa harus mengakhiri demo atau demo yang akan mengakhiri mahasiswa, sebuah hal yang harus direnungkan bersama oleh mahasiswa jangan sampai dia menepuk air di dulang tetapi akhirnya mengenai muka sendiri.

Demokrasi (Kedaulatan Rakyat Hanya Sampai Jam 12.00)

DEMOKRASI (KEDAULATAN RAKYAT HANYA SAMPAI JAM 12.00)
            Hari ini segenap aktivitas bangsa indonesia di sibukkan pada TPS setempat untuk menentukan wakil-wakil rakyat dan hari ini pula gema demokrasi di pertajam untuk mengembalikan kedaulatan rakyat sampai jam 12.00, bila lewat dari pada itu mohon maaf rakyat tidak berdaulat lagi dan apakah pemilu adalah alat untuk menina bobokkan rakyat akan kemiskinan ? serta setelah pesta demokrasi kembali usai para buruh tani, nelayan dan kaum buruh harian harus mendapati diri mereka kembali dalam keadaan upah tak layak di tambah penaikan harga sembako untuk mengembalikan modal pemenang pemilu, karena telah banyak mengeluarkan dana untuk kampanye. Lagi pula rakyat yang dinyatakan berdaulat hari ini tapi kedaulatannya hanya bertahan sampai jam 12.00 setelah itu maka kedaulatan rakyat kembali di kurung, lalu apa arti demokrasi yang kita jalani hari ini ?, hanya yang berkepentingan yang tahu dan tuhan selain dari pada itu hanya menjadi gaib.
            Bangsa ini memang tidak salah dalam memilih proses berdemokrasi tapi yang menjadi masalah adalah hasil dari demokrasi cendrung bukan reprentasi keikhlasan masyarakat untuk terwakilkan oleh yang terpilih, tapi yang ada hanya reprentasi dari kemenangan demokrasi melalui jalan kecurangan hingga, hakikat kemenangan dalam pesta demokrasi di tentukan oleh banyak kasus yang ditangani MK setelah pemilu, jadi ketika kita ingin mengucapkan selamat bagi pemenangan pemilu maka ucapan selamat yang cocok atau yang pas adalah selamat menunggu gugatan dari MK yang di perkarakan oleh lawan politik. Lalu kalau ditanya apa hasil dari demokrasi ini maka tiada jawaban yang sesuai sebab yang menang adalah menang dana dan yang kalah adalah kalah dana. Sudah beberapa tahun kita mencoba menjadi negara demokrasi tapi yang ada hanya sebuah ilusi dari khayalan kita tentang apa yang ideal di negara orang tapi di negeri ini belum tentu ideal, sebab secara kultur negara ini tidak mengenal demokrasi sebagaimana di barat tapi kultur pemerintahan di negara ini yang ada dan dipraktekkan selama ini adalah pemerintahan dengan berbasis kerajaan, oleh karena itu perlu modifikasi sesungguhnya bila kita ingin mempraktekkan demokrasi di negeri ini, sebab demokrasi merupakan barang baru ketimbang cara pemerintahan kerajaan dan inilah solusi yang perlu kita pikirkan bersama sebab bukan sistem yang menjadi masalah tapi apakah mau atau tidak kita berbuat untuk negeri ini ?, itu adalah poin utama yang mesti kita perhatikan secara bersama-sama sebab apalah arti sistem kalau hanya menjadi alat transaksi kekuasaan belaka tanpa ada nilai yang riil untuk kemajuan bangsa ini.
            Kita tentu ingin belajar bernegara yang secara yang amat bijak sebab hari ini dengan hari esok jelas adalah gambaran yang akan mewarnai hari-hari kedepan yang akan kita jalani sebagai bangsa, politik jelas amat di perlukan untuk mengelola bangsa ini dengan begitu amatlah wajar kalau kita berharap orang-orang yang mengelola bangsa ini memiliki kesadaran untuk memajukan dan mensejahtrakan bangsa ini dan kalau ini sudah menjadi bagian kesadaran kita maka kekayaan bangsa yang mana yang tidak dapat kita kelola dengan baik, bangsa ini kaya sehingga perlu kesadaran berpikir yang jelas untuk menata ke depan sebab hanya dengan jalan itu kita dapat merasakan kekayaan negeri ini. Berpolitik yang mengedepankan kepentingan bangsa amat jelas kita perlukan sebab kita yang punya minyak kenapa harga minyak tinggi ?, dimana letak kesalahannya jelas bukan kesalahan siapa-siapa tapi ada pada bangsa kita sendiri. Oleh, karena itu kedaulatan rakyat memang sangatlah jelas untuk menjadi kontron roda pemerintahan tapi mengapa rakyat tidak berdaya menghadapi wakil-wakilnya untuk memperjuangkan kepentingannya ?, sungguh negeri ini masih perlu memahami apa arti demokrasi untuk rakyat ?, apakah demokrasi hanya untuk melayani kepentingan golongan dan persaingan antar partai jelas kita masih perlu bertanya untuk hal ini, supaya mengapa bisa terjadi seperti ini di bangsa yang kaya ?, terkenal sebagai bangsa pengutang tapi mengapa kita yang kaya tidak dapat melunasi utang ?, lalu apa arti kekayaan negeri ini apabila kita tidak dapat menikmatinya. Semua orang hari ini mencoba berharap pada pemilu kali ini tapi harapan kita harus realistis sebab kita sama-sama harus menanggung beban kekecewaan yang amat berarti padahal demokrasi adalah semangat keterwakilan bukan semangat kepentingan golongan menguasai kekayaan bangsa ini, lalu pertanyaannya sampai kapan kita mempertahankan status quo seperti ini kalau jelas arah dan hasilnya amat tidak pro rakyat sehingga kita harus belajar sama-sama untuk kecewa pada demokrasi untuk kesekian kalinya lagi.


Ekspansi Eropa

A. RESPON TURKI USMANI ATAS PENDUDUKAN NAPOLEON DI MESIR
            Usaha pertama memulihkan kembali kekuatan pemerintah imperium Turki semakin mendesak untuk dilakukan sehubungan dengan peperangan antara perancis setelah revolusi dan kemudian napoleon serta kekuasaan-kekuasaan eropa lainnya. Peperangan ini mengguncang eropa dari 1792 M hingga 1815 M[1],dan berlangsung dimana saja tentara eropa bisa bergerak atau armada lautnya bergerak. Tentara perancis, Rusia dan Austria pada waktu yang berbeda menguasai provinsi-provinsi eropa milik sultan Turki. Untuk pertama kalinya, armada laut Inggris dan Prancis terlihat di sebelah timur Mediterania. Setelah mengalami kekalahan perang, khilafah Utsmaniyah berhenti melakukan pembebasan-pembebasan terhadap negeri-negeri yang dijajah oleh para imperealis dan hanya memilih untuk mempetahankan wilayahnya.[2] Pada satu ketika, armada inggris berusaha memasuki terusan yang menuju Istanbul. Pada 1798 M, kekuatan ekspedisi Prancis yang dikomandani Napoleon menguasai Mesir setelah melewati peperangan dengan Inggris. Prancis memerinah Mesir selama tiga tahun, dari sana mencoba bergerak menuju ke Suriah, tetapi dipaksa menarik pasukannya karena intervensi Inggris Raya dan Utsmaniyyah, setelah adanya aliansi militer resmi pertama kalinya antara Utsmaniyyah dan negara-negara non-Muslim.
            Kurun ini adalah sebuah episode singkat, pentingnya episode ini telah diperselisihkan oleh sebagian sejarawan, sedangkan sebagian yang lain menganggapnya sebagai pembuka zaman baru di Timur Tengah. Ini merupakan serangan besar pertama kekuasaan Eropa ke salah satu negeri Muslim, dan untuk pertama kali penduduk kota tersebut menyaksikan kekuatan militer jenis baru serta para pesaing dari negara-negara besar Eropa. Sejarawan Islam, Al-Jabarti, pada saat itu sedang tinggal di Kairo dan mencatat dampak yang diakibatkannya oleh penyerbuan dengan panjang lebar dan sangat terperinci. Catatannya mencerminkan sebuah kepekaan akan ketimpangan kekuasaan diantara kedua belah pihak, dan ketidak cakapan para penguasa Mesir menghadapi tantangan tersebut.
            Ketika berita pendaratan Prancis di Iskandariah pertama kali sampai ke telinga para pemimpin Mamluk di Kairo, Al-Jabarti menyebutkan, mereka tidak mengindahkan sama sekali hal tersebut, mereka bersandar pada kekuatannya, dan mengklaim bahwa seandainya seluruh orang Prancis datang, mereka tidak akan mampu menghadapi Mamluk, dan Mamluk akan menginjak-injak tentara Prancis dengan kaki kuda-kuda mereka. Hal ini diikuti oleh kekalahan dan kepanikan serta usaha pemberontakan. Namun, sikap perlawanan Jabarti terhadap para penguasa baru bercampur dengan semacam kekaguman kepada para sarjana dan ilmuwan yang datang bersama para penguasa tersebut.
            Jika ada seorang Muslim yang mengunjungi mereka guna melihat-lihat, mereka tidak mencegahnya memasuki tempat-tempatnya yang paling berharga dan setiap kali mereka menemukan dalam dirinya keinginan atau hasrat akan ilmu pengetahuan, mereka menunjukkan persahabatan dan cinta kepadanya. Mereka akan mengeluarkan segala macam gambar, peta, hewan-hewan,burung-burung,tanaman, sejarah kuno dan sejarah bangsa-bangsa, serta kisah kenabian. Ketika peperangan Napoleon telah berakhir, kekutan dan pengaruh eropa makin tersebar luas. Pengadopsian teknik-teknik baru manufatur dan metode-metode baru organisasi industri telah dipicu oleh kebutuhan dan energi yang dihasilkan perang. Pada 1820 M, Louis Jumel, seorang insinyur Prancis telah memulai memperkenalkan penanaman bahan baku katun panjang yang cocok untuk tekstil berkelas tinggi, yang ia temukan di sebuah kebun di Mesir. Mulai saat itu, sejumlah besar lahan pertanian Mesir dialihkan untuk produksi katun, dan hampir seluruh katunnya diekspor ke Inggris. Bukan hanya itu pasukan Napoleon Bonaparte berhasil menerjemahkan tulisan yang ada di piramida Mesir yaitu Jean Baptiste, Joseph Fourier, Jean-Francois Champollion.[3] Napoleon mendarat di Alexandria pada tanggal 2 Juni 1798 dan keesokan harinya kota pelabuhan yang penting ini jatuh serta sembilan hari kemudian Rasyid suatu kota yang terletak di sebelah timur Alexandria, jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di daerah Piramida di dekat Kairo. Pada tanggal 22 Juli, tidak sampai tiga minggu setelah mendarat di Alexandria, Napoleon telah dapat menguasai Mesir.
            Pada tanggal 18 Agustus 1799, Napoleon meninggalkan Mesir kembali ke tanah airnya dan selanjutnya ekspedisi yang dibawanya ia tinggalkan di bawah pimpinan Jendral Kleber. Dalam pertempuran yang terjadi di tahun 1801 dengan armada Inggris, kekuatan Prancis di Mesir mengalami kekalahan. Ekspedisi yang dibawa Napoleon itu meninggalkan Mesir pada tanggal 31 Agustus 1801. Dalam rombongan yang ikut serta dalam ekspedisi tersebut terdiri atas 500 kaum sipil dan 500 wanita, diantara kaum sipil itu terdapat 167 ahli dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan bukan hanya itu Napoleon juga membawa dua unit percetakan dengan huruf Latin, Arab dan Yunani. Selain itu dalam ekspedisi ini juga dibentuk suatu lembaga ilmiah bernama Institut d’Egypte, yang mempunyai empat bagian: bagian ilmu pasti, bagian ilmu alam, bagian ekonomi-politik dan bagian sastra-seni. Publikasi yang dilakukan lembaga ini bernama La Decade Egyptienne dan disamping itu di terbitkan pula suatu majalah atau surat kabar yang bernama Le Courrier d’Egypte. Di samping itu dalam ekspedisi ini diikut sertakan juga alat-alat ilmiah seperti teleskop, mikroskop, alat-alat untuk percobaan kimiawi dan sebagainya, eksperimen-eksperimen yang dilakukan di lembaga ini.
B. PENGARUH PENDUDUKAN NAPOLEON DI MESIR
            Napoleon membawa ide-ide baru yang dihasilkan revolusi Prancis seperti:[4]
1.Sistem pemerintahan republik yang di dalamnya kepala negara dipilih untuk waktu tertentu, tunduk kepada undang-undang dasar dan bisa dijatuhkan oleh parlemen. Sistem ini berlainan dengan sistem pemerintahan absolut raja-raja islam. Dalam maklumat-maklumat Prancis republik diterjemahkan menjadi Al-Jumhur al-Faransawi, baru pada abad ke-20 baru mendapat terjemahan yang tepat yakni Jumhuriah.
2.Ide persamaan (egalite) dalam arti samanya kedudukan dan turut sertanya rakyat dalam soal pemerintahan. Kalau sebelumnya rakyat Mesir tidak ikut serta dalam pemerintahan negara mereka, tapi sebaliknya Napoleon mendirikan suatu badan kenegaraan yang terdiri dari ulama-ulama Al-Azhar dan pemuka-pemuka dalam dunia dagang dari Kairo dan daerah-daerah. Tugas badan ini ialah membuat undang-undang, memelihara ketertiban umum dan menjadi pengantar antara penguasa-penguasa Prancis dan rakyat Mesir. Kemudian disamping itu Prancis juga mendirikan Diwan al-Ummah untuk membicarakan hal-hal yang bersangkutan dengan kepentingan nasional.
3.Ide kebangsaan yang terkandung dalam maklumat Napoleon bahwa orang Prancis merupakan suatu bangsa (nation) dan bahwa kaum Mamluk adalah orang asing dan datang ke Mesir dari Kaukasus, sungguh pun dia orang islam tetapi berbeda bangsa dengan orang Mesir.
            Singkatnya bahwa ide-ide pembaharuan yang dibawah oleh Napoleon Bonaparte ke Mesir telah memberikan pengaruh tersendiri dalam kehidupan orang Mesir, hingga tak heran kalau ide-ide pembaharuan banyak datang dari negeri Mesir hal ini tidaklah terlepas dari pembaharuan yang ditanamkan oleh Prancis dalam berbagai aspek. Menarik pula untuk kita simak lebih jauh pengaruh yang diberikan Napoleon Boneparte di Mesir, sebab selama keberadaannya disana telah menerbitkan media cetak seperti majalah ataupun koran. Sebab hal yang serupa dapat kita dapati dari tokoh-tokoh pembaharu selanjutnya setelah pendudukan Napoleon seperti Jamaluddin Al-Afgani, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida boleh kita katakan tokoh-tokoh tersebut menerbitkan majalah atau surat kabar yang memuat tentang pemikiran-pemikiran pembaharuan mereka. Artinya bahwa tokoh-tokoh pembaharu di Mesir merasa perlunya menyebarkan ide-ide mereka lewat media untuk membangun opini ataupun menarik simpatisan yang akan mengikuti seruan-seruan ide yang mereka lontarkan untuk melakukan pembaharuan.

            Selain itu dari segi kesadaran kebangsaan Mesir begitu kuat memegang hal ini dapat kita lihat dari kesadaran mereka akan bernegara dan sisi menariknya bahwa Mesir menerapkan sistem pemerintahan republik di negara mereka, selain itu walaupun kelompok ikhwanul muslimin begitu gencar untuk menerapkan sistem pemerintahan islam tetapi sampai hari ini belum dapat terwujud, sehingga muncul apakah ini masih pengaruh dari pendudukan Napoleon ?. hal yang lain pula yang turut membuat pengaruh pembaharuan di Mesir begitu pesat adalah tak lain bahwa banyaknya mahasiswa Mesir yang menuntut ilmu di Prancis dan hal tersebut secara langsung telah memberikan pengaruh hingga pembaharuan yang terjadi di Mesir banyak berkiblat ke Prancis. Itu artinya dalam memajukan suatu peradaban bahkan sejarah dunia mencatat bahwa peradaban-peradaban yang maju yang memimpin dunia semuanya memiliki kesamaan yaitu meningkatkan taraf berfikir.[5] Tampaknya inilah yang bisa dipetik dari pendudukan Napoleon Bonaparte di Mesir.



                [1] Albert Hourani, A History of The Arab Peoples diterjemahkan oleh Irfan Abubakar dengan judul buku SEJARAH BANGSA-BANGSA MUSLIM (Mizan: Bandung,2004),h.513.
                [2] Anggara Novpria Densi, Karena Anda adalah Generasi Emas (Yogyakarta: Pustaka Jingga, 2013),h.99.
                [3] Abdul Kadir Riyadi, Sejarah Dunia (Surabaya: Pustaka Idea, 2014),h.67.
                [4] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2003),h.24-26.
                [5] Felix Y.Siauw, Beyond the Inspiration (Jakarta: Khalifa Press, 2010),h.87.

ISIS Sebagai Simbol Imam Mahdi

ISIS SEBAGAI SIMBOL IMAM MAHDI
            Akhir-akhir ini begitu banyak pemberitaan menyangkut ISIS dan boleh dikatakan semua berita tentang ISIS bisa dipastikan menyangkut hal-hal yang bersifat negatif seperti pembantaian dan begitu banyak lagi aksi pemberitaan yang menunjukkan bahwa ISIS tidak manusiawi. Wajarlah kalau opini seperti itu sebab pemberitaan yang ada memang mengarahkan kepada kesimpulan yang menunjukkan kalau ISIS tidak manusiawi dan wajar pula kalau pemerintah kita memerangi para simpatisan ISIS yang mau bergabung sebab yang dipahami ISIS itu kejam.
            Bisakah kita melihat ISIS dari perspektif yang berbeda tidak seperti yang selama ini di beritakan oleh media, mengapa kita perlu melihat dari perspektif yang berbeda ?, sebab kalau kita hanya terjebak pada perspektif yang ada bukan tidak mungkin kita hanya memahami ISIS secara sempit. Mari kita mencoba melihat ISIS dari perspektif yang lain, segaligus kita membandingkan apa yang selama ini dilakukan Amerika Serikat beserta sekutunya kepada wilayah-wilayah atau negara islam yang dianggap sebagai sarang teroris, pertanyaan kita kemudian kenapa sampai hari ini teroris menjamur bak jamur yang tumbuh di musim hujan ?, padahal Amerika Serikat dan sekutunya telah memburu teroris sampai ke tempat yang dianggap sebagai sarangnya namun nyatanya teroris masih bebas berkeliaran dan yang paling mencengangkan adalah ISIS dianggap sebagai teroris yang paling membahayakan, lalu apa yang dikerjakan Amerika Serikat dan sekutunya selama ini bukankah mereka memburu para teroris ?. Tetapi, fakta membuktikan bahwa teroris masih ada dan tumbuh subur.
            Mari kita membandingkan antara Amerika Serikat beserta sekutunya dengan ISIS, pertama Amerika Serikat dan sekutunya bebas memasuki wilayah yang dianggap sebagai sarang teroris tanpa hambatan serta mereka bebas membentuk pasukan untuk melawan teroris seperti DENSUS 88 anti teror, sebaliknya ISIS mendapatkan kendala dalam memasuki berbagai wilayah dan tidak bebas membentuk pasukan. Kenapa hal ini demikian ?, kita bisa memahami bahwa antara Amerika Serikat beserta sekutunya dianggap sebagai pahlawan pembela kemanusiaan sedangkan ISIS dianggap sebagai pelanggar kemanusiaan. Tentu kita masih ingat bahwa Amerika Serikat pernah membantu para pemberontak di Suriah, Libya dan beberapa negara yang bergejolak apakah tindakan Amerika Serikat tidak bisa kita katakan sebagai pelanggar kemanusiaan ?, sebab secara tidak langsung Amerika Serikat telah mengizinkan terjadinya pertumpahan darah dalam suatu negara akan tetapi hal ini bisa dipahami bahwa pergolakan itu terjadi karena ketidakadilan atau adanya pelanggaran hak-hak kemanusiaan. Sebaliknya mari kita lihat ISIS dengan perspektif yang sama dengan yang dilakukan Amerika Serikat selama ini, bukankah ISIS juga melakukan suatu pergolakan dalam suatu negara dengan alasan ketidakadilan selama ini yang dilakukan pemerintah yang berpangkal pada tidak diberlakukannya hukum-hukum islam, bukankah posisi ISIS sama dengan pemberontak di Suriah dan Libya yang didukung oleh Amerika Serikat, mengapa sikap Amerika Serikat pada kasus ISIS berbeda dengan terjadi pada saat Suriah dan Libya bergejolak ?. Disini kita bisa curiga mungkinkah ISIS itu adalah gerakan yang tidak sesuai dengan harapan Amerika Serikat jadi wajar kalau mereka dan sekutunya menolak ISIS dan bahkan menyebarkan informasi-informasi yang akan membuat kita tergiring pada opini yang membenci ISIS. Gejolak ISIS bisa kita lihat sebagai simbol Imam Mahdi yang diyakini kedatangannya oleh ummat muslim, sebab ada beberapa alasan yang membuat kita bisa mengatakan seperti itu pertama dunia islam hari ini yang banyak dilanda keterpurukan dan ketertinggalan, kedua belum adanya persatuan antara negara-negara muslim sehingga pada sisi yang berbeda kita bisa melihat ISIS sebagai sebuah gerakan yang memperjuangkan ummat muslim.

            Jadi, dengan melihat dari berbagai perspektif tentang ISIS maka kita bisa mempertimbangkan dari berbagai sudut atau bahkan kita membandingkan ISIS dengan gerakan-gerakan selama ini yang terjadi di Timur Tengah yang didukung oleh Amerika Serikat tetapi hal yang berbeda ketika hal itu mengenai ISIS dan bahkan Amerika Serikat beserta sekutunya menentang, dari sini dapat kita menarik sebuah pertanyaan apakah ISIS tidak sesuai dengan harapan Amerika Serikat beserta sekutunya ?, karena mereka memperjuangkan persatuan islam dan berlakunya hukum-hukum islam.

Islam sebagai gerakan politik

Islam sebagai gerakan politik
            Islam dan politik bagai dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan, sebab Muhammad muda apabila di baca dalam kancah perpolitikan arab Quraisy pra-islam maka kehadirannya dapat bermakna sebagai the suksesore Bani Abdul Muthalib dan tentu kemunculannya menjadi sebuah fenomena menarik, apalagi ketika terjadi perselisihan antara para pemuka-pemuka suku Quraisy tentang siapa yang berhak mengembalikan Hajar aswad ketempatnya ?. Tentu menjadi suatu kehormatan segaligus menjadi prestise sosial apabila berperan dalam mengembalikan hajar aswad ke tempat semula, sehingga tidaklah mengherankan apabila menjadi rebutan untuk mengembalikannya. Namun hal ini menjadi sebuah masalah sebab semua merasa berhak untuk mengembalikannya, narasi sejarah pun bercerita kepada kita bahwa Muhammad hadir sebagai penengah dan memberikan solusi atas masalah tersebut. Tak dapat di pungkiri keberhasilan Muhammad muda menyelesaikan problem sosial tersebut dikemudian hari mengharumkan namanya dan mengokohkan dirinya sebagai salah satu tokoh yang diperhitungkan di masa mendatang.
            Muhammad muda yang tampil dengan kepiawaian, keunggulan moral dan prestise sosial dengan gelar al-amin secara otomatis memberikan kepercayaan diri yang berlebih kepada pribadi Muhammad. Tentu pertarungan elitis dan tingkat kesukuan yang tinggi membuat panggung kuasa menjadi lebih menarik, sebab simbol kekuasaan adalah Kabbah yang senantiasa diperebutkan. Sehingga tidaklah mengherankan apabila Kabbah menjadi rebutan diantara para suku Quraisy, sebab menguasai Kabbah sama dengan menguasai sumber ekonomi. Karena telah menjadi tradisi bahwa setiap tahunnya ada pengunjung yang mendatangi Kabbah sebagai simbol spiritual dan hal ini sangat menguntungkan secara ekonomi. Dan hal ini perlu di pahami bahwa kehadiran islam secara gerakan banyak dikonstruksi dari pra-islam, mengapa Kabbah perlu direbut ?, apakah semata-mata tuntutan spiritual atau ada tujuan sebagai basis finansial gerakan islam ?.
            Secara sosial suku Quraisy terpecah-pecah ke dalam berbagai bani atau klan, sehingga ini kemudian akan menjadi suatu masalah dan bisa menjadi sumber kelemahan apabila tidak ada konsep untuk mempersatukan itu semua. Akibatnya dapat dipahami bahwa monoteisme dengan persaudaraan atau solidaritas atas nama keagamaan yang mengalahkan solidaritas kesukuan menjadi sebuah opsi yang bisa menyatukan arab Quraisy mengingat bahwa keberadaannya berada pada dua kutub kekuasaan besar yaitu Persi dan Romawi yang semuanya dilandasi dengan akar spiritual seperti Persia dengan Zoroaster dan Romawi dengan paganisme, sehingga untuk menyatukan arab Quraisy memang diperlukan kesadaraan yang berada diluar fanatisme kesukuan. Sehingga secara politik untuk menandingi kedua kekuatan politik tersebut sangat diperlukan penggugah kesadaran.
            Dalam perjalanannya islam kemudian harus hijrah dari Mekkah ke Madina yang secara hitung-hitungan politik sebetulnya ini mirip dengan konsolidasi pergerakan politik sembari menyiapkan strategi untuk menguasai sumber ekonomi yakni Mekkah atau Kabbah yang menjadi simbol prestise sosial dan lambang penguasa. Mengapa nabi Muhammad perlu menaklukan Mekkah bukan semata-mata urusan spiritualitas sebab dengan menguasai Mekkah artinya menjadi pengendali lalu lintas pertemuan dari berbagai penjuru yang berkunjung ke Kabbah dan secara opini dapat menpengaruhi massa bahwa muncul sebuah kekuatan baru, hal tersebut dapat dibuktikan setelah penaklukan Mekkah yang kemudian islam mencoba menunjukan tajinya dalam pentas politik dengan menyerang wilayah kekuasaan Romawi dan selanjutnya menyerah Persia. Muhammad dan islam kemudian menjadi satu paket yang pada satu sisi demi kepentingan spiritual dan segaligus the suksesor Abdul Muthalib yang paling sukses, sehingga kemudian kontekstasi kesukuan berubah kepada kontekstasi kekuasaan islam atau bisa disebut versi baru kesukuan dengan spiritualitas.
            Fenomena kontekstasi kesukuan versi baru telah menjadi bagian dari islam puncak dari kontekstasi terbuka antar suku pasca nabi Muhammad meninggal, sebab secara figur pengganti kemudian menjadi rebutan para klan-klan suku yang ada ini pulah yang menarik sebab ternyata aroma kesukuan masih tumbuh dalam tubuh islam. Semua merasa berhak atas kekuasaan yang diwarisi oleh nabi Muhammad tentu muncul kriteria baru dalam kontekstasi ini, sebab secara sadar perebutan kuasa mungkin mulai sedikit bergeser dari kriteria kesukuan karena faktor spiritualitas menjadi kriteria yang paling utama. Menarik juga sebab faksi-faksi dalam tubuh ummat islam selalu hadir mewarnai perebutan kuasa tersebut, hingga klaim-klaim keberhakan atas penerus kepemimpinan nabi Muhammad menjadi suatu pemandangan yang menarik sebab disana ada konflik disetiap perjumpaan suksesi dan kontekstasi. Artinya bahwa warisan persatuan pasca nabi Muhammad wafat masih begitu rapuh apabila saling diperhadapkan pada kepentingan.
            Peristiwa kontekstasi dalam islam menjadi sebuah penanda bahwa nabi Muhammad belum menyiapkan secara matang formula atau ummat islam kala itu belum terlalu siap menerima perubahan besar yang tepat untuk mengarahkan suatu kontekstasi, sebab secara logis kesadaran kesukuan atau klan masih begitu besar mengalahkan kesadaran spiritual. Buktinya bahwa adanya pernyataan yang mengatakan yang berhak memimpin adalah dari kalangan Quraisy, artinya yang berada diluar itu tidak mendapat kesempatan. Melihat pergerakan dalam islam tentu akan sangat banyak berbicara faktor kesukuan yang merupakan warisan pra-islam. Hal ini menandakan rekontruksi nabi Muhammad menjadi ter-reduksi, padahal telah dicontohkan nabi Muhammad semua orang berhak untuk mendapatkan peran strategis dalam islam sebagaimana Bilal yang berkulit hitam dan Salman Al-Farisi yang orang Persia mendapatkan tempat dalam panggung yang tercatat dalam sejarah islam.
            Perdebatan panjang yang telah menjadi diskursus yang melelahkan apabila ranah politik islam hanya ditempatkan pada sisi islam tanpa mempertimbangkan pra-islam yang justru kemudian banyak mengatur ritme sejarah percaturan islam sebagai sebuah kekuatan politik baru. Nabi Muhammad secara politik banyak memodifikasi ataupun mengadopsi politik pergerakan yang terilhami dari suku Quraisy pra-islam, nabi Muhammad paham betul bahwa agama atau keyakinan memiliki kekuatan tersendiri untuk menggerakan suatu perubahan dan melahirkan keberanian. Memodifikasi sistem suku dengan persaudaraan kemanusiaan yang mencoba merangkul semua elemen yang ada, tentu hal ini tidak dapat dinafikan dengan do’a atau harapan nabi Muhammad supaya Umar dan Hamsah supaya masuk islam. Pertimbangan ini dilandasi oleh sistem atau kebiasaan suku Quraisy yang masih menganut sistem jawara atau pegulat dan tentu dengan kekuatan tersebut akan menambah daya tawar islam di mata suku Quraisy.
            Secara sederhananya bahwa islam masih menjadi pelanjut tradisi kesukuan Quraisy yang tentu dengan berbagai modifikasi, hal ini dapat dibuktikan bahwa Kabbah baik pra-islam maupun islam masih menempatkan sebagai simbol spiritual pada satu sisi dan lainnya sebagai simbol kekuasaan, ini menjadi penanda cita rasa faksi-faksi dalam tubuh islam masih versi lama dari fanatisme kesukuan.

            A. HENDRA DIMANSA adalah seorang mahasiswa yang saat ini sedang menempu jenjang pendidikan S1 di universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, sebelum melanjutkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi dia bersekolah di MAN 1 Sinjai Utara dengan basis pendidikan agama. Selain aktif sekolah aktifitasnya banyak di habiskan dengan kegiatan-kegiatan kepemudaan yang berbasis remaja mesjid. Akibatnya kesehariannya telah terbiasa bergelut dengan dunia islam hal ini dibuktikan dengan keaktifannya sebagai pembicara dari mimbar mesjid ke mimbar mesjid. Sehingga bias dari pergumulan itu membuatnya semakin tertantang bertanya ada apa dengan islam ?, apakah kemajuan menjadi barang langka dalam islam ?. Rasa penasarannya yang begitu tinggi membawanya berpetualang pada dunia pemikiran hal ini dibuktikan dengan memilih jurusan aqidah filsafat dengan bebas tes. Yang saat ini menjabat sebagai ketua HMJ AQIDAH FILSAFAT, redaktur buletin transendental  filsafat agama, bergelut diberbagai forum-forum kajian dan aktif mengirimkan tulisan keberbagai media baik cetak maupun elektronik.


Islam dan Postmodernisme

Islam dan postmodernisme
            Sebelum terlebih jauh kita membahas mengenai islam dan postmodernisme maka terlebih dahulu kita perlu membaca islam dalam berbagai perspektif, sehingga islam yang kita pahami bukan hanya mengarah pada satu pemahaman yang tunggal tetapi multi interpretasi terhadap islam. Oleh, karena itu perlu di pahami bahwa islam datang membawa semangat kritik terhadap kondisi sosial di mekkah kala itu. Tetapi postnabi muhammad ada suatu pertentangan dan pertarungan antara pihak-pihak yang menghendaki kemapanan (ats-tsabit) dan pihak yang menghendaki perubahan (al-mutahawwil) yang terjadi dalam sejarah pemikiran islam tidak bersifat dialektis, tetapi kontradiktif sehingga sering melahirkan represi dan tragedi. Dalam pertarungan tersebut , kemenangan memang berada di pihak yang mendukung kemapanan[1].
            Sehingga ada banyak pihak yang sering sekali menyuarakan mengenai modernisme dalam islam, puncaknya ketika terjadi gerakan pan-islamisme yang di suarakan oleh jamaluddin al-afgani kemudian di lanjutkan oleh muh. Abduh serta rasyid rida. Dalam kurun waktu tersebut corak pemikiran yang muncul adalah pembebasan islam terhadap kolonialisme dan gaung modernisme dalam islam. Kalau fase itu banyak berbicara pembebasan maka pada postmodernisme yang banyak di bicarakan adalah mengenai rekontruksi pemikiran keislaman yang telah dianggap mapan, tokoh yang muncul pada fase ini adalah mouhmoud arkoun.
            Postmodernisme yang terdiri dari dua kata yaitu post dan modern, post memiliki arti pasca sehingga postmodernisme dapat diartikan sebagai era pasca modern berupa gugatan terhadap  modernisme. Postmodernisme sebagai wacana pemikiran masih terus berkembang sebagai reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Istilah postmodernisme pertama kali muncul sebelum tahun 1926, sekitar 1870-an oleh seniman inggris bernama john watkins. Ada juga yang menyatakan bahwa istilah postmodernisme telah di buat pada akhir tahun 1040 oleh sejarawan inggris, arnold toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru di gunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni asal amerika, charles jenck untuk menjelaskan gerakan anti modernisme.
            Dalam kajian postmodernisme mengisyaratkan pada dua hal yaitu postmodernisme dipandang sebagai keadaan sejarah setelah zaman modern. Dalam hal ini modernisme dipandang telah mengalami proses akhir yang akan digantikan dengan zaman berikutnya, yaitu postmodern. Kedua postmodern dianggap sebagai gerakan intelektual yang mencoba menggugat, bahkan mendekonstruksi pemikiran sebelumnya yang berkembang dalam bingkai paradigma pemikiran modern dengan pilar utamanya kekuatan rasionalitas manusia, hal ini ingin digugat karena telah menjebak manusia kepada absolutisme. Adapun inti pokok alur pemikiran postmodernisme adalah menentang segala hal yang bersifat kemutlakan, baku, menolak dan menghindari suatu sistematika uraian atau pemecahan persoalan yang sederhana dan skematis serta memanfaatkan nilai-nilai yang berasal dari berbagai aneka ragam sumber.
            Ciri-ciri struktur fundamental pemikiran postmodernisme yaitu dekontruktifisme hampir semua bangunan atau konstruksi dasar keilmuan yang telah mapan di era modern, relativisme namun hal ini ditentang oleh seyyed hoessein nasr menurutnya tidak ada relativisme yang absolut lantaran itu akan menghilangkan normativitas ajaran agama, pluralisme.
            Munculnya kesadaran baru dalam pemikiran islam di tengah arus global postmodernisme, dimana agama dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman maka pemikiran rasionalisme menjadi keharusan sejarah dalam mendekontruksi salah satu ciri postmodernisme. Maka dalam kacamata postmodernisme dekonstruksi pemahaman terhadap teks, dalam tradisi islam sejak awal diyakini bahwa teks itu tidak hanya terbatas pada kitab suci al-quran saja, alam raya juga teks, bahkan perilaku atau tradisi kenabian itu sendiri juga merupakan teks yang semuanya menyimpan dan hendak mengkomunikasikan makna dan pesan yang dikandungnya. Terdapat korelasi yang dialogis antara subjek (seorang muslim), teks alquran, tradisi kenabian dan realitas alam raya dengan hukumnya.
            Oleh, karena itu hasan hanafi merupakan salah satu dari sekian banyak intelektual muslim telah memulai untuk melakukan pengawasan terhadap kesadaran peradaban ummat islam, dekontruksi terhadap pembacaan teks, dekonstruksi terhadap peradaban barat yang diwujudkan sebagai kajian oksidentalisme dan dekonstruksi hukum islam.



                [1] Adonis arkeologi sejarah pemikiran arab-islam vol. 1.

Islam dan Multikulturalisme

Islam dan Multikulturalisme
            Kehadiran nabi Muhammad SAW dalam panggung sejarah kemanusiaan telah mendobrak ruang-ruang dan sekat-sekat fanatisme kesukuan, rasisme dan kemapanan tradisi yang mengkebiri hak-hak kemanusiaan dengan memperlebar jurang perbedaan laki-laki dan prempuan. Nabi Muhammad datang dengan perangkat nalar yang terbuka dan melabrak kemapanan yang ada di tengah-tengah kehidupan sosial masyarakat Quraisy. Dalam tradisi arab pra-islam kelas-kelas sosial antara kaya dan miskin, antara kulit putih dan kulit hitam, antara tuan dan budak begitu mencolok, bias dari kondisi pengkotak-kotakan kelas-kelas sosial melahirkan superioritas yang mengungkung nilai-nilai kemanusiaan dan sebaliknya pihak yang inferior menjadi semakin tertindas.
            Kegelisahan jiwa dan batin seorang Muhammad yang lahir dari persentuhan dialektika-dialektika publik yang menandakan kondisi sosial masyarakat yang sakit, penyakit-penyakit masyarakat merasuki semua sendi-sendi kehidupan. Muhammad bukanlah sosok manusia yang passif melihat kondisi realita sosial bahkan Muhammad ikut serta dalam ruang-ruang publik, hal ini dapat kita buktikan dengan keterlibatan Muhammad dalam mengembalikan hajar aswad ke tempat semula, sehingga ada hal yang perlu di renungi oleh setiap manusia yang mengaku islam tetapi passif dalam ruang publik.
            Puncak dari perenungan Muhammad yang menghijrahkan ranah sosial dari tatanan jahilia ke tatanan sosial moderat, sekuler dan multikulturalisme, kedatangan Jibril menemui Muhammad adalah untuk memediasi antara alam keilahian dengan alam sosial yang senantiasi berubah-ubah. Sehingga perlu dipahami bahwa kedatangan Jibril menemui Muhammad itu membawa konsep terbuka dan mampu berdialektika dengan kondisi zaman yang senantiasa berubah. Konsep Iqra pada zaman nabi Muhammad adalah membaca realita sosial yang amoral dan melahirkan tuntutan perubahan untuk mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan. Sehingga kalau ada yang mengaku islam tetapi malah melahirkan masalah sosial maka itu menyalahi kode etik kelahiran islam di muka bumi ini. Islam adalah agama sosial yang lahir sebagai pembebas bukan melah menjadi agama pembelenggu nilai-nilai kemanusiaan.
            Islam menuntun ummatnya kearah perubahan yang bersifat progresif bukan malah menjadi penghalang perubahan. Perubahan progresif yang ditunjukkan nabi Muhammad dengan merubah pradigma berpikir ala sektarian menjadi sekuler, hal ini dapat kita buktikan dengan sikap penentangan nabi Muhammad terhadap otoritas suku Quraisy yang memaksakan keyakinan pada budak ataupun kepada anggota masyarakat yang lain. Ini menandakan nabi Muhammad berpandangan sekuler bahwa otoritas kekuasaan tak bisa memaksakan keyakinan pada masyarakat. Sejarah mencatat Bilal bin Rabbah ketika ketahuan masuk Islam otoritas Quraisy memberikan sanksi dan hal serupa bukan hanya terjadi pada diri seorang Bilal  tetapi ada banyak yang mengalami hal serupa. Hal ini semakin kontras apabila ada wilayah yang mayoritas islam memaksakan kehendak untuk melakukan islamisasi, sebab proyek islamisasi malah menjadi bencana kemanusiaan dan menentang semangat awal islam yang sangat menghargai multikulturalisme dalam tataran sosial.
            Dalam tataran perjalanan sejarahnya islam sering sekali dikatakan sebagai pihak yang kontra terhadap demokrasi atau bahkan ada di kalangan islam yang begitu ngotot anti demokrasi, tetapi bukankah sejak dalam perjalanannya islam melakukan perluasan wilayah dan pada titik puncaknya penganut islam tersebar dimana-mana, apakah dengan gambaran sederhana ini lantas kita mengatakan islam anti demokrasi ?.  Tetapi, lembaran sejarah bercerita lain bahwa islam memburu jumlah penganut dan secara asas demokrasi jumlah sangat menentukan suatu kemenangan dalam pesta demokrasi, bukankah ini artinya islam pro-demokrasi ?.  Ini yang menjadi masalah dalam islam sebab kedatangan nabi Muhammad SAW untuk melakukan rekontruksi nalar yang menuntut transformasi nilai-nilai keilahian yang bersifat humanisme tetapi pasca nabi Muhammad malah yang terjadi reduksi nalar, sehingga yang terjadi di tengah-tengah masyarakat ialah status quo, padahal ruang-ruang publik tidaklah bersifat stagnan tetapi bersifat dinamis. Sehingga dalam islam gaung fanatisme begitu tinggi dan perbedaan seolah menjadi bencana sosial, bukankah nabi Muhammad sendiri mencontohkan sebagaimana yang terjadi di Madina adanya konsolidasi sosial yang saling menghargai antara suku Yastrib, kaum Muhajirin, dan suku Yahudi, bukankah hal ini menunjukkan islam datang dengan spirit penghargaan (apresiasi) dan penghormatan (recognition). Hal ini sekali lagi membuktikan nabi Muhammad sangat menghargai multikulturalisme.
            Yang terjadi di dalam tubuh islam adalah tidak dipahaminya posisi agama pada wilayah privasi dan adanya kecenderungan memaksakan islam masuk pada sendi-sendi sosial, padahal dalam ruang sosial bukan hanya islam yang hadir sebagai satu-satunya manifestasi realita sosial. Dalam ranah sosial sangat multikultural dan hal inilah yang merusak apabila ego privasi sebagai penganut islam yang kemudian ingin menghegemoni ruang-ruang publik, apabila ummat islam dengan rendah hati melihat dan merenungkan apa yang dilakukan nabi Muhammad di Madina dengan sangat jelas adanya pemilahan antara wilayah privasi keyakinan keberagamaan dengan realita sosial yang multikultural, yang menarik bahwa nabi Muhammad tidak sengotot pengikutnya yang ingin menerapkan syariat agama pada ruang publik, padahal apabila nabi Muhammad menghendaki hal tersebut maka tentu dengan mudah dapat melakukannya. Dengan gambaran ini tentu mengindikasikan bahwa nabi Muhammad menerapkan sistem sekuler dengan menempatkan agama pada wilayah privasi dan ruang sosial pada ranah yang berbeda.
            Perlu kita kembali memahami islam secara spirit kritik dan paradigma perubahan bukan malah menjadi penghalang perubahan, banyaknya produk hukum islam yang lahir pada zaman klasik sehingga begitu kaku dan canggung oleh sentilan-sentilan kemajuan. Al-quran dan hadis hanya menjadi bacaan tidak lagi menjadi bacaan yang transformatif terbuka tetapi menjadi bacaan ekslusif. Nilai-nilai rekonstruksi nalar menjadi pudar sebab yang hadir mewarnai kehidupan ummat islam ialah reduksi nalar akhirnya jadilah semuanya serba sakral. Membunuh manusia yang tak bersalah dengan dalih memerangi orang kafir dan memaksakan keyakinan yang pada akhirnya menegasikan perbedaan serta menyebarluaskan kebencian. Bukankah nabi Muhammad mendapatkan hinaan, cacian maupun makian dan percobaan pembunuhan maupun penolakan tapi apakah nabi Muhammad menggunakan otoritas kenabiaannya untuk menghukumi orang-orang yang kontras dengannya pada ruang publik, sehingga para pengikut nabi Muhammad yang masih ngotot mengatakan sebagai pengikut setianya perlu bukan hanya membuka mata tapi mata hati untuk menyadari bahwa hukum-hukum keilahian sifatnya privasi bukan paksaan sebab nabi Muhammad tak pernah mencontohkan hal serupa apalagi memerintahkan pemaksanaan. Hal ini menandakan nabi Muhammad paham betul bahwa ruang-ruang publik sangat multikultural sebab memaksakan sama halnya mengancam eksistensi ketuhanan sebagai pencipta ruang sosial yang dinamis yang sifatnya multikultural, sehingga menimbulkan pertanyaan apakah islam yang menjadi penghalang kemajuan atau ummatnya yang membuat islam jauh dari kemajuan ?.

sanjai histori

sudah menjadi kodrat manusia untuk menyejarah dan setiap kehidupan tentu memiliki identitas kesejarahan tersendiri, apabila lembaran-lembaran sejarah mulai terkuak maka identitas suatu masyarakat akan ikut terbuka serta akan menjawab pertanyaan mengenai asal usul kesejarahan suatu daerah. merasa tergelitik dan terusik akan ontologi sejarah sanjai sehingga beberapa waktu lalu sempat mewawancarai seorang masyarakat yang berdiam di rumah corie atau bola corie yang masih mengetahui beberapa hal mengenai sejarah sanjai yang di wariskan secara lisan beliau mengatakan bahwa sanjai pada mulanya terbentuk menjadi akkarungeng kemudian yang menjadi arung pertamanya adalah arung syangahe yang merupakan sosok wanita yang menjadi arung pertama dan menurut penjelasan beliau lebih lanjut bahwa arung syangahe menjadi arung kala beliau belum bersuami. Hal ini menandakan sanjai dahulu kala telah mengalami perkembangan di dunia perpolitikan sebab selama ini tradisi memimpin seolah berada pada pihak laki-laki tetapi sejarah sanjai bercerita lain. Setelah lama memerintah maka arung syangahe kemudian menikah dengan Puang Laja baru setelah menikah syangahe pun digantikan oleh suaminya yakni Puang Laja menjadi arung ke dua di sanjai, mengenai asal puang Laja lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa puang Laja berasal dari Bone sejarah di sulawesi selatan, dalam berbagai literasi menyebutkan bahwa konteks sejarah yang terwariskan secara budaya tutur lebih mementingkan isi dari pada pencatutan penanggalan tahun sehingga itu menjadi menarik untuk melakukan penelusuran sejarah. Tetapi ini bukanlah alasan untuk menelusuri sejarah dalam konteks sanjai, melanjutkan pembahasan awal dari sejarah akkarungeng di sanjai bahwa setelah pernikahan arung Syangahe dengan Puang Laja maka digantikanlah Syangahe oleh Puang Laja. Hal ini bisa dilacak dalam konteks priodisasi bahwa secara hipotetik (dugaan) bahwa kejadian ini berlangsung pada kurung waktu pasca perjanjian topekkong, sebab pada masa itu terjadi perebutan pengaruh antara kerajaan Gowa dan kerajaan Bone dalam hal perebutan kekuasaan dan salah satu tradisi politik dalam Bugis-Makassar menggunakan politik perkawinan, Sanjai dalam konteks geopolitik memiliki letak yang sangat strategis yang bisa menjadi penghubungan antara Gowa yang juga mencoba menerapkan politik kekuasaan disekitar wilayah Bulukumba, sehingga Sanjai menjadi pintu masuk bukan hanya lewat darat tetapi juga lewat laut. Puang Laja yang berasal dari Bone tentu memainkan peran tersebut untuk mengawasi pergerakan yang juga coba dilakukan oleh kerajaan Gowa. Artinya bahwa untuk membaca konteks sejarah Sanjai maka perlu membaca hubungan-hubungan tersebut. Masyarakat Sanjai dibentuk oleh tiga unsur pertama disebut uwa (catatan dalam unsur uwa ini terbagi lagi dalam beberapa sub tinggi dan rendah,hal ini didasari oleh perkawinan apakah ayah atau ibu yang memiliki hubungan perkawinan dengan uwa derajat tinggi atau rendah), kedua unsur Bone yang bergelar Petta dan ketiga unsur Gowa dengan bergelar daeng. Perlu dicatat bahwa orang asli yang berdiam di Sanjai sejak awal adalah unsur uwa tidak mengenai sebutan Petta/Andi maupun daeng, menurut keterangan orang tua dulu Pettae nennia Daeng/karaeng tau mattama-tamami, sehingga muncul istilah orang tua dulu bahwa to Sanjaie de naisengi mappetta nennia makaraeng. Istilah Petta nennia Karaeng muncul setelah masuk sistem perebutan kekuasaan antara Gowa dan Bone, belakangan baru muncul melalui sistem pernikahan. Untuk melihat sejarah awal Sanjai yang terbentuk melalui akkarungeng maka itu terbentuk sebelum perjanjian topekkong, baru setelah persaingan antara kerajaan Gowa dan Bone maka masuklah melalui hubungan pernikahan, lebih jauh setelah pernikahan arung Syangahe dengan Puang Laja maka dari penihakan itu melahirkan anak prempuan yang bernama Puang Kaca kemudian setelah dewasa Puang Kaca menikah dengan Faesa daeng Pakoko (catatan bahwa Faesa daeng Pakoko adalah etnis Gowa yang lahir dari Bapak yang masih memiliki hubungan kekrabatan dengan Sombayya ri Gowa yang bernama Lolongang daeng Siajeng). Dari sinilah kemudian terjadi hubungan antara ketiga unsur ini Syangahe sebagai unsur uwa, Puang Laja unsur Bone dan Faesa daeng Pakoko sebagai unsur Gowa, selanjutnya setelah Puang Laja mangkat maka yang menggantikannya sebagai arung adalah keturunan dari Puang Kaca dengan Faesa daeng Pakoko yang bernama Puang Renreng. Maka secara geopolitik ketiga unsur ini memainkan peranan yang sangat menarik untuk dikajih lebih jauh.

Teater Mesjid dan Interpretasi Kiri

Teater Mesjid dan Interpretasi Kiri
            Ummat islam di seluruh dunia menjadikan mesjid sebagai tempat ibadah ataupun menjadi tempat melakukan aktifitas keislaman lainnya, singkatnya ummat islam dan mesjid bagai sepasang kekasih yang senantiasa saling merindukan. Tiap saat ummat islam berlari dari kejauhan apabila mendengarkan tangisan rindu yang menyayat hati dari menara mesjid, melantunkan mantra-mantra rindu yang aneh bahkan asing bagi mereka yang non-arab. Tetapi, karena mantra-mantra itu senantiasa disandungkan sebagai simbol panggilan sehingga tiap kali terdengar panggilan memilukan itu maka ummat islam senantiasa memadati mesjid, mantra-mantra panggilan itu bagaikan morfin yang membuat manusia kecanduhan hingga terkadang akal sehat mereka tak lagi berfungsi.
            Mesjid adalah simbol yang hampa sebab dia bagai seorang kekasih yang rewel, apabila keinginan-keinginannya tidak terpenuhi maka para pekerja mesjid kembali menggoda sembari menebarkan morfin level tinggi dengan menjanjikan kesenangan yang mereka sendiri tak pernah menikmati kesenangan itu. Terkadang pula menebarkan teror-teror yang disertai dalil yang semakin menakutkan sebab pada dasarnya mesjid masih merasa sebagai perawan nan celita diusianya yang tua renta.
            Manusia di panggung mesjid tak mencerminkan nilai-nilai demokratis sebab hanya ada satu corong yang mesti di dengarkan yakni imam sebagai pemimpin sedangkan jamaah sebagai rakyat hanya dituntut teriakkan amin, sebab pada dasarnya semua kebijaksanaan berada ditangan sang imam, tak penting apakah anda masih kuat atau tidak ? pokoknya mantra-mantra terus saja berkomat kamit di mulutnya tak peduli apakah anda rematik atau sakit pokoknya sang imam senang maka tugas anda cukup katakan amin, apakah benar atau salah itu bukan soal ?.  Yang menarik bahwa mesjid senantiasa memanggil tetapi mesjid tak pernah memikirkan bahwa orang-orang yang datang itu apakah sudah makan atau tidak ? sebab pada dasarnya ketika mengangkat tangan sebagai simbol penyerahan kepada sang ilahi tidaklah bermakna bahwa manusia menerima kemiskinan tanpa ada usaha merubah kemiskinan, lakon-lakon mesjid telah tercerabut dari fungsi pemberdayaan menjadi fungsi penyepelehan sehingga manusia-manusia mesjid telah menjadi kumpulan individualistik.
            Para pemain teater mesjid hanya dituntut untuk menjiwa sesaat kala pentas yang disaksikan langsung oleh tuhan, sehingga yang dipentingkan adalah pencitraan di depan tuhan maka sloganya asal tuhan senang. Tetapi, pernahkah para aktor-aktor mesjid memperhatikan dan memikirkan bagaimana lakon pementasan diluar mesjid ? apakah para audiens bisa merasakan kesenangan yang sama ketika di panggung-panggung lain ? seolah para aktor-aktor mesjid merasa yang penting performa kala manggung di mesjid bagus, apakah diluar bisa seperti itu ? bukan soal sebab tuhan hanya diibaratkan hanya menyaksikan saat pementasa di mesjid saja kalau diluar panggung mesjid tuhan tidak sempat menyaksikan sebab tuhan sangat sibuk.
            Apabila anda pernah menyaksikan pemandangan pementasa di mesjid maka mungkin anda tentu sangat tidak asing dengan benda ajaib berbentuk segiempat dengan lubang yang juga berbentuk segipanjang yang berukurang kecil, tempat ajaib ini sering kali ditempatkan di depan pintu tempat pertunjukan dan biasanya terkadang pula diedarkan keseluruh audiens untuk memberikan sedikit sumbangsi atau kata singkatnya bentuk apresiasi terhadap aktor-aktor yang bakal manggung. Yah, mungkin anda sudah tau apa nama kotak tersebut ? sebab tingkat pengetahuan anda terhadap kotak itu menunjukan tingkat seberapa sering anda berkunjung ke mesjid untuk menyaksikan pementasan itu ataukah mungkin anda adalah audiens yang paling rajin memberikan apresiasi kepada aktor-aktor mesjid sehingga secara tak sadarkan diri anda mematerikan apresiasi itu dengan uang, mungkin anda sudah tau apa nama kotak itu ? yah, sangat tepat apabila anda mengatakan itu adalah kotak amal. Mungkinkah ini sifat ekuevalensi atau mendua yang terjadi di mesjid bahwa kita dipanggil dengan ikhlas untuk datang tetapi disana telah disediakan kotak amal untuk diisi dengan uang yang anda bawa dari tempat kerja, lalu ketika anda tak membawa uang maka para aktor pun menceritrakan bahwa betapa pentingnya memberikan apresiasi secara materil tetapi anehnya tuhan malah asyik atau sangat menikmati apabila audiens memberikan apresiasi materil tiap kali pementasan di mesjid dan kalau anda sering menyaksikan pementasan topeng monyet maka laku di mesjid agak-agak mirip seperti itu. Monyet sang aktor hanya sekedar pentas tak mengerti makna dari gerakan-gerakannya itu yang penting sang tuan bahagia, kalau sang monyet tak sanggup maka dia akan diancam ataupun sang tuan tak segan untuk memukul sang monyet supaya apresiasi materil didapatkan oleh sang tuan dari para audiens.
            Begitu menarik lakon-lakon di mesjid tetapi terkadang pementasan yang suci itu mengakomodir atau dalam bahasa politiknya telah terjadi koalisi yang menguntungkan dengan istilah tanpa syarat, namun sebelum sampai pada tanpa syarat maka terlebih dahulu di susun-susun dulu syaratnya terlebih dahulu. Sehingga singkatnya sang aktor menghegemoni para audiens bahwa mesjid itu adalah tempat yang aman sebagaimana slogan islam rahmatan lilalamin tetapi untuk sampai pada keamanan bagi audiens maka barang-barangnya seperti sepatu, sendal atau barang-barang berharga lainnya silahkan anda titip di tempat penitipan barang baru keamanan tanpa syarat itu akan terwujud. Penampakan mesjid seperti ini bukan lagi rahasia tetapi telah menjadi pengetahuan secara empirik baik internal islam maupun diluar islam, namun anehnya orang-orang yang berada dikejauhan dipanggil untuk datang menyaksikan pementasan tetapi para petugas yang berada di tempat penyimpanan barang begitu bebas dari kewajiban menyaksikan sanga aktor mesjid berlaga. Menyaksikan pementasan di mesjid telah mentransaksikan rasa aman anda dengan materil, sehingga keberadaan kita seolah diteror dari berbagai aspek dan yang aneh bahwa para audiens sangat menikmati teror itu sebab sebelumnya telah dijanjikan kesenangan yang terlebih dahulu menyebarkan morfin pemikiran di benak para audiens. Sehingga meneror telah dianggap sebagai alat pemenuhan untuk mewujudkan kesenangan.
            Ada pesan yang secara tersirat yang mesti para audiens pahami ketika pertama kali keluar dari mesjid, katanya menurut para aktor mesjid maka terlebih dahulu langkahkanlah kaki kirimu, mengapa pesan tersirat ini perlu dimaknai ? sebab ketika hal tersebut sudah dimaknai maka ada realita lain yang akan kita dapatkan dan cara pandang baru mengenai kehidupan keagamaan dapat tersingkap. Bukankah pesan tersirat ini begitu kontras dengan berbagai pesan-pesan yang lainnya sebab  kebiasaan para aktor mesjid memesankan untuk memulai segala sesuatu dari kanan yang menjadi petanda kebaikan, sedangkan kiri menjadi petanda yang buruk. Sebagaimana pesan untuk mendahulukan kiri saat masuk WC sebab ada banyak keburukan pada WC sebab penggambarannya sebagai tempat membuang kotoran, maka kanan saat keluar menjadi logis bahwa cukuplah tempat itu yang kotor sehingga setelah keluar kanan sebagai simbol kebaikan perlu didahulukan. Tetapi, ketika masuk mesjid kanan yang didahulukan sebagai simbol kebaikan dan saat keluar maka kiri yang didahulukan itu artinya hal ini mengajarkan kebaikan (baca agama) cukup di mesjid saja sedangkan saat diluar maka berbuatlah yang kiri (baca sekuler) ini merupakan sunnatullah yakni prinsip keseimbangan. Kalau pemaknaan seperti ini maka tidaklah berhak orang-orang islam melarang sesamanya islam untuk memiliki pandangan kiri atau sekuler sebab dalam pesan-pesan islam juga mengafirmasi hal tersebut.

            Bukankah dalam islam telah mengisyaratkan bahwa semua yang terjadi baik tersurat maupun yang tersirat itu sama-sama ayat Allah, tetapi mengapa ummat islam hanya rajin membaca yang tersurat lalu melupakan yang tersirat. Hal, ini menunjukan bahwa untuk memajukan islam haruslah menempatkan kanan (baca ilmu agama) dan kiri (baca ilmu sekuler) secara proporsional bukan malah melebihkan yang lain atas yang lainnya, sebab kedua-duanya sama-sama bersumber dari yang satu. Ketika pemaknaan itu telah sampai pada titik ini maka mesjid menjadi wilayah  otoritas agama sebagai ayat tersurat dan diluar mesjdi berada pada wilayah otoritas manusia sebagai ayat tersirat.